PUASA RAMADHAN: KEWAJIBAN DAN KEUTAMAANNYA

PUASA RAMADHAN: KEWAJIBAN DAN KEUTAMAANNYA

Puasa Ramadan adalah bentuk ibadah kepada Allah Ta’ala dengan cara meninggalkan makan, minum, hubungan suami istri dan perbuatan-perbuatan lain yang dapat membatalkan puasa sejak terbit fajar hingga terbenam matahari selama satu bulan penuh dari tanggal satu Ramadan hingga muncul hilal bulan Syawal. Demikianlah, ibadah puasa Ramadan dilaksanakan dengan cara meninggalkan beberapa perbuatan semata-mata karena Allah Ta’ala, bukan karena kebiasaan, dan bukan pula demi kesehatan tubuh.

Ibadah puasa Ramadan termasuk salah satu rukun Islam. Hukumnya wajib menurut kesepakatan para ulama berdasarkan dalil dari al-Qur’an dan sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Allah Ta’ala berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ اَيَّامًا مَّعْدُوْدٰتٍۗ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗ وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهٗ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍۗ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهٗ ۗ وَاَنْ تَصُوْمُوْا خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa, sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa, (yaitu) beberapa hari tertentu. Maka barangsiapa di antara kalian sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (ia wajib mengganti) sebanyak hari (yang ia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin. Tetapi barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka hal itu lebih baik baginya. Dan puasa kalian itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui.” (QS al-Baqarah: 183)

Firman Allah ini ditujukan kepada seluruh kaum muslimin, karena berpuasa di bulan Ramadan termasuk bukti keimanan. Puasa Ramadan akan menjadi penyempurna iman seorang muslim. Barangsiapa meninggalkan puasa Ramadan, berarti imannya masih kurang.

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum orang yang tidak berpuasa karena malas atau memandang remeh. Apakah orang itu menjadi kafir ataukah tidak? Pendapat yang benar adalah bahwa orang itu tidak menjadi kafir, sebab seseorang tidak akan menjadi kafir hanya karena meninggalkan rukun Islam, kecuali meninggalkan salat dan tidak mau mengucapkan dua kalimat syahadat.

Firman Allah Ta’ala, “diwajibkan atas kalian berpuasa, sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian.” Allah Ta’ala menjelaskan bahwa ibadah puasa diwajibkan kepada kita seperti telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kita. Allah Ta’ala tidak menyebutkan hal ini untuk ibadah salat, karena puasa adalah ibadah yang sulit, yaitu harus meninggalkan kebiasaan sehari-hari. Terutama jika puasa dilaksanakan di hari yang sangat panas dan di siang hari yang lebih lama daripada malam hari.

Allah Ta’ala menyebutkan bahwa ibadah puasa telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kita dengan maksud untuk menenangkan kita. Orang yang mengetahui bahwa sebuah kewajiban tidak hanya dibebankan kepada dirinya, melainkan juga kepada orang lain, tentu merasa ringan mengerjakannya. Alasan lain adalah untuk menjelaskan kepada kita bahwa ibadah puasa yang kita lakukan lebih banyak keutamaannya daripada ibadah puasa yang dilakukan oleh umat-umat sebelum kita.

Firman Allah Ta’ala, “Agar kalian bertakwa.” Hal itu karena ibadah puasa berfungsi sebagai perisai yang dapat menjagamu dari berbagai maksiat dan dapat menyelamatkanmu dari api Neraka. Barangsiapa berpuasa atas dasar keimanan dan hanya mengharapkan pahala dari Allah Ta’ala, maka ia akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.

Demikianlah hikmah diwajibkannya ibadah puasa. Hal ini dapat dibuktikan berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ وَالْجَهْلَ، فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta serta perbuatan jahil, maka Allah tidak berkepentingan kepada orang itu ketika meninggalkan makan dan minumnya (puasanya).” (HR al-Bukhari)

Allah tidak hendak menyiksa hamba-hamba-Nya dengan perintah puasa, akan tetapi Allah menginginkan agar hamba-hamba-Nya mampu meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta, serta perbuatan jahil.

Firman Allah Ta’ala, “(yaitu) beberapa hari tertentu.” Ayat ini menjelaskan bahwa ibadah puasa tidak dilakukan berbulan-bulan, tidak juga bertahun-tahun, akan tetapi hanya beberapa hari saja. Jadi, ibadah puasa tidak lama, tetapi hanya beberapa hari yang sudah ditentukan.

Firman Allah Ta’ala, “Maka barangsiapa di antara kalian sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (ia wajib mengganti) sebanyak hari (yang ia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain.”

Ayat ini memberi dua penjelasan: Pertama, ibadah puasa dilakukan hanya beberapa hari. Kedua, siapa saja yang tidak kuat melaksanakan ibadah puasa atau sedang bepergian, maka ia dibolehkan berbuka dan mengkadanya di hari yang lain di luar bulan puasa.

Firman Allah Ta’ala, “Dan bagi orang yang berat menjalankannya,” yaitu bagi mukim yang sedang tidak bepergian, “wajib membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Tetapi barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka hal itu lebih baik baginya. Dan puasa kalian itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui.”

Demikian itu adalah awal turunnya perintah berpuasa. Ketika Allah mewajibkan ibadah puasa, Allah berfirman kepada orang yang berat menjalankannya, “Kalian harus membayar fidyah. Jika kalian mengeluarkan sedekah, maka hal itu baik bagi kalian. Tetapi jika kalian berpuasa, maka itulah yang terbaik bagi kalian.” Jadi, pada awalnya Allah memberikan pilihan bagi orang-orang yang sanggup berpuasa antara berpuasa atau memberi makan satu orang miskin setiap harinya. Namun pada akhir ayat hanya ada satu pilihan bagi orang yang sanggup berpuasa, yaitu berpuasa.

Firman Allah Ta’ala, “Jika kalian mengetahuinya.” Maksudnya jika kalian memang orang-orang yang berilmu dan memahami hal itu.

Berpuasa dikatakan lebih baik karena lebih sulit dilaksanakan daripada memberi makan orang miskin. Ketika seseorang berusaha melakukan ibadah yang sulit demi menaati Allah, maka ia akan mendapatkan pahala yang besar. Orang yang jarak rumahnya jauh dari masjid akan mendapatkan pahala yang lebih besar daripada orang yang jarak rumahnya dekat karena ia lebih banyak melangkah. Akan tetapi, itu bukan berarti seseorang harus menyusahkan diri untuk melakukan sebuah ibadah yang dimudahkan oleh Allah Ta’ala. Jika seseorang melakukan demikian, ia berarti telah berlebihan dalam beragama. Namun perlu diingat bahwa jika Allah membebankan suatu ibadah kepada seseorang kemudian ibadah itu terasa berat baginya untuk dikerjakan, maka pahalanya akan lebih besar. Adapun orang yang mempersulit diri dalam ibadah yang dimudahkan Allah, maka ia seperti orang-orang bodoh yang berwudu dengan air dingin di musim dingin. Alasan mereka melakukannya adalah ingin menyempurnakan wudu pada waktu-waktu yang dibenci agar dapat menaikkan derajat dan menghapus dosa-dosanya. Kami katakan, “Wahai saudaraku, bukan seperti itu maksud Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang dimaksudkan beliau di dalam hadis itu adalah bahwa memang benar orang yang berwudu dengan air dingin pada musim dingin pahalanya lebih besar, akan tetapi beliau tidak mengharuskan berwudu dengan air dingin sementara air hangat tersedia. Berwudu dengan air hangat adalah lebih baik dan lebih menyempurnakan wudu.”

Hukum Puasa Orang yang Sakit

Firman Allah Ta’ala, “Barangsiapa di antara kalian sakit.

Sakit dibagi menjadi tiga jenis:

Pertama. Sakit yang tidak ada harapan kesembuhan. Orang yang sakit seperti ini tidak wajib berpuasa. Ia hanya wajib fidyah, yaitu memberi makan seorang fakir miskin untuk satu hari puasa yang ditinggalkannya. Hukumnya seperti orang yang sudah tua renta dan lemah dan tidak ada harapan untuk kuat kembali.

Kedua. Sakit yang akan bertambah parah jika berpuasa atau akan membahayakan jiwa. Misalnya orang yang mengidap penyakit yang mengharuskan banyak minum, seperti penderita diabetes. Untuk penyakit seperti ini, haram baginya berpuasa berdasarkan firman Allah Ta’ala:

وَلَا تَقْتُلُوْٓا اَنْفُسَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيْمًا

Dan janganlah kalian membunuh diri kalian. Sesungguhnya Allah adalah Mahapenyayang kepada kalian.” (QS an-Nisaa’: 29)

Ketiga. Sakit yang akan bertambah parah jika berpuasa, tetapi tidak sampai membahayakan kesehatan. Untuk penyakit seperti ini sebaiknya kamu tidak berpuasa dan kamu mengkada puasa di lain waktu.

Adapun jenis sakit yang tidak berbahaya jika berpuasa seperti sakit mata dan sakit gigi, maka kamu tidak boleh menjadikannya alasan untuk tidak berpuasa, sebab hikmah dibolehkannya tidak berpuasa adalah untuk menghilangkan kesulitan. Untuk penyakit seperti ini kamu sama sekali tidak mengalami kesulitan berpuasa. Jadi, kamu tidak boleh membatalkan puasa sehari pun karena penyakit ini. Dengan demikian, asal puasa adalah wajib dilaksanakan tepat pada waktunya, kecuali jika ada alasan syariat yang membolehkan seseorang berbuka dan mengkada di lain waktu.

Hukum Puasa Orang yang Safar

Firman Allah Ta’ala, “Barangsiapa di antara kalian dalam perjalanan.

Dalam perjalanan atau bepergian (safar) hukumnya juga sama seperti sakit dan terbagi menjadi tiga jenis:

Pertama. Safar yang berbahaya jika dilakukan sambil berpuasa,  seperti orang yang bersafar di siang hari yang sangat terik, atau di siang hari yang lebih lama daripada malam hari. Jika kamu mengetahui bahwa puasamu akan membahayakan atau menyulitkan dirimu, maka jika kamu tetap berpuasa, itu artinya kamu telah bermaksiat. Dalilnya adalah, dahulu orang-orang pernah mengadu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa mereka kesulitan melaksanakan puasa saat safar. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta segelas air lalu meminumnya, sementara para sahabat memperhatikan beliau. Hal itu beliau lakukan agar tidak ada ganjalan di hati para sahabat untuk berbuka puasa ketika safar. Kisah ini terjadi setelah salat Asar. Akan tetapi sebagian sahabat masih tetap berpuasa. Ketika beliau datang, seseorang berkata kepada beliau bahwasanya sebagian sahabat masih tetap berpuasa. Mendengar itu beliau bersabda,

أُولَئِكَ الْعُصَاةُ، أُولَئِكَ الْعُصَاةُ

Mereka adalah orang-orang durhaka. Mereka adalah orang-orang durhaka.” (HR Muslim)

Beliau mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang durhaka karena mereka tidak mau menerima rukhshah (keringanan dari Allah), padahal saat itu mereka kesulitan melaksanakan ibadah puasa.

Kedua. Safar yang memungkinkan berpuasa. Untuk jenis safar ini seseorang dimakruhkan berpuasa, dan berpuasa dalam keadaan ini bukan termasuk amal saleh.

Dalam satu lawatannya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang laki-laki dikerumuni banyak orang. Beliau bertanya, “Ada apa?” Para sahabat menjawab, “Dia sedang berpuasa.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ مِنَ الْبِرِّ الصَّوْمِ فِي السَّفَرِ

Berpuasa ketika bepergian tidak termasuk amal saleh.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Ketiga. Safar yang tidak akan terganggu dengan berpuasa, mungkin karena siang hari lebih pendek daripada malam hari atau karena cuaca dingin.

Para ulama berbeda pendapat tentang mana yang lebih baik, apakah berbuka ataukah berpuasa ataukah terserah mau pilih yang mana. Pendapat yang benar adalah berpuasa lebih baik daripada berbuka. Berpuasa menandakan keteguhan terhadap sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena dirinya mengganggap mudah berpuasa. Alasan lain adalah karena berpuasa bersama orang banyak lebih ringan daripada mengkada. Alasan lain adalah waktu pelaksanaan puasa pada musim dingin adalah lebih pendek, apalagi dilakukan tepat pada bulan Ramadan. Dengan empat alasan ini maka berpuasa lebih baik daripada berbuka.

Abu Darda radhiyallahu ‘anhu berkata, “Kami ikut bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam salah satu safar beliau. Saat itu panas matahari sangat menyengat hingga seseorang dari kami meletakkan tangannya di atas kepala. Di antara kami tidak ada yang berpuasa kecuali Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan Abdullah bin Rawahah radhiyallahu ‘anhu. (HR Muslim)

Demikianlah hukum berpuasa saat safar. Safar di sini sifatnya umum, baik safar untuk umrah maupun untuk keperluan lain. Adapun orang-orang yang selalu safar seperti supir truk, mereka boleh berbuka ketika safar, walaupun mereka safar sepanjang waktu, karena mereka masih punya kampung halaman. Seseorang dikatakan musafir apabila ia pergi meninggalkan kampung halamannya. Jika seseorang bertanya, “Lalu kapan mereka berpuasa?” maka kami jawab, “Mereka berpuasa di musim dingin atau ketika pulang ke kampungnya.”

Baca juga: HUKUM JIMAK DI SIANG RAMADAN BAGI ORANG YANG SEDANG BERPUASA

Baca juga: AHLI PUASA DIPANGGIL DARI PINTU AR-RAYYAN

Baca juga: HUKUM PUASA ORANG YANG SUBUH HARINYA MASIH JUNUB

Baca juga: SALAT LIMA WAKTU, SALAT JUMAT, DAN PUASA RAMADAN ADALAH PENGHAPUS DOSA

(Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)

Fikih