HUKUM RAHN (GADAI)

HUKUM RAHN (GADAI)

Rahn (gadai) adalah pengokohan hutang dengan benda yang sebagian zatnya atau nilainya dapat digunakan untuk melunasi hutang tersebut, atau dengan menjadikan barang berharga sebagai jaminan hutang.

Hukum rahn adalah boleh menurut al-Qur’an, as-Sunnah dan ijmak ulama.

Allah Ta’ala berfirman:

وَاِنْ كُنْتُمْ عَلٰى سَفَرٍ وَّلَمْ تَجِدُوْا كَاتِبًا فَرِهٰنٌ مَّقْبُوْضَةٌ

Dan jika kalian dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kalian tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).” (QS al-Baqarah: 283)

Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, baju besi beliau masih tergadai. (HR al-Bukhari)

Seluruh ulama sepakat atas dibolehkannya rahn saat bepergian (safar). Bahkan mayoritas dari mereka juga membolehkannya saat menetap (tidak safar).

Hikmah disyariatkannya rahn adalah untuk melindungi dan menjaga agar harta tidak hilang begitu saja. Allah Ta’ala juga memerintahkan agar hutang dicatat secara tertulis dalam firman-Nya:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوْهُ

Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian bermuamalah secara tidak tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kalian menuliskannya.” (QS al-Baqarah: 282)

Ayat ini terus berbicara mengenai hal tersebut hingga sampai pada firman-Nya yang berbunyi:

وَاِنْ كُنْتُمْ عَلٰى سَفَرٍ وَّلَمْ تَجِدُوْا كَاتِبًا فَرِهٰنٌ مَّقْبُوْضَةٌ

Jika kalian dalam perjalanan sedang kalian tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang.” (QS al-Baqarah: 283)

Ini termasuk salah satu rahmat Allah Ta’ala atas hamba-hamba-Nya, dimana Dia membimbing mereka kepada apa-apa yang baik untuk mereka.

Rahn adalah sah apabila kadar, sifat, dan jenisnya diketahui. Selain itu, orang yang memberikan rahn harus tergolong orang yang boleh bertransaksi. Ia juga merupakan pemilik rahn atau orang yang diizinkan untuk menggunakannya.

Seseorang boleh menjadikan harta miliknya sebagai rahn atas hutang orang lain.

Barang yang dijadikan rahn harus sah dijual agar bisa digunakan untuk melunasi hutang.

Meminta rahn boleh dilakukan saat transaksi maupun setelahnya. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala:

وَاِنْ كُنْتُمْ عَلٰى سَفَرٍ وَّلَمْ تَجِدُوْا كَاتِبًا فَرِهٰنٌ مَّقْبُوْضَةٌ

Jika kalian dalam perjalanan sedangkan kalian tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang.” (QS al-Baqarah: 283)

Pada ayat ini Allah Ta’ala menjadikan rahn sebagai pengganti dari penulisan hutang, sedangkan penulisan hutang terjadi setelah transaksi.

Baca juga: SIFAT RAHN (GADAI)

Baca juga: HUKUM MUSAQAH DAN MUZARA’AH

Baca juga: BERUTANG DENGAN NIAT TIDAK MEMBAYAR

Baca juga: JUAL BELI YANG DILARANG

(Syekh Dr Shalih bin Fauzan al-Fauzan)

Fikih