HUKUM KELEDAI JINAK DAN KUDA

HUKUM KELEDAI JINAK DAN KUDA

Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Di saat perang Khaibar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang memakan daging keledai jinak dan membolehkan memakan daging kuda.” (Muttafaq ‘alaih)

Dalam redaksi hadis dari al-Bukhari, “Dan Rasulullah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan rukhsah.”

PENJELASAN

Keledai adalah hewan berkuku satu yang mirip kuda kecil, bertelinga panjang dengan ekor yang berbulu hanya pada ujungnya, dipelihara orang sebagai kendaraan (tunggangan atau angkutan). Keledai dapat dijadikan alat penunjuk jalan, walaupun ia baru sekali melewati jalan tersebut. Keledai juga memiliki ketajaman pendengaran. Masyarakat memiliki pendapat yang berbeda dalam memuji dan mencaci keledai, sesuai dengan tujuan masing-masing.

Kuda adalah hewan menyusui, berkuku satu, biasa dipelihara orang sebagai kendaraan (tunggangan atau angkutan) atau penarik kendaraan dan sebagainya. Kuda dinamakan khail (gagah) karena kegagahannya dalam berjalan. Ada pendapat bahwa kuda adalah hewan yang pertama kali dijadikan kendaraan oleh Nabi Ismail ‘alaihissalam di Makkah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ارْكَبُوا الْخَيْلَ، فَإِنَّهَا مِيْرَاثُ أَبِيْكُمْ إِسْمَاعِيْلَ

Naikilah kuda, karena sesungguhnya kuda merupakan warisan ayah kalian, Nabi Ismail.” (HR Ibnu Majah)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengadakan lomba berkuda. Beliau menetapkan waktu dan mengemukakan tujuan perlombaan. Nabi Sulaiman ‘alaihissalam pernah mengadakan lomba berkuda dan memberikan pandangan yang baik bagi penyelenggaranya. Kuda memiliki peranan yang besar di awal dan di akhir tahun. Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman:

وَمِن رِّبَاطِ ٱلْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِۦ عَدُوَّ ٱللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ

Dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang, (yang dengan persiapan itu) kalian menggentarkan musuh Allah dan musuh kalian.” (QS al-Anfal: 60)

ad-Damiri berkata, “Kuda adalah jenis hewan berkaki empat yang paling baik untuk dijadikan kendaraan.”

Hal-Hal Penting dari Hadis

1️⃣ Diharamkannya daging keledai peliharaan (jinak), walaupun keledai tersebut menjadi liar. Ibnu Abdil Barr berkata, “Tidak ada perbedaan pendapat mengenai keharamannya.” Pensyarah kitab Bulughul Maram berkata, “Keharaman memakan daging keledai merupakan pendapat jumhur ulama, baik dari kalangan sahabat, tabiin maupun para ulama setelah mereka kecuali Ibnu Abbas, dimana ia berpendapat bahwa keledai tidak haram.”

Terdapat ijmak yang dinukil oleh Ibnu Abdil Barr setelah berakhirnya perselisihan pendapat di masa Ibnu Abbas.

2️⃣ Keharaman daging keledai didasarkan atas banyak hadis sahih. Terdapat sebuah hadis yang menjelaskan sebab pengharamannya, “Sesungguhnya keledai adalah najis.” Dalam redaksi lain, “Sesungguhnya keledai adalah kotor.”

3️⃣ Sebagaimana daging keledai haram, susu keledai juga haram dan najis. Oleh karena itu, meminumnya tidak boleh sekalipun untuk obat.

4️⃣ Pemahaman terbaik dari hadis di atas adalah dihalalkannya daging keledai liar. Keledai liar adalah hewan buruan. Siapa yang membunuhnya di tanah haram atau saat ihram, ia terkena sanksi. Dikatakan dalam Syarh al-Iqna’: “Wajib membayar denda (dam) dengan seekor sapi bagi orang yang membunuh keledai liar.” Umar memutuskan hukum dengan keputusan ini. Pendapat ini juga dikuatkan oleh Urwah dan Mujahid.

Keledai inilah yang dijuluki dengan kuda zebra yang merupakan hewan yang berasal dari Afrika.

5️⃣ Hadis di atas menunjukkan dihalalkannya daging kuda. Pendapat ini diutarakan oleh asy-Syafi’i, Ahmad, dua pengikut mazhab Abu Hanifah, Ishaq dan mayoritas ulama, baik ulama salaf maupun khalaf. Hal tersebut berdasarkan hadis di atas serta hadis-hadis sahih lainnya yang sejenis.

Imam Abu Hanifah dan Imam Malik berpendapat bahwa memakan daging kuda adalah makruh. Keduanya berdalil dengan hadis yang diriwayatkan dari Khalid bin Walid, di mana ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang memakan daging kuda, bighal, keledai dan seluruh binatang buas yang bertaring.” (HR Ahmad) Akan tetapi, hadis di atas dinilai daif oleh Imam Ahmad, ad-Daruquthni, al-Khathab, Ibnu Abdil Barr, dan Abdul Haq. al-Baihaqi berkata, “Sanad hadisnya mudhtarib (rancu) yang bertentangan dengan periwayatan para ulama hadis yang tsiqah.”

Di antara dalil hukum para ulama yang memakruhkan memakan daging kuda adalah firman Allah Ta’ala:

وَالْخَيْلَ وَالْبِغَالَ وَالْحَمِيْرَ لِتَرْكَبُوْهَا وَزِيْنَةً

Dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal, dan keledai agar kamu menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan.” (QS an-Nahl: 8)

Allah Ta’ala mengatakan bahwa kuda adalah untuk dijadikan tunggangan dan perhiasan, dan tidak mengatakan untuk dikonsumsi.

Para ulama yang membolehkan memakan daging kuda menjawab, “Mengatakan kuda untuk dijadikan tunggangan dan perhiasan tidak berarti bahwa manfaat kuda hanya terbatas pada tunggangan dan perhiasan. Tunggangan dan perhiasan disebutkan di sini karena tujuan yang paling utama dari kuda memang terletak pada kedua hal tersebut.”

Wallahu ‘alam.

Baca juga: HUKUM MAKANAN DAN MINUMAN

Baca juga: HUKUM SEMUT, LEBAH, BURUNG HUD-HUD, DAN BURUNG ELANG

Baca juga: HUKUM BINATANG BUAS BERTARING DAN BURUNG BERCAKAR

(Syekh Abdullah bin Abdurrahman al-Bassam)

Fikih