Di antara sebab merasakan manisnya iman adalah muraqabatullah (merasa diawasi oleh Allah). Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya, “Apa yang dimaksud dengan menyucikan jiwa?” Beliau bersabda, “Ia tahu bahwa Allah selalu bersamanya dimana pun ia berada.”
Dari Abdullah bin Muawiyah al-Ghadhiri radhiyallahu ‘anhu, dia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثَلَاثٌ مَنْ فَعَلَهُنَّ فَقَدْ طَعِمَ طَعْمَ الْإِيمَانِ، مَنْ عَبَدَ اللَّهَ وَحْدَهُ بِأَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّاهُوَ، وَأَعْطَى زَكَاةَ مَالِهِ طَيِّبَةً بِهَا نَفْسُهُ فِي كُلِّ عَامٍ، وَلَمْ يُعْطِي الْهَرِمَةَ وَلَا الدَّرِنَةَ وَلَا الْمَرِيضَةَ وَلَكِنْ مِنْ أَوْسَطِ أَمْوَالِكُمْ، فَإِنَّ اللَّهَ لَمْ يَسْأَلْكُمْ خَيْرَهَا وَلَمْ يَأْمُرْكُمْ بِشَرِّهَا، وَزَكَّى نَفْسَهُ
“Tiga perkara yang barangsiapa melakukannya, maka ia telah merasakan manisnya iman, yaitu (1) Dia beribadah kepada Allah Azza wa Jalla semata, sebab tidak ada sembahan yang berhak disembah kecuali Dia; (2) Memberi zakat hartanya dengan penuh suka cita setiap tahun. Ia tidak memberikan (hewan ternak) yang tua, yang cacat, dan yang sakit. Akan tetapi dari harta-harta kalian yang tengah-tengah. Allah Azza wa Jalla tidak meminta dari kalian yang terbaik dan tidak memerintahkan kalian untuk memberikan yang terburuk; (3) Menyucikan jiwanya.”
Seseorang bertanya, “Apa yang dimaksud dengan menyucikan jiwa?”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَنْ يَعْلَمَ أَنَّ اللهَ مَعَهُ حَيْثُ كَانَ
“Ia tahu bahwa Allah selalu bersamanya di mana pun ia berada.” (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh Abu Dawud, ath-Thabrani, dan al-Baihaqi. Lihat Shahih al-Jami’ ash-Shaghir)
Juga sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وَهُوَ مَعَكُمْ اَيْنَ مَا كُنْتُمْ
“Dan Dia bersama kalian di mana saja kalian berada.” (QS al-Hadid: 4)
Kebersamaan di sini adalah kebersamaan sifat, bukan kebersamaan zat. Allah Ta’ala dengan Zat-Nya berada di atas Arsy-Nya. Dia Ta’ala terpisah dari makhluk-makhluk-Nya. Meski demikian, Dia selalu bersama mereka dengan pendengaran, penglihatan, dan ilmu pengetahuan-Nya. Oleh karena itu, Allah Ta’ala menggabungkan sifat istiwa’ (bersemayam) di atas Arsy-Nya dan sifat ma’iyah (kebersamaan) dalam satu ayat.
Allah Ta’ala berfirman:
هُوَ الَّذِيْ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ فِيْ سِتَّةِ اَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوٰى عَلَى الْعَرْشِۚ يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِى الْاَرْضِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا يَنْزِلُ مِنَ السَّمَاۤءِ وَمَا يَعْرُجُ فِيْهَاۗ وَهُوَ مَعَكُمْ اَيْنَ مَا كُنْتُمْۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ
“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar dari dalamnya, apa yang turun dari langit dan apa yang naik ke langit. Dan Dia bersama kalian di mana saja kalian berada. Dan Allah Mahamelihat apa yang kalian kerjakan.”(QS al-Hadid: 4)
Barangsiapa sadar bahwa Allal Ta’ala selalu bersamanya, ia akan merasa malu kepada-Nya sehingga ia tidak mengucapkan perkataan buruk, karena ia tahu bahwa Allah Ta’ala mendengarnya. Ia tidak akan mengerjakan hal-hal yang buruk, karena ia tahu bahwa Allah Ta’ala melihatnya. Ia juga tidak akan menyimpan di dalam jiwanya apa-apa yang tidak dicintai oleh Allah Ta’ala, karena ia tahu bahwa Allah Mahamengetahui apa yang tersimpan di dalam dada. Dengan itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi wasiat kepada Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu,
اتَّقِ اللَّهِ حَيْثُمَا كُنْتَ
“Bertakwalah kamu kepada Allah di mana pun kamu berada.” (Hadis hasan. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan at-Tirmidzi)
Maksudnya bertakwalah di saat sembunyi-sembunyi dan terang-terangan, yaitu di saat orang-orang melihatmu dan di saat orang-orang tidak melihatmu. Perkara inilah yang menyebabkan seseorang merasa takut kepada Allah Ta’ala di saat sembunyi. Orang yang tahu bahwa Allah Ta’ala selalu melihatnya di mana pun ia berada dan mengetahui apa yang zahir dan yang batin darinya, juga apa yang tersembunyi dan tampak darinya, dan ia selalu menyadari hal tersebut di saat bersendirian, maka itu semua akan membuatnya meninggalkan berbagai macam kemaksiatan di saat sembunyi-sembunyi.
Orang-orang terdahulu dari kalangan salafush shalih radhiyallahu ‘anhuma selalu menanamkan rasa muraqabatullah (merasa diawasi oleh Allah) di dalam jiwa anak-anak mereka sejak kecil.
Diriwayatkan dari Sahl bin Abdillah at-Tasturi rahimahullah, ia berkata, “Dahulu ketika aku berumur tiga tahun aku bangun malam dan melihat pamanku, Muhammad bin Suwar melaksanakan salat. Suatu hari ia berkata kepadaku, “Tidakkah kamu berzikir kepada Allah Ta’ala, Zat yang telah menciptakanmu?” Aku bertanya kepadanya, “Bagaimana aku berzikir kepada-Nya?” Ia menjawab, “Ucapkanlah di dalam hatimu ketika engkau membolak-balikkan pakaianmu sebanyak tiga kali tanpa menggerakkan lisanmu, ‘Allah Ta’ala bersamaku, Allah Ta’ala melihatku, Allah Ta’ala menyaksikanku.'”
Aku pun mengucapkan hal itu selama beberapa malam. Kemudian aku memberitahukan hal itu kepadanya. Ia berkata kepadaku, “Ucapkanlah sebanyak tujuh kali setiap malam.” Aku pun mengucapkan hal itu. Kemudian memberitahukan hal itu kepadanya. Ia berkata kepadaku, “Ucapkanlah sebanyak sebelas kali setiap malam.” Aku pun melakukan hal itu hingga aku merasakan manisnya iman (muraqabah) di dalam hatiku. Setelah berjalan satu tahun, pamanku berkata kepadaku, “Peliharalah apa yang telah aku ajarkan kepadamu, dan kerjakanlah selalu sampai engkau masuk ke liang kubur, karena hal itu akan bermanfaat bagimu di dunia dan di akhirat.” Aku pun terus menerus melakukan hal itu selama beberapa tahun sehingga aku merasakan manisnya iman (muraqabah) di dalam jiwaku.
Suatu hari pamanku berkata kepadaku, “Wahai Sahl, orang yang Allah Ta’ala selalu bersamanya, melihatnya, dan menyaksikannya, akankah ia bermaksiat kepada-Nya? Berhati-hatilah engkau terhadap maksiat.”
Muraqabatullah (merasa diawasi oleh Allah) dapat mencegah seseorang dari bermaksiat, sedangkan meninggalkan maksiat dapat menyucikan jiwa. Barangsiapa menyucikan jiwanya, sungguh ia telah beruntung dan selamat, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
اِنَّهٗ مَنْ يَّأْتِ رَبَّهٗ مُجْرِمًا فَاِنَّ لَهٗ جَهَنَّمَ ۗ لَا يَمُوْتُ فِيْهَا وَلَا يَحْيٰى وَمَنْ يَّأْتِهٖ مُؤْمِنًا قَدْ عَمِلَ الصّٰلِحٰتِ فَاُولٰۤىِٕكَ لَهُمُ الدَّرَجٰتُ الْعُلٰى جَنّٰتُ عَدْنٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُ خٰلِدِيْنَ فِيْهَا ۗوَذٰلِكَ جَزٰۤؤُا مَنْ تَزَكّٰى
“Sesungguhnya barangsiapa datang kepada Rabbnya dalam keadaan berdosa, maka sungguh baginya adalah Neraka Jahanam. Ia tidak mati (terus merasakan azab) di dalamnya dan tidak (pula) hidup (tidak dapat bertobat). Tetapi, barangsiapa datang kepada-Nya dalam keadaan beriman dan telah mengerjakan kebajikan, maka mereka itulah orang yang memperoleh derajat yang tinggi (mulia), (yaitu) surga-surga ‘Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya. Itulah balasan bagi orang yang menyucikan diri.” (QS Thaha: 74-76)
Baca juga: TAKUT KEPADA ALLAH DI SAAT SEMBUNYI DAN TERANG-TERANGAN
Baca juga: BERHARAP DAN RASA TAKUT
Baca juga: BERTAKWA, MERASA CUKUP, DAN SEMBUNYI-SEMBUNYI
(Dr Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi)