HIKMAH PENCIPTAAN JIN DAN MANUSIA

HIKMAH PENCIPTAAN JIN DAN MANUSIA

Allah Ta’ala menciptakan tsaqalain (jin dan manusia) untuk suatu hikmah yang sangat besar, yaitu beribadah kepada-Nya semata yang tiada sekutu bagi-Nya dan meninggalkan beribadah kepada selain-Nya.

Allah Ta’ala berfirman:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS adz-Dzariyat: 56)

Yakni mentauhidkan-Nya.

Ayat ini berisi penjelasan tentang agungnya kedudukan tauhid, karena seluruh makhluk tidak diciptakan kecuali untuk beribadah kepada-Nya.

Allah Ta’ala berfirman:

اَيَحْسَبُ الْاِنْسَانُ اَنْ يُّتْرَكَ سُدًىۗ

Apakah manusia mengira bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)?” (QS al-Qiyamah: 36)

Yakni tidak diperintah dan tidak pula dilarang?

Allah Ta’ala berfirman dalam ayat yang lain:

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوْا رَبَّكُمُ

Hai manusia, sembahlah Rabb kalian.” (QS al-Baqarah: 21)

Yakni esakanlah Allah.

Allah Ta’ala memerintahkan manusia kepada tujuan penciptaan mereka. Dia mengutus para rasul untuk tujuan tersebut.

Allah mengabarkan bahwa Dia tidak membutuhkan mereka. Merekalah yang membutuhkan-Nya dalam semua ihwal mereka.

Allah Ta’ala berfirman:

مَآ اُرِيْدُ مِنْهُمْ مِّنْ رِّزْقٍ وَّمَآ اُرِيْدُ اَنْ يُّطْعِمُوْنِ

Aku tidak menghendaki rezeki sedikitpun dari mereka, dan Aku tidak menghendaki agar mereka memberi-Ku makan.” (QS adz-Dzariyat: 57)

Allah Ta’ala memerintahkan manusia agar beribadah kepada-Nya semata yang tiada sekutu bagi-Nya, dan meninggalkan sembahan selain-Nya melalui firman-Nya:

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِيْ كُلِّ اُمَّةٍ رَّسُوْلًا اَنِ اعْبُدُوا اللّٰهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوْتَ

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah tagut itu.’” (QS an-Nahl: 36)

Ibnu al-Qayyim rahimahullah berkata, “Tagut adalah segala sesuatu yang menjadikan hamba melampaui batas, baik sembahan, orang yang diikuti maupun orang yang ditaati.”

Sembahan misalnya berhala, orang yang diikuti misalnya dukun dan tukang sihir, dan orang yang ditaati misalnya pemimpin yang memerintahkan kemaksiatan kepada Allah.

Allah Ta’ala mengabarkan bahwa Dia telah mengutus kepada setiap golongan dan generasi manusia seorang utusan, sejak munculnya kemusyrikan di tengah kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam hingga ditutup dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memerintahkan mereka, “Sembahlah Allah dan jauhilah tagut”, yakni tauhidkanlah Allah dengan ibadah, dan tinggalkanlah serta berpisahlah dari ibadah kepada selain-Nya. Karena tujuan inilah makhluk diciptakan, para rasul diutus, dan kitab-kitab diturunkan.

Firman-Nya, “Sembahlah Allah” berisikan itsbat (penetapan), dan firman-Nya, “Dan jauhilah tagut” berisikan nafiy (penafian). Ini adalah metode al-Qur’an mengiringkan penafian dengan penetapan, yaitu menafikan segala selain Allah dan menetapkan peribadatan kepada Allah semata.

Menafikan saja bukanlah tauhid, demikian pula menetapkan tanpa menafikan (bukanlah tauhid). Jadi, tauhid harus berisi penafian dan penetapan. Inilah hakikat tauhid.

Ayat ini berisi penjelasan tentang besarnya kedudukan tauhid, dan penegakan hujah atas para hamba. Barangsiapa beribadah kepada Allah Ta’ala dan tidak mengingkari tagut, maka ia bukan orang yang bertauhid. Betapa banyak kejahilan tentang hal itu pada zaman ini. Barangsiapa beribadah kepada Allah Ta’ala sedangkan ia tidak meyakini batilnya menyembah kuburan, maka ia bukan orang yang bertauhid.

Allah Ta’ala berfirman dalam ayat lain:

وَقَضٰى رَبُّكَ اَلَّا تَعْبُدُوْٓا اِلَّآ اِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسٰنًا

Dan Rabbmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia, dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.” (QS al-Isra: 23)

Yakni Dia Ta’ala memerintahkan, mewasiatkan, dan mewajibkan lewat lisan para rasul-Nya agar Dia sajalah yang disembah, bukan selain-Nya.

Yang dimaksud dengan al-qadha’ (ketetapan) di sini ialah al-qadha’ asy-syar’i ad-dini (ketetapan syariat agama).

Ayat-ayat ini berisi sejumlah syariat yang diawali dengan tauhid. Ini menunjukkan bahwa tauhid adalah kewajiban yang paling utama, karena Allah tidak memulai kecuali dengan yang paling penting dan seterusnya. Lalu ditutup dengan larangan terhadap syirik. Ini menunjukkan bahwa syirik adalah keharaman yang terbesar.

Kemudian Allah Ta’ala memerintahkan agar berbakti kepada kedua orang tua. Dia menyandingkan berbakti kepada kedua orang tua dengan beribadah kepada-Nya untuk mengingatkan keutamaan dan menegaskan hak keduanya serta bahwa itu adalah hak yang paling diwajibkan setelah hak Allah.

Berbakti kepada kedua orang tua merupakan faktor masuk Surga. Allah tidak mengkhususkan jenis perbuatan baik kepada keduanya agar mencakup semua jenisnya, yaitu berkata dengan lemah-lembut, mendoakan keduanya dan yang lainnya.

Allah Ta’ala berfirman:

وَاعْبُدُوا اللّٰهَ وَلَا تُشْرِكُوْا بِهٖ شَيْـًٔا

Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun.” (QS an-Nisa: 36)

Perintah dari Allah kepada hamba-Nya adalah hamba beribadah kepada-Nya semata yang tiada sekutu bagi-Nya. Dia-lah Pencipta, Pemberi rezeki, Pemberi karunia kepada makhluk-Nya, dan Dia-lah yang berhak untuk mereka tauhidkan serta tidak mereka sekutukan dengan suatu apa pun.

Dia Ta’ala menyandingkan perintah beribadah yang difardukan-Nya dengan larangan terhadap syirik yang diharamkan-Nya. Ini menunjukkan bahwa menjauhi syirik adalah syarat sahnya ibadah.

Amalan hamba berupa salat, zakat, istigfar dan selainnya tidak diterima kecuali jika ia mentauhidkan Allah dan mengesakan-Nya dengan peribadatan.

Ayat ini disebut dengan “ayat sepuluh hak”. Hal itu karena ayat ini berisi sepuluh hak, yang dimulai dengan perintah kepada tauhid dan larangan berbuat syirik. Ini menunjukkan bahwa tauhid merupakan kewajiban paling utama dan syirik adalah keharaman paling besar. Di dalamnya berisi tafsir tauhid, dan bahwa tauhid adalah peribadatan kepada Allah Ta’ala semata dan meninggalkan syirik.

Allah Ta’ala berfirman:

رَبُّ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا فَاعْبُدْهُ وَاصْطَبِرْ لِعِبَادَتِهٖۗ هَلْ تَعْلَمُ لَهٗ سَمِيًّا

Rabb (yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya, maka sembahlah Dia dan berteguh-hatilah dalam beribadat kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada seseorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?” (QS Maryam: 65)

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Barangsiapa ingin melihat pesan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang di atas perkara itulah beliau menutup kehidupannya, maka bacalah firman Allah Ta’ala:

قُلْ تَعَالَوْا اَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ اَلَّا تُشْرِكُوْا بِهٖ شَيْـًٔا وَّبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسَانًاۚ وَلَا تَقْتُلُوْٓا اَوْلَادَكُمْ مِّنْ اِمْلَاقٍۗ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَاِيَّاهُمْ ۚوَلَا تَقْرَبُوا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَۚ وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِيْ حَرَّمَ اللّٰهُ اِلَّا بِالْحَقِّۗ ذٰلِكُمْ وَصّٰىكُمْ بِهٖ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُوْنَ؛ وَلَا تَقْرَبُوْا مَالَ الْيَتِيْمِ اِلَّا بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُ حَتّٰى يَبْلُغَ اَشُدَّهٗ ۚوَاَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيْزَانَ بِالْقِسْطِۚ لَا نُكَلِّفُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَاۚ وَاِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوْا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبٰىۚ وَبِعَهْدِ اللّٰهِ اَوْفُوْاۗ ذٰلِكُمْ وَصّٰىكُمْ بِهٖ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ؛ وَاَنَّ هٰذَا صِرَاطِيْ مُسْتَقِيْمًا فَاتَّبِعُوْهُ

Katakanlah, ‘Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kalian oleh Rabb kalian, yaitu janganlah kalian mempersekutukan sesuatu dengan Dia; berbuat baiklah terhadap kedua ibu bapak; janganlah kalian membunuh anak-anak kalian karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezeki kepada kalian dan kepada mereka; janganlah kalian mendekati perbuatan-perbuatan keji, baik yang tampak di antaranya maupun yang tersembunyi; dan janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. Demikian itu yang diperintahkan kepada kalian agar kalian memahami(nya). Dan Janganlah kalian dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat hingga ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekadar kesanggupannya. Dan bila kalian berkata, maka hendaklah kalian berlaku adil, kendatipun ia adalah kerabat (kalian). Dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepada kalian agar kalian ingat. Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah Dia.” (QS al-An’am: 151-153)

Allah Ta’ala memerintahkan Nabi-Nya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa salam agar mengatakan kepada kaum musyrikin yang menyembah selain Allah:

قُلْ تَعَالَوْا اَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ اَلَّا تُشْرِكُوْا بِهٖ شَيْـًٔا

Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kalian oleh Rabb kalian, yaitu janganlah kalian mempersekutukan sesuatu dengan Dia.” (QS al-An‘am: 151)

Dalam ayat ini Allah Ta’ala menyebutkan sejumlah perkara yang diharamkan yang diawali dengan larangan terhadap syirik. Ini menunjukkan bahwa syirik adalah keharaman terbesar.

Salah satu yang menunjukkan agungnya kedudukan ayat-ayat tersebut adalah bahwa Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu memandang bahwa ayat-ayat tersebut mencakup seluruh perkara agama, seakan-akan itu adalah pesan terakhir Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ditinggalkannya untuk umatnya.

Dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Aku dibonceng oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas keledai. Beliau berkata,

يَا مُعَاذُ، هَلْ تَدْرِي حَقَّ اللَّهِ عَلَى عِبَادِهِ وَمَا حَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللَّهِ

Wahai Mu’adz, tahukah kamu apakah hak Allah atas hamba dan apakah hak hamba atas Allah?

Aku menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.”

Beliau bersabda,

فَإِنَّ حَقَّ اللَّهِ عَلَى الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوهُ وَلَا يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا، وَحَقَّ الْعِبَادِ عَلَى اللَّهِ أَنْ لَا يُعَذِّبَ مَنْ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا

Sesungguhnya hak Allah atas hamba adalah mereka menyembah-Nya dan tidak menyekutukan sesuatu pun dengan-Nya, sedangkan hak hamba atas Allah adalah Dia tidak mengazab orang yang tidak menyekutukan sesuatu pun dengannya.”

Aku berkata, “Wahai Rasulullah, tidakkah aku sampaikan kabar gembira ini kepada orang-orang?”

Beliau berkata.

لَا تُبَشِّرْهُمْ فَيَتَّكِلُوا

Janganlah kabar gembira ini kau sampaikan kepada mereka, karena nantinya mereka akan pasrah saja.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Hak hamba atas Allah Ta’ala adalah mereka mentauhidkan dan mengesakan-Nya dengan peribadatan serta meninggalkan kemusyrikan, baik kecil maupun besar. Barangsiapa tidak meninggalkan syirik, maka ia belum beribadah kepada Allah semata. Bahkan ia musyrik yang menjadikan tandingan bagi Allah dalam beribadah kepada-Nya.

Karunia Allah Ta’ala atas kaum yang bertauhid sangat besar dan anugerah-Nya sangat melimpah. Mu’adz radhiyallalhu ‘anhu ingin menyampaikan kabar gembira itu kepada orang-orang tentang keutamaan tauhid dan keutamaan orang yang berpegang teguh dengannya di sisi Allah, namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mengabarkannya karena dikhawatirkan mereka hanya akan bersandar pada kabar gembira itu. Mereka tidak berlomba-lomba dalam beramal saleh karena bersandar pada zahir hadis tersebut.

Hadis ini berisi kesimpulan tentang dianjurkannya memberi kabar gembira kepada orang muslim dengan perkara yang menggembirakan berupa perkara dunia dan akhirat, serta bolehnya menyembunyikan ilmu untuk kemaslahatan.

Baca juga: SEMBAHLAH ALLAH DAN JAUHILAH TAGUT

Baca juga: PEMBATAL-PEMBATAL AMAL IBADAH

Baca juga: AKIDAH ISLAM

Baca juga: BESARNYA PAHALA SEBANDING DENGAN BESARNYA UJIAN

(Abdul Malik bin Muhammad al-Qasim)

Akidah