Kemudian Allah Ta’ala berfirman: “Wahai hamba-hamba-Ku, setiap kalian tersesat kecuali orang yang Aku beri petunjuk, maka mintalah petunjuk kepada-Ku, niscaya Aku beri kalian petunjuk.”
Kata “dhall” artinya tersesat, yaitu tidak mengetahui kebenaran. “Dhall” bisa juga berarti tersesat dalam arti menyimpang dan tidak mau menerima kebenaran.
Manusia dalam hal tersesat terbagi menjadi dua golongan:
Pertama: Golongan yang tersesat karena tidak mengetahui kebenaran. Yang termasuk dari golongan ini adalah orang-orang Nasrani. Mereka tersesat, bingung (kehilangan arah), tidak mengetahui kebenaran kecuali setelah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus. Setelah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus, mereka mengetahui kebenaran. Tetapi mereka menyombongkan diri untuk mengikutinya. Dengan demikian, mereka tidak berbeda dengan kaum Yahudi dalam hal bahwa mereka sama-sama mengetahui kebenaran tetapi tidak mengikutinya.
Kedua: Golongan yang tersesat karena karena memilih kesesatan. Mereka memilih kesesatan daripada petunjuk setelah mengetahui kebenaran (petunjuk). Golongan ini seperti kaum Yahudi. Mereka mengetahui kebenaran tetapi tidak mau menerimanya, bahkan mereka menolaknya.
Di antara hal itu adalah firman Allah Tabaraka wa Ta’ala:
وَاَمَّا ثَمُوْدُ فَهَدَيْنٰهُمْ فَاسْتَحَبُّوا الْعَمٰى عَلَى الْهُدٰى
“Adapun kaum Tsamud, maka Kami telah memberi petunjuk kepada mereka, namun mereka lebih menyukai kebutaan daripada petunjuk.” (QS Fushshilat: 17)
Allah telah memberi mereka petunjuk, menjelaskan kebenaran, dan menunjukkan jalan yang benar. Namun mereka lebih menyukai kebutaan (kesesatan) daripada petunjuk, dan lebih menyukai kesesatan daripada kebenaran.
Maka semua manusia berada dalam kesesatan, kecuali orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah.
Apa makna hidayah bagi golongan pertama, yaitu orang yang tersesat dan belum mengetahui kebenaran?
Hidayah bagi golongan pertama adalah bahwa Allah menjelaskan mereka kebenaran dan menunjukkan jalan yang benar. Hidayah ini adalah hak atas Allah —yakni hak yang Allah wajibkan atas diri-Nya sendiri. Maka seluruh makhluk telah diberi hidayah oleh Allah dalam makna ini, yaitu makna penjelasan. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala:
إِنَّ عَلَيْنَا لَلْهُدَى
“Sesungguhnya Kami-lah yang bertanggung jawab memberikan petunjuk.” (QS al-Lail: 12)
Dan firman-Nya:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدىً لِلنَّاسِ
“Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia.” (QS al-Baqarah: 185)
Yakni petunjuk bagi seluruh manusia secara umum.
Hidayah yang kedua adalah hidayah taufik untuk menerima kebenaran dan mengamalkannya. Hidayah ini Allah khususkan bagi siapa saja yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya.
Jadi hidayah terbagi menjadi dua:
Pertama: Hidayah berupa penjelasan kebenaran, dan ini bersifat umum bagi setiap orang, yang telah Allah wajibkan atas diri-Nya sendiri. Dia telah menjelaskan kepada hamba-hamba-Nya antara yang benar dan yang batil.
Kedua: Hidayah berupa taufik untuk menerima kebenaran dan mengamalkannya, yakni membenarkan berita (yang datang dari Allah dan Rasul-Nya) serta melaksanakan perintah-Nya. Hidayah ini bersifat khusus, hanya diberikan oleh Allah kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya.
Manusia dalam hal hidayah terbagi menjadi beberapa golongan:
Golongan pertama, yaitu orang-orang yang diberi kedua jenis hidayah sekaligus. Yakni Allah mengajarkan kepada mereka kebenaran dan memberi mereka taufik untuk menerimanya serta mengikutinya.
Golongan kedua adalah orang-orang yang diharamkan dari kedua jenis hidayah: tidak memiliki ilmu dan juga tidak memiliki ibadah.
Golongan ketiga adalah orang-orang yang diberi petunjuk melalui penjelasan dan bimbingan (irsyad), tetapi tidak diberi petunjuk berupa taufik (untuk menerima kebenaran dan mengamalkannya). Ini adalah golongan yang paling buruk –wal’iyadzu billah.
Yang penting adalah bahwa Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: “Setiap kalian tersesat,” yaitu kalian semua tidak mengetahui kebenaran, atau kalian semua tidak menerima kebenaran, kecuali orang yang Aku beri petunjuk. “maka mintalah petunjuk kepada-Ku, niscaya Aku beri kalian petunjuk,” yakni mintalah hidayah dari-Ku. Jika kalian memintanya, maka sungguh Aku akan mengabulkan dan memberi kalian petunjuk kepada kebenaran.
Bentuk kalimat ini seperti jawaban atas suatu syarat, di mana hasil (jawaban) hanya akan terjadi jika syaratnya terpenuhi. Hal ini ditunjukkan dengan bentuk kata kerja yang jazm (bentuk syarat): “istahduni ahdikum.” Jadi, kapan pun kamu meminta hidayah kepada Allah dengan tulus, merasa sangat membutuhkan-Nya, dan dengan penuh kesungguhan, niscaya Allah akan memberikanmu hidayah.
Kebanyakan dari kita berpaling dari hal ini. Kita beribadah, tetapi hanya sebatas kebiasaan dan sekadar mengikuti apa yang dilakukan orang-orang, seakan-akan kita tidak butuh kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam hal memohon hidayah. Padahal yang seharusnya kita lakukan adalah senantiasa memohon hidayah kepada Allah. Setiap orang dalam shalatnya memohon, (رَبِّ اغْفِرْ لِي، ارْحَمْنِي وَاهْدِنِي) “Ya Rabb, ampunilah aku, rahmatilah aku, dan berilah aku petunjuk.” Bahkan dalam setiap rakaat shalat, sebagai bagian dari rukun, ia membaca: (اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ) “Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat kepada mereka.” (QS al-Fatihah: 7-8)
Namun di manakah hati-hati yang sadar?
Sesungguhnya kebanyakan orang yang shalat membaca ayat ini, tapi ia lewat begitu saja seperti bayangan, yakni seperti awan yang berlalu tanpa hujan dan tanpa makna, dan ia pun tidak menyadarinya.
Yang sepatutnya bagi kita adalah menyadari dan mengetahui bahwa kita sangat membutuhkan Allah ‘Azza wa Jalla dalam urusan hidayah, baik hidayah berupa ilmu pengetahuan maupun berupa amal perbuatan, yaitu hidayah berupa penjelasan (irsyad) dan petunjuk (dalalah), maupun hidayah berupa taufik (untuk mengamalkan). Karena itu, kita wajib untuk senantiasa memohon hidayah kepada Allah.
Firman Allah “maka mintalah petunjuk kepada-Ku, niscaya Aku beri kalian petunjuk” bisa jadi kalimat ini mencakup jalan fisik, sebagaimana mencakup jalan maknawi (batin/spiritual).
Hidayah untuk jalan maknawi adalah hidayah menuju agama Allah. Sedangkan hidayah untuk jalan fisik, contohnya kamu berada di suatu tempat lalu tersesat dan kehilangan arah. Kepada siapa kamu akan meminta petunjuk? Tentu kamu meminta petunjuk kepada Allah. Oleh karena itu, Allah berfirman tentang Musa ‘alaihis salam:
وَلَمَّا تَوَجَّهَ تِلْقَاءَ مَدْيَنَ قَالَ عَسَى رَبِّي أَنْ يَهْدِيَنِي سَوَاءَ السَّبِيلِ
“Dan ketika ia (Musa) menghadap ke arah (kota) Madyan, ia berkata, ‘Semoga Rabb-ku memberi petunjuk kepadaku ke jalan yang lurus.” (QS al-Qasas: 22)
Maksud dari “jalan yang lurus” adalah jalan yang lurus dan menyampaikan ke tujuan tanpa kesulitan. Hal ini telah terbukti secara nyata. Jika seseorang tersesat di padang pasir, ia akan memohon kepada Allah dan berkata, “Ya Rabb, tunjukilah aku jalan yang lurus,” atau “Semoga Rabb-ku memberi petunjuk kepadaku ke jalan yang lurus.”
Karena itu, kita sangat membutuhkan Allah dalam dua jenis hidayah: hidayah jalan secara fisik dan hidayah menuju jalan maknawi (agama dan kebenaran).
Kami memohon kepada Allah agar Dia memberi kita semua hidayah, bersama orang-orang yang telah Dia beri petunjuk.
Baca juga: GOLONGAN YANG SELAMAT
Baca juga: MANHAJ (JALAN) GOLONGAN YANG SELAMAT
Baca juga: PAHALA MENGAJAK KEPADA PETUNJUK (KEBAIKAN)
(Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)