105. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata: Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَتَى الْغَائِطَ فَلْيَسْتَتِرْ
“Barang siapa mendatangi tempat buang hajat, hendaklah ia menutup diri (bersembunyi).” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud)
106. Dan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila keluar dari tempat buang hajat, beliau mengucapkan,
غُفْرَانَكَ
“Aku memohon ampunan-Mu.” (Dikeluarkan oleh lima imam hadis, dan disahihkan oleh Abu Hatim serta al-Hakim)
PENJELASAN
Dua hadis ini dibawakan oleh Ibnu Hajar rahimahullah dari hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha. Adapun hadis pertama, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa mendatangi tempat buang hajat, hendaklah ia menutup diri.”
Yang dimaksud dengan “tempat buang hajat” adalah tempat di mana seseorang menunaikan hajatnya. Sedangkan “hendaklah ia menutup diri” artinya menutupi diri dari pandangan manusia.
Menutup diri terbagi menjadi dua jenis:
Pertama: Menutup diri yang wajib, yaitu menutup diri untuk menutupi aurat.
Kedua: Menutup diri yang dianjurkan, yaitu menutup seluruh badan dari pandangan manusia, sebagaimana telah disebutkan dalam hadis al-Mughirah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pergi hingga beliau tersembunyi dari pandangan manusia, lalu menunaikan hajatnya. (Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim)
Ini termasuk bagian dari adab. Menutup aurat adalah bagian dari adab yang wajib, sedangkan menutup diri secara umum adalah bagian dari adab yang dianjurkan.
Ibnu Hajar rahimahullah juga menyebutkan hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila keluar dari tempat buang hajat, mengucapkan,
غُفْرَانَكَ
“Aku memohon ampunan-Mu.”
Artinya, aku memohon kepada-Mu ampunan-Mu.
“al-Ghufran” adalah bentuk masdar (kata dasar) dari kata “ghafara — yaghfiru” (mengampuni), sebagaimana “asy-syukran” adalah bentuk masdar dari “syakara — yasykuru” (bersyukur).
Yang dimaksud dengan ampunan (maghfirah) adalah bahwa Allah Ta’ala menutupi dosamu dan memaafkanmu, sehingga Dia tidak menghukummu karenanya.
Ampunan terjadi baik di dunia maupun di akhirat. Adapun di dunia, maka kebaikan-kebaikan menghapuskan kejelekan-kejelekan. Adapun di akhirat, maka Allah Ta’ala akan memberikan balasan kepada orang mukmin, kemudian mengampuninya.
Allah Ta’ala berfirman kepada orang itu:
عَمِلْتُ كَذَا يَوْمَ كَذَا وَكَذَا
“Kamu telah melakukan ini dan itu pada hari ini dan itu.”
Kemudian Allah berfirman lagi:
إِنِّي قَدْ سَتَرْتُهَا عَلَيْكَ فِي الدُّنْيَا وَإِنِّي أَغْفِرُهَا لَكَ الْيَوْمَ
“Sesungguhnya Aku telah menutupinya atasmu di dunia, dan Aku mengampuninya untukmu pada hari ini.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim)
Para ulama berbeda pendapat mengenai sebab seseorang mengucapkan “Ghufranak” saat keluar dari tempat buang hajat. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa ia memohon ampun karena selama berada di dalam tempat buang hajat, ia tidak menyebut nama Allah, maka ia pun memohon ampun atas hilangnya waktu tersebut tanpa dzikir. Namun, pendapat ini perlu ditinjau kembali. Sebab, diamnya seseorang dari menyebut nama Allah di dalam tempat buang hajat adalah demi mengagungkan nama Allah ‘Azza wa Jalla, agar ia tidak menyebut-Nya di tempat yang kotor ini. Oleh karena itu, kamu tidak berdosa sehingga kamu tidak perlu mengucapkan permohonan ampun karenanya.
Pendapat yang benar adalah bahwa sebab seseorang mengucapkan “Ghufranak” adalah ketika seseorang telah membuang kotoran yang mengganggu di dalam perutnya, yaitu gangguan fisik, maka ia memohon kepada Allah agar diselamatkan dari gangguan maknawi (batin), yaitu dosa-dosa dan pengaruh buruknya terhadap hati, amal, dan akhlak, karena dosa-dosa memberikan pengaruh buruk pada hati, amal, dan akhlak, memberatkan orang yang sempurna imannya, dan dapat membinasakan manusia. Demikian pula, keluarnya kotoran secara fisik menyakitkan manusia, memberatkan pundaknya, dan dapat membinasakannya jika tertahan (tidak keluar). Oleh karena itu, ketika seseorang mengingat bahwa Allah telah meringankan bebannya dengan keluarnya kotoran ini, ia pun memohon kepada Allah agar meringankan dosa-dosa dan dampaknya atas dirinya.
Inilah penjelasan yang paling benar tentang sebab dan hikmah dari ucapan “Ghufranak” ketika seseorang keluar dari tempat buang hajat.
Berdasarkan hal ini, apabila kamu keluar dari tempat buang hajat, dahulukanlah kaki kananmu dan ucapkanlah, “Ghufranak”. Jika engkau menambahkan,
الْـحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِي أَذْهَبَ عَنِّي الْأَذَى وَعَافَانِي
(Alhamdulillahi alladzi adzhaba ‘anni al-adza wa ‘afani) “Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan gangguan dariku dan menyembuhkanku,” (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah) maka itu adalah lebih baik.
Gangguan adalah sesuatu yang keluar berupa air kencing atau tinja, dan itu adalah gangguan yang tidak diragukan lagi. Seandainya itu tetap berada di dalam tubuhmu, niscaya akan membinasakanmu. Oleh karena itu, kamu mengucapkan, “Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan gangguan dariku dan menyembuhkanku,” yaitu, menyelamatkanku dari bahaya yang akan terjadi seandainya gangguan itu tetap berada di dalam tubuhku.
Sebagian ulama berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah memperkenalkanku rasa lezatnya (maksudnya makanan), membiarkan manfaatnya tetap dalam diriku, dan menghilangkan gangguannya dariku.” (Diriwayatkan oleh Ibnu as-Sunni, ath-Thurthusyi, Ibnu Abi Syaibah, dan al-Baihaqi) Akan tetapi, apa yang datang dari sunah lebih utama untuk diamalkan.
Baca juga: BUANG HAJAT
Baca juga: MENUTUP DIRI KETIKA BUANG HAJAT
Baca juga: HUKUM MENUTUP AURAT
(Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)

