DOA KETIKA SEDANG SEDIH, SUSAH, DAN GELISAH

DOA KETIKA SEDANG SEDIH, SUSAH, DAN GELISAH

Manusia dalam mengarungi kehidupan terkadang ditimpa berbagai penderitaan yang memilukan hati dan menyakiti jiwa. Hal itu bisa mendatangkan kegoncangan dan kesempitan hidup. Jika penderitaan itu terkait dengan urusan-urusan yang telah lalu, maka disebut huzn (kesedihan), jika terkait dengan urusan-urusan yang akan datang, maka disebut hamm (kegelisahan), dan jika terkait dengan urusan-urusan yang sedang terjadi, maka disebut ghamm (kesusahan). Tiga hal ini (kesedihan, kegelisahan, dan kesusahan) akan hilang dari hati dan pergi dari nurani hanya dengan kembali kepada Allah Ta’ala dengan sebenar-benarnya, tunduk dan patuh di hadapan-Nya, menghinakan diri untuk-Nya, dan berserah diri kepada-Nya. Juga mengimani semua qadha, qadar dan kekuasaan-Nya, serta memahami nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Juga beriman kepada kitab-Nya, termasuk membaca, merenungkan dan mengamalkan apa-apa yang terkandung di dalamnya. Hanya dengan itulah semua penderitaan itu hilang, dada menjadi lapang, dan kebahagian benar-benar datang.

Disebutkan dalam Musnad Imam Ahmad dan Shahih Ibnu Hibban dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَاقَالَ عَبْدٌ قَطُّ إِذَا أَصَابَهُ هَمٌّ وَ حَزَنٌ

Tidaklah seorang hamba tertimpa kesusahan dan kesedihan kemudian berdoa,

اللَّهُمَّ إِنِّي عَبْدُكَ وَابْنُ عَبْدِكَ وَابْنُ أَمَتِكَ، نَاصِيَتِي بِيَدِكَ، مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ، عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ، أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ، سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ، أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِي كِتَابِكَ، أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ، أَوْ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِي عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ، أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيعَ قَلْبِي، وَنُورَ صَدْرِي، وَجِلَاءَ حُزْنِي، وَذَهَابَ هَمِّي، إِلَّا أَذْهَبَ اللَّهُ هَمَّهُ، وَأَبْدَلَهُ مَكَانَ حُزْنِهِ فَرَجًا

(Ya Allah, sesungguhnya aku adalah hamba-Mu, putra dari hamba laki-laki-Mu (Adam) dan putra dari hamba perempuan-Mu (Hawa), ubun-ubunku di tanganMu, berlaku padaku hukum-Mu, adil atasku qadha-Mu. Aku meminta kepadaMu dengan seluruh nama-Mu yang Engkau sebut untuk diri-Mu atau yang Engkau turunkan dalam kitab-Mu atau yang Engkau ajarkan kepada salah seorang hamba-Mu atau hanya Engkau sendiri yang mengetahuinya dalam ilmu gaib di sisi-Mu agar Engkau menjadikan al-Qur’an sebagai penyenang hatiku, cahaya dadaku, pengusir kesedihanku, dan pelenyap kegelisahanku), kecuali Allah Ta’ala akan menghilangkan kegelisahannya dan mengganti di tempat kesedihannya suatu kegembiraan.”

Para sahabat radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Wahai Rasulullah, doa ini layak kami pelajari.”

Beliau bersabda,

بَلَى، يَنْبَغِي لِمَنْ سَمِعَهَا أَنْ يَتَعَلَّمَهَا

Tentu, siapapun yang mendengarnya layak mempelajarinya.” (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh Ahmad. Disahihkan oleh Syekh al-Albani dalam as-Silsilah ash-Shahihah)

Doa ini adalah kalimat-kalimat yang agung. Setiap muslim harus mempelajarinya dan gigih mengamalkan doa ini ketika ditimpa kesedihan, kesusahan, dan kegelisahan. Hendaklah ia mengetahui bahwa kalimat-kalimat pada doa ini bermanfaat apabila petunjuk dan maksud yang terkandung di dalamnya dipahami dengan benar, dan kandungan hikmahnya diamalkan. Sesungguhnya mengamalkan doa dan dzikir yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa memahami makna dan merealisasikan maksudnya hanya mendatangkan sedikit manfaat dan pengaruh, bahkan mungkin tidak sama sekali.

Jika kita merenungi doa ini, terdapat empat pokok besar. Tidak ada jalan bagi seseorang untuk mendapatkan kebahagiaan serta menghilangkan kesusahan, kegelisahan, dan kesedihan kecuali dengan melaksanakan dan merealisasikan keempat pokok ini.

Pokok pertama. Beribadah serta tunduk dan patuh secara sempurna hanya kepada Allah Ta’ala, mengakui bahwa sesungguhnya ia hanya hamba-Nya, milik-Nya. Begitu juga nenek moyangnya, mulai dari kedua orang tua yang paling dekat (ayah dan ibu) sampai Nabi Adam dan Hawa adalah hamba-hamba-Nya. Oleh karena itu, sabda beliau yang berbunyi, “Ya Allah, sesungguhnya aku adalah hamba-Mu, putra dari hamba laki-laki-Mu (Adam) dan putra dari hamba perempuan-Mu (Hawa),” menunjukkan bahwa semuanya milik Allah Ta’ala. Allah-lah yang menciptakan mereka, Rabb mereka, tuan mereka, serta Zat yang mengatur semua urusan mereka. Mereka tidak lepas dari pengawasan Allah walau sekejap. Bagi mereka tidak ada tempat berlindung dan memohon selain Allah Ta’ala.

Di antara cara merealisasikannya adalah dengan senantiasa beribadah kepada Allah Ta’ala, seperti tunduk, patuh, hormat, menghinakan diri, tobat, melaksanakan perintah-perintah-Nya, menjauhi larangan-larangan-Nya, membutuhkan-Nya, meminta pertolongan kepada-Nya, tawakal kepada-Nya, meminta perlindungan kepada-Nya, serta tidak mencintai, berharap dan takut kepada selain-Nya.

Pokok kedua: Mengimani qadha dan qadar Allah Ta’ala. Sesungguhnya apa yang Allah kehendaki pasti terjadi, dan apa yang tidak Allah kehendaki pasti tidak terjadi. Tidak ada hukum selain hukum Allah, dan tidak ada yang dapat menolak keputusan-Nya.

Allah Ta’ala berfirman:

مَا يَفْتَحِ اللّٰهُ لِلنَّاسِ مِنْ رَّحْمَةٍ فَلَا مُمْسِكَ لَهَا ۚوَمَا يُمْسِكْۙ فَلَا مُرْسِلَ لَهٗ مِنْۢ بَعْدِهٖۗ وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ

Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak seorang pun sanggup menahannya. Dan apa saja yang ditahan oleh Allah, maka tidak seorang pun sanggup melepasnya sesudah itu. Dan Dialah yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (QS Fathir: 2)

Oleh karena itu, beliau menyebutkan dalam doa ini, “ubun-ubunku di tanganMu, berlaku padaku hukumMu, adil atasku qada-Mu.” Ubun-ubun adalah bagian depan kepala. Ia berada di tangan Allah. Allah melakukan apa saja sesuai dengan kehendak-Nya, dan menetapkan padanya apa yang Dia inginkan. Hidup dan mati, kebahagiaan dan kesengsaraan, serta kesejahteraan dan penderitaan manusia semuanya adalah hak Allah Ta’ala. Tidak ada sedikit pun hak makhluk di dalamnya. Jika seorang hamba beriman bahwa ubun-ubunnya dan ubun-ubun semua makhluk berada di tangan Allah, Allah memperlakukan sebagaimana yang Dia kehendaki, niscaya dia tidak takut lagi kepada mereka, tidak lagi mengharapkan mereka, tidak menempatkan mereka seperti raja, serta tidak menggantungkan harapan dan cita-cita kepada mereka. Maka di saat itulah tauhid, ibadah, dan tawakalnya kepada Allah Ta’ala telah lurus, seperti yang disampaikan Nabi Hud ‘alaihissalam kepada kaumnya:

اِنِّيْ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللّٰهِ رَبِّيْ وَرَبِّكُمْ ۗمَا مِنْ دَاۤبَّةٍ اِلَّا هُوَ اٰخِذٌۢ بِنَاصِيَتِهَا ۗاِنَّ رَبِّيْ عَلٰى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيْمٍ

Sesungguhnya aku bertawakal kepada Allah, Rabbku dan Rabb kalian. Tidak satu binatang melata pun melainkan Dia memegang ubunubunnya. Sesungguhnya Rabbku di atas jalan yang lurus.” (QS Hud: 56)

Sabdanya, “berlaku padaku hukum-Mu.” Ini mencakup dua hukum: hukum syariat agama dan hukum ketentuan alam azali. Keduanya dilewati oleh semua hamba, entah ia mau, entah ia tidak mau. Hukum dan ketentuan alam azali tidak mungkin dilanggar, sedangkan hukum syariat agama terkadang dilanggar oleh hamba. Konsekuensinya, ia mendapat siksa disebabkan pertentangan dan pelanggaran yang terjadi.

Sabdanya, “adil atasku qadha-Mu,” meliputi semua ketentuan Allah Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya, seperti sehat dan sakit, kaya dan miskin, enak dan tidak enak, hidup dan mati, serta pahala dan siksa. Semua yang Allah Ta’ala putuskan kepada hamba-Nya adalah adil.

وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِّلْعَبِيْدِ

Dan sekali-kali tidaklah Rabbmu menganiaya hamba-hamba-Nya.” (QS Fushshilat: 46)

Pokok ketiga: Mengimani asmaul husna (nama-nama Allah yang baik), sifat-sifat Allah yang diterangkan dalam al-Qur’an dan hadis, dan bertawasul kepada-Nya dengan nama-nama dan sifat-sifat tersebut.

Allah Ta’ala berfirman:

وَلِلّٰهِ الْاَسْمَاۤءُ الْحُسْنٰى فَادْعُوْهُ بِهَاۖ وَذَرُوا الَّذِيْنَ يُلْحِدُوْنَ فِيْٓ اَسْمَاۤىِٕهٖۗ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ

Hanya milik Allah asmaul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut nama-nama itu, dan tinggalkanlah orangorang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-namaNya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS al-A’raf: 180)

قُلِ ادْعُوا اللّٰهَ اَوِ ادْعُوا الرَّحْمٰنَۗ اَيًّا مَّا تَدْعُوْا فَلَهُ الْاَسْمَاۤءُ الْحُسْنٰى

Katakanlah, Serulah Allah atau serulah ar-Rahman, dengan nama yang mana saja yang kamu seru, karena Dia mempunyai nama-nama yang terbaik.” (QS. al-Isra’: 110)

Semakin tinggi pemahaman seorang hamba tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah Ta’ala semakin ia takut kepada Allah, semakin merasa diawasi oleh-Nya, dan semakin jauh dari kemaksiatan dan hal-hal yang dimurkai-Nya, sebagaimana perkataan ulama salaf, “Siapa yang semakin mengenal Allah, ia akan semakin takut kepada-Nya.” Oleh karena itu, perkara yang paling dapat mengusir kesedihan, kesusahan dan kegelisahan adalah mengenal Allah Ta’ala, memenuhi hati dengan-Nya, dan bertawasul dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Maka doa yang dibaca adalah, “Aku meminta kepadaMu dengan seluruh nama-Mu yang Engkau sebut untuk diri-Mu atau yang Engkau turunkan dalam kitab-Mu atau yang Engkau ajarkan kepada salah seorang hamba-Mu atau hanya Engkau sendiri yang mengetahuinya dalam ilmu gaib di sisi-Mu.” Kalimat doa ini adalah tawasul kepada Allah dengan semua nama Allah, baik yang ia ketahui maupun tidak ia ketahui. Wasilah ini adalah wasilah yang paling disukai oleh Allah Ta’ala.

Pokok keempat: Memohon pertolongan kepada Allah Ta’ala dengan perantara al-Qur’an, firman Allah yang tidak didatangi oleh kebatilan, baik dari depan maupun dari belakang (pada masa lalu maupun yang akan datang), yang mengandung petunjuk, penyembuh, perlindungan, dan kecukupan. Ketika seorang hamba memberikan porsi yang besar dalam memohon pertolongan kepada Allah Ta’ala dengan perantara al-Qur’an, baik dengan membaca, menghafal, mempelajari, merenungkan, mengamalkan atau merealisasikannya, maka ia mendapatkan kebahagiaan, kelapangan dan ketenangan hati. Semua kesedihan, kesusahan, dan kegelisahan menghilang disebabkan al-Qur’an. Dengan begitu, doa yang dibaca adalah, “Jadikan al-Qur’an sebagai penyenang hatiku, cahaya dadaku, pengusir kesedihanku, dan pelenyap kegelisahanku.”

Empat pokok di atas diambil dari doa tersebut. Tugas kita adalah merenungkannya dan berusaha untuk merealisasikannya, supaya kita mendapatkan janji-janji yang mulia serta karunia yang besar, yaitu seperti yang terdapat dalam sabdanya, “kecuali Allah Ta’ala akan menghilangkan kegelisahannya dan mengganti di tempat kesedihannya suatu kegembiraan.” Dalam riwayat lain, “dengan kelapangan”.

Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan dan petunjuk.

Baca juga: DOA MEMOHON MAAF DAN AFIAT

Baca juga: DOA AGAR DIJADIKAN PEMIMPIN BAGI ORANG-ORANG YANG BERTAKWA

Baca juga: MENGHADIAHKAN AMAL SALEH KEPADA ORANG YANG SUDAH MENINGGAL

(Syekh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin al-Badr)

Adab