BERTAKWA DENGAN SEBENAR-BENAR TAKWA

BERTAKWA DENGAN SEBENAR-BENAR TAKWA

Takwa adalah nama yang diambil dari kata “wiqayah” (perlindungan), yang artinya seseorang mengambil sesuatu yang dapat melindunginya dari azab Allah. Yang melindungi seseorang dari azab Allah adalah melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Sebab, hal inilah yang melindungi dari azab Allah ‘Azza wa Jalla, yaitu menjalankan perintah-perintah Allah dan meninggalkan apa yang dilarang-Nya.

Ketahuilah bahwa takwa terkadang disandingkan dengan kebajikan (al-birr), sehingga dikatakan “al-birru wa at-taqwa” (kebajikan dan takwa), sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:

وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوٰى

Dan tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa.” (QS al-Maidah: 2)

Takwa terkadang disebutkan secara terpisah. Namun, jika disandingkan dengan kebajikan (al-birr), kebajikan berarti melaksanakan perintah-perintah, sedangkan takwa berarti menjauhi larangan-larangan. Apabila disebutkan secara terpisah, maknanya mencakup keduanya, yaitu melaksanakan perintah-perintah dan menjauhi larangan-larangan.

Allah Ta’ala menyebutkan dalam kitab-Nya bahwa Surga disediakan bagi orang-orang yang bertakwa, dan mereka adalah para penghuni Surga. -Semoga Allah menjadikan kita termasuk di antara mereka-. Oleh karena itu, seseorang harus senantiasa berada di hadapan Allah ‘Azza wa Jalla dengan melaksanakan perintah-Nya, mengharapkan pahala-Nya, dan mencari perlindungan dari azab-Nya.

Kemudian penulis menyebutkan beberapa ayat, seraya berkata,

Allah Ta’ala berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya.” (QS Ali Imran: 102)

Allah Ta’ala berfirman:

فَاتَّقُوا اللّٰهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

Maka bertakwalah kalian kepada Allah menurut kesanggupan kalian.” (QS ath-Thagabun: 16)

Ayat kedua menjelaskan ayat pertama.

Allah Ta’ala berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَقُوْلُوْا قَوْلًا سَدِيْدًا

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar.” (QS al-Ahzab: 70)

Dan ayat-ayat yang memerintahkan untuk bertakwa sangat banyak dan sudah diketahui.

Allah Ta’ala berfirman:

وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجْعَل لَّهُۥ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ

Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar, dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya.” (QS ath-Thalaq: 2-3)

Allah Ta’ala berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنْ تَتَّقُوا اللّٰهَ يَجْعَلْ لَّكُمْ فُرْقَانًا وَّيُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّاٰتِكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْۗ وَاللّٰهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيْمِ

Hai orang-orang beriman, jika kalian bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqan (kemampuan membedakan yang hak dan batil) dan menghapus segala kesalahan-kesalahan dan mengampuni (dosa-dosa) kalian. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS al-Anfal: 29)

Ayat-ayat dalam bab takwa ini sangatlah banyak dan masyhur.

Bertakwa dengan Sebenar-benar Takwa

Allah Ta’ala berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya.” (QS Ali Imran: 102)

Perintah itu diarahkan kepada orang-orang beriman; karena seorang mukmin dengan imannya terdorong untuk bertakwa kepada Allah.

Firman-Nya, “Bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya.”

Hakikat takwa dijelaskan oleh penulis dengan merujuk kepada firman Allah Ta’ala:

فَاتَّقُوا اللّٰهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

Bertakwalah kalian kepada Allah menurut kesanggupan kalian.” (QS ath-Thagabun: 16).

Artinya, maksud dari firman-Nya: “dengan sebenar-benar takwa” adalah bertakwa kepada Allah semampu kalian, karena Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya.

Ayat ini: “Bertakwalah kalian kepada Allah menurut kesanggupan kalian,” bukanlah ayat yang dimaksudkan untuk meremehkan ketakwaan kepada Allah, melainkan untuk mendorong agar bertakwa sesuai dengan kemampuan. Artinya, jangan menahan usaha dalam bertakwa kepada Allah. Namun, Allah tidak membebani manusia dengan sesuatu yang tidak mampu ia lakukan, sebagaimana firman-Nya:

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya.” (Al-Baqarah: 286)

Dan yang dapat dipahami dari firman-Nya: “Bertakwalah kalian kepada Allah menurut kesanggupan kalian,” adalah bahwa jika seseorang tidak mampu melaksanakan perintah Allah secara sempurna, maka ia melaksanakan apa yang mampu ia lakukan. Di antara contohnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Imran bin Hushain,

صَلِّ قَائِمًا. فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ، فَقَاعِدًا. فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ، فَعَلَى جَنْبٍ

Shalatlah sambil berdiri, jika tidak mampu maka duduklah, dan jika tidak mampu maka berbaringlah miring.” (HR al-Bukhari)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan aturan pelaksanaan shalat sesuai kemampuan: dilakukan dengan berdiri jika mampu, jika tidak mampu maka dilakukan sambil duduk, dan jika masih tidak mampu maka dilakukan dengan berbaring miring. Aturan ini juga berlaku untuk perintah-perintah lainnya.

Sebagai contoh, puasa. Jika seseorang tidak mampu berpuasa di bulan Ramadhan, ia diperbolehkan menundanya. Barang siapa sakit atau sedang dalam perjalanan, maka ia menggantinya di hari lain, sebagaimana firman-Nya:

وَمَنْ كَانَ مَرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ

Barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajib baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain.” (QS al-Baqarah:185)

Demikian pula dalam ibadah haji:

وَلِلّٰهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلًا

Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS Ali Imran: 97).

Jika seseorang tidak mampu mencapai Baitullah, maka tidak ada kewajiban haji baginya. Namun, jika ia memiliki kemampuan finansial tetapi tidak mampu secara fisik, ia wajib menunjuk orang lain untuk melaksanakan haji dan umrah atas namanya.

Kesimpulannya, takwa, seperti hal lainnya, disesuaikan dengan kemampuan. Barang siapa tidak mampu melaksanakan sebagian perintah Allah, maka ia beralih kepada apa yang mampu ia lakukan. Dan barang siapa terpaksa melakukan sesuatu yang diharamkan Allah, maka diperbolehkan baginya untuk mengambil apa yang bermanfaat untuk menghilangkan keadaan darurat, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَّا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ اِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ اِلَيْهِ

Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kalian apa yang diharamkan-Nya atas kalian, kecuali apa yang terpaksa kalian memakannya.” (QS al-An’am: 119)

Bahkan, jika seseorang terpaksa memakan daging bangkai, daging babi, daging keledai, atau hal lain yang diharamkan, ia diperbolehkan memakannya dalam jumlah yang secukupnya untuk menghilangkan keadaan darurat yang dihadapinya.

Baca juga: HAKIKAT TAKWA

Baca juga: BERKEMBANGNYA ILMU DAN TEKNOLOGI MERUPAKAN BERKAH PENGAJARAN DARI ALLAH

Baca juga: MENCARI REZEKI DENGAN BERTAWAKAL KEPADA ALLAH

(Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)

Kelembutan Hati Riyadhush Shalihin