BERHARAP DAN RASA TAKUT

BERHARAP DAN RASA TAKUT

Berharap (ar-raja’) artinya mengharapkan rahmat Allah Ta’ala, dan rasa takut (al-khauf) artinya takut akan azab dan Neraka Allah.

Para ulama berkata, “Sebaiknya berharap dan rasa takut melebur menjadi satu dalam perjalanan hidup seorang hamba kepada Rabbnya. Jika berharap lebih kuat dari rasa takut, maka pada diri hamba timbul perasaan aman dari tipu daya Allah. Jika rasa takut lebih kuat dari berharap, maka pada diri hamba timbul rasa putus asa dari rahmat Allah.”

Contoh: Orang yang mendirikan salat berada di antara dua hal, yaitu takut salatnya tidak diterima, dan berharap salatnya diterima. Orang yang berbuat maksiat juga berada di antara dua hal, yaitu takut dari maksiat itu dan mengharapkan rahmat Allah.

Untuk menghindari celaan, orang awam lebih menguatkan berharap. Jika dikatakan kepadanya, “Mengapa kamu melakukan itu?” Ia menjawab, “Bukankah Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang?” Kepada orang seperti ini kita katakan, “Kamu benar bahwa Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang. Tetapi kamu harus melakukan sebab-sebab untuk memperoleh ampunan dan rahmat Allah.”

Pada orang yang ghirah dan berpegang teguh pada agama, rasa takut lebih kuat. Mereka takut terhadap apa yang dilakukan oleh orang lain, bahkan mereka sampai berputus-asa dari rahmat Allah yang berupa petunjuk kepada jalan kebenaran.

Menanggapi hal ini sebagian ulama berkata, “Akan tetapi, sebaiknya ia memperkuat berharap, karena Allah Ta’ala berfirman dalam hadis qudsi,

أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي، وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي

Aku sesuai prasangka hamba-Ku, dan Aku selalu bersamanya ketika ia mengingat-Ku.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Allah Ta’ala sesuai dengan prasangka hamba kepada-Nya. Oleh karena itu, seorang hamba hendaklah berprasangka baik kepada Allah dan memperkuat berharap.

Para ulama berkata, “Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam,

نَبِّئْ عِبَادِيْٓ اَنِّيْٓ اَنَا الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُۙ وَاَنَّ عَذَابِيْ هُوَ الْعَذَابُ الْاَلِيْمُ

Kabarkanlah kepada hamba-hamba-Ku, bahwa Aku-lah yang Mahapengampun, Mahapenyayang, dan sesungguhnya azab-Ku adalah azab yang sangat pedih.” (QS al-Hijr: 49-50)

Allah Ta’ala memulai dengan memberikan harapan, lalu ancaman.

Sebagian ulama berkata, “Orang yang berada dalam ketaatan sebaiknya memperkuat berharap agar amalannya diterima. Orang yang hendak melakukan perbuatan maksiat, sebaiknya  memperkuat rasa takut sehingga ia menjauh dari kemaksiatan dan tidak melakukannya. Kalau ia memperkuat berharap, tentu ia akan berani berbuat maksiat.”

Sebagian ulama berkata, “Dalam keadan sakit, seseorang hendaklah memperkuat berharap. Dalam keadaan sehat, hendaklah ia memperkuat rasa takut. Di dalam sebuah hadis disebutkan,

لَا يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلَا وَهُوَ يُحْسِنُ بِاللَّهِ الظَّنَّ

Jangalah salah seorang dari kalian meninggal dunia kecuali ia berbaik sangka kepada Allah.” (HR Muslim)

Orang yang sakit lebih dekat kepada kematian daripada orang yang sehat. Walaupun ajal berada di tangan Allah, akan tetapi inilah yang umum terjadi.

Aku katakan, “Seseorang hendaklah menjadi dokter bagi diri sendiri. Ketika ia ingin melakukan kejahatan, hendaklah ia memperkuat rasa takut akan siksa Allah. Ketika ia menemukan kekuatan pada dirinya untuk melakukan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan, maka hendaklah ia memperkuat berharap akan rahmat Allah, karena sesungguhnya Allah akan memantapkan dan memberikan pahala atas amal yang dilakukan.”

Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Sesungguhnya rasa takut dan berharap adalah seperti dua sayap burung. Jika salah satu sayap miring, maka burung itu akan terjatuh. Jika kedua sayap sejajar, maka burung itu akan kokoh dan tidak terjatuh. Oleh sebab itu, sebaiknya rasa takut dan berharap melebur menjadi satu yang sama kuat. Jika salah satu lebih dominan, maka ia akan binasa.”

Baca juga: TAKUT KEPADA ALLAH DI SAAT SEMBUNYI DAN TERANG-TERANGAN

Baca juga: TAKUT KEPADA DUNIA

Baca juga: MAKSIAT BESAR DAN MAKSIAT KECIL

Baca juga: FENOMENA DAN GEJALA LEMAH IMAN

(Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)

Kelembutan Hati