Berikut adalah beberapa catatan tentang azan dan ikamah:
Pertama. Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Barangsiapa memasuki masjid yang telah dilaksanakan salat di dalamnya, jika dia mau, dia boleh mengumandangkan azan dan ikamah. Hal tersebut telah disebutkan secara tertulis oleh Ahmad berdasarkan hadis Anas bahwa ia pernah masuk masjid yang orang-orang telah mengerjakan salat di dalamnya. Lalu ia memerintahkan seseorang untuk mengumandangkan azan dan ikamah. Lalu, ia mengimami mereka salat berjamaah. Jika ia mau, ia boleh mengerjakan salat tanpa azan dan ikamah.”
Urwah berkata, “Jika kamu mendatangi suatu masjid dimana orang-orang telah melaksanakan salat di masjid itu, dan mereka pun telah mengumandangkan azan dan ikamah, maka azan dan ikamah mereka telah mencukupi bagi orang yang datang setelah mereka. Ini adalah pendapat al-Hasan, asy-Sya’bi dan an-Nakha’i. Hanya saja al-Hasan berkata, ‘Yang paling dianjurkan untuk dilakukan adalah mengumandangkan ikamah saja. Jika azan dikumandangkan, maka lebih baik menyamarkan suara, tidak mengeraskannya agar orang-orang tidak terkecoh dengan azan yang dikumandangkan tidak pada waktunya.
Kedua. Muazin diperbolehkan mengumandangkan ikamah di tempat ia mengumandangkan azan, atau di tempat lain. Jika muazin mengumandangkan azan di luar masjid, maka disunahkan berikamah di tempat yang ia tidak mengumandangkan azan, dan hal itu dilakukan di dalam masjid. Dari Abdullah bin Syaqiq, ia berkata, “Termasuk sunah adalah mengumandangkan azan di atas menara dan ikamah di dalam masjid.” Sementara Abdullah pun biasa melakukannya.
Ketiga. Muazin tidak mengumandangkan ikamah hingga imam mengizinkan, karena Bilal selalu meminta izin kepada Nabi.
Keempat. Apabila orang-orang salat tanpa azan dan ikamah, maka salat mereka tetap sah, namun makruh bagi mereka meninggalkan azan, dengan syarat azan telah dikumandangkan di kota atau negeri tersebut.
Kelima. Yang lebih utama bagi tiap-tiap orang yang salat untuk mengumandangkan azan dan ikamah, kecuali jika ia melakukan salat qadha atau salat di luar waktu azan, maka hendaklah ia tidak mengeraskan azannya. Adapun jika ia salat pada waktunya sementara ia berada di pedalaman atau semisalnya, maka ia dianjurkan mengeraskan dan meninggikan suara azan.
Keenam. Azan tidak dikumandangkan kecuali oleh muazin yang tetap, dan tidak boleh orang lain mengambil peranannya. Hal ini karena Bilal senantiasa mengumandangkan azan untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak seorang pun sahabat yang lain mengambil peranannya dalam azan.
Ketujuh. Jika dua orang ingin mengumandangkan azan, maka yang didahulukan di antara keduanya adalah yang paling memenuhi kriteria yang mu’tabar, seperti mendahulukan yang paling kencang suaranya. Jika keduanya memiliki kesamaan kemampuan dalam berbagai aspek, maka dilakukan undian oleh keduanya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sekiranya manusia mengetahui keutamaan azan dan saf pertama, kemudian mereka tidak mendapatinya kecuali harus melakukan undian, niscaya mereka melakukan undian.” (HR al-Bukhari dan Muslim)
Kedelapan. Tidak dikumandangkan azan dan ikamah untuk satu salat sunah pun, tidak untuk salat ‘iedain (salat Idul Adha dan Idul Fitri), salat Istiska, salat Kusuf, dan tidak juga salat jenazah. Hanya saja untuk salat Kusuf muazin mengucapkan, ‘ash-shalatu jaami’ah.’ Adapun untuk salat ‘iedain, tarawih dan yang semisalnya, maka tidak ada satu seruan pun di dalamnya.
Kesembilan. Dalam kondisi yang teramat dingin atau hujan deras, hendaklah muazin mengucapkan ‘Alaa shallu fi rihaalikum’ setelah mengucapkan, ‘Hayya alal falaah.’ Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, “Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan muazin apabila kondisi malam yang dingin atau turun hujan tatkala safar, untuk mengucapkan, ‘Ala shalluu fi rihaalikum (Salatlah di tempat masing-masing).’ (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan an-Nasa-i)
Kesepuluh. Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya ia berkata kepada muazin ketika hari hujan, “Setelah kamu mengucapkan, ‘Asyhadu alla ilaaha illallaah, asyhadu anna Muhammadar Rasuulullah’ maka janganlah kamu ucapkan, ‘Hayya alash shalaah’, akan tetapi ucapkanlah, ‘Shalluu fi buyuutikum.’” Ia berkata, “Seakan-akan orang-orang mengingkari perbuatan tersebut.” Lalu Ibnu Abbas berkata, “Apakah kalian merasa aneh dengan amalan ini? Sesungguhnya orang yang lebih baik dari aku pernah melakukan ini. Sesungguhnya Jumat itu adalah suatu kewajiban, dan aku tidak suka kalian keluar berjalan di atas lumpur yang licin.” (HR al-Bukhari, Muslim dan Abu Dawud)
Kesebelas. Apabila muazin terlambat mengumandangkan azan, maka ia diperbolehkan mengumandangkannya apabila waktu terlambatnya itu hanya sedikit. Sedang apabila waktu tersebut berlangsung cukup lama dan telah dikumandangkan azan di negeri tersebut dan juga orang-orang telah mengetahui masuknya waktu, maka yang lebih utama adalah sang muazin tidak berazan. Hal ini agar orang-orang tidak bingung. Pengecualian adalah jika masjid tersebut adalah satu-satunya masjid yang dijadikan patokan oleh orang-orang, dan belum seorang pun berazan di dalamnya, maka disyariatkan suara azan ditinggikan. Hal itu tidak mengapa dilakukan karena tidak ada hal yang membingungkan di dalamnya.
Baca juga: JARAK ANTARA AZAN DAN IKAMAH
Baca juga: ZIKIR KETIKA AZAN DAN SETELAH AZAN
Baca juga: SATU KALI SELAWAT DIBALAS DENGAN SEPULUH SELAWAT
(Syekh Abu Abdurrahman Adil bin Yusuf al-Azazy)