ORANG-ORANG YANG BERTAKWA

ORANG-ORANG YANG BERTAKWA

Lalu, siapakah yang dimaksud dengan orang-orang yang bertakwa?

Allah Ta’ala berfirman:

الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ فِى السَّرَّۤاءِ وَالضَّرَّۤاءِ وَالْكَاظِمِيْنَ الْغَيْظَ وَالْعَافِيْنَ عَنِ النَّاسِۗ وَاللّٰهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَۚ وَالَّذِيْنَ اِذَا فَعَلُوْا فَاحِشَةً اَوْ ظَلَمُوْٓا اَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللّٰهَ فَاسْتَغْفَرُوْا لِذُنُوْبِهِمْۗ وَمَنْ يَّغْفِرُ الذُّنُوْبَ اِلَّا اللّٰهُ ۗ وَلَمْ يُصِرُّوْا عَلٰى مَا فَعَلُوْا وَهُمْ يَعْلَمُوْنَ؛ اُولٰۤىِٕكَ جَزَاۤؤُهُمْ مَّغْفِرَةٌ مِّنْ رَّبِّهِمْ وَجَنّٰتٌ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُ خٰلِدِيْنَ فِيْهَا ۗ وَنِعْمَ اَجْرُ الْعٰمِلِيْنَ

(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka, dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedangkan mereka mengatahui. Mereka itu balasannya adalah ampunan dari Rabb mereka dan Surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya. Dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal.” (QS Ali Imran: 134-136)

Mereka adalah orang-orang yang bertakwa.

1. Orang yang Menafkahkan Hartanya di Waktu Lapang dan Sempit

(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit.” Artinya, mereka mengorbankan harta mereka.

Baik di waktu lapang.” Maksudnya adalah dalam situasi kelapangan, banyaknya harta, kegembiraan, dan keterbukaan hati.

Maupun sempit.” Maksudnya adalah dalam situasi kesulitan hidup dan keterhimpitan hati.

Namun, Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menjelaskan di ayat ini jumlah (yang harus diinfakkan), tetapi Dia telah menjelaskannya dalam banyak ayat lain.

Allah Ta’ala berfirman:

وَيَسْـَٔلُوْنَكَ مَاذَا يُنْفِقُوْنَ قُلِ الْعَفْوَ

Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad), ‘Apa yang harus kami infakkan?’ Katakanlah, ‘Yang lebih dari kebutuhan.’” (QS al-Baqarah: 219)

al-’afw berarti sesuatu yang lebih dari kebutuhan. Artinya, apa yang lebih dari kebutuhan dan keperluan mendesak kalian, maka infakkanlah.

Allah Ta’ala berfirman:

وَالَّذِيْنَ اِذَآ اَنْفَقُوْا لَمْ يُسْرِفُوْا وَلَمْ يَقْتُرُوْا وَكَانَ بَيْنَ ذٰلِكَ قَوَامًا

Dan orang-orang yang apabila menginfakkan (hartanya), mereka tidak berlebihan dan tidak (pula) kikir. Dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS al-Furqan: 67)

Mereka berinfak dengan cara yang tidak berlebihan dan tidak pula kikir. Mereka juga menginfakkan al-’afw, yaitu sesuatu yang tersisa dan lebih dari kebutuhan serta keperluan mendesak mereka.

2. Orang yang Menahan Marah

Firman Allah Ta’ala: “Dan orang-orang yang menahan amarahnya.” Yaitu, orang-orang yang ketika marah —yakni ketika kemarahan mereka memuncak— mereka menahan amarahnya, tidak melampiaskannya, dan bersabar dalam menahannya. Menahan amarah ini merupakan salah satu hal yang paling berat bagi jiwa, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ. إنَّمَا الشَدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ

Bukanlah orang kuat itu orang yang menang dalam bergulat, tetapi orang kuat adalah orang yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

ash-Shur’ah berarti bergulat, yaitu mengalahkan orang lain dalam pertandingan gulat. Namun, bukan itu yang disebut sebagai orang yang kuat. Orang yang kuat adalah orang yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah. Ketika seseorang marah, jiwanya bergelora, urat lehernya menegang, matanya memerah, dan ia menjadi ingin membalas dendam. Namun, jika ia menahan amarah dan menjadi tenang, maka sesungguhnya itu adalah salah satu sebab masuk Surga.

Ketahuilah bahwa marah adalah bara api yang dilemparkan setan ke dalam hati anak Adam ketika sesuatu datang kepadanya yang mengguncangkannya. Namun, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita cara untuk memadamkan bara api ini. Di antaranya adalah dengan berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk. Maka, ketika seseorang merasakan marah —dan marah itu hampir menguasainya— hendaklah ia mengucapkan,

أَعُوْذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيم

A’udzu billahi minasyshaithanirrajim (Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk).”

Cara lainnya adalah duduk jika sedang berdiri, dan berbaring jika sedang duduk, yaitu dengan merendahkan dirinya, menurunkannya dari keadaan yang lebih tinggi ke yang lebih rendah. Jika sedang berdiri, maka duduklah, dan jika sedang duduk, maka berbaringlah.

Di antaranya juga adalah berwudhu dengan membersihkan empat anggota tubuh: wajah, tangan, kepala, dan kaki.

Ini dapat memadamkan amarah.

Jika kamu merasakan marah, gunakanlah cara yang telah ditunjukkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga amarah itu hilang darimu. Jika tidak, berapa banyak orang yang kemarahannya menyebabkan perpisahan dengan keluarganya. Betapa banyak orang yang berkata, “Aku marah kepada istriku, lalu aku menceraikannya tiga kali.” atau mungkin ia marah lalu memukul anak-anaknya dengan pukulan yang keras. Atau mungkin ia marah lalu memecahkan perabotannya, atau merobek pakaiannya, atau melakukan hal-hal lain yang dipicu oleh kemarahannya. Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman: “Dan orang-orang yang menahan amarah,” memuji mereka karena mereka mampu mengendalikan diri saat kemarahan memuncak.

3. Orang yang Memaafkan Kesalahan Orang Lain

Firman-Nya: “Dan orang-orang yang memaafkan (kesalahan) orang lain,” yaitu mereka yang ketika orang lain berbuat buruk kepada mereka, mereka memaafkannya.

Allah menyebutkan maaf secara umum di sini, tetapi Dia menjelaskannya dalam firman-Nya:

فَمَنْ عَفَا وَاَصْلَحَ فَاَجْرُهٗ عَلَى اللّٰهِ

Barang siapa memaafkan dan memperbaiki, maka pahalanya ada di sisi Allah.” (QS asy-Syura: 40)

Bahwa memaafkan tidak akan menjadi kebaikan kecuali jika ada perbaikan di dalamnya. Jika seseorang yang dikenal suka berbuat buruk, membangkang, dan zalim terhadap hamba-hamba Allah berbuat buruk kepadamu, maka lebih baik kamu tidak memaafkannya dan mengambil hakmu. Itu karena jika kamu memaafkannya, keburukannya akan semakin bertambah. Namun, jika orang yang berbuat salah kepadamu jarang berbuat salah dan jarang berbuat zalim, tetapi kesalahan itu terjadi secara tidak sengaja, maka lebih baik kamu memaafkannya.

Di antara contohnya adalah kecelakaan lalu lintas yang semakin sering terjadi. Sebagian orang terburu-buru memaafkan pelaku kecelakaan, dan ini bukan hal terbaik. Yang lebih baik adalah merenungkan dan melihat: apakah pengemudi ini sembrono dan ceroboh, tidak peduli dengan hamba-hamba Allah dan tidak peduli dengan peraturan? Jika demikian, maka jangan kasihani dia, ambillah hakmu darinya sepenuhnya.

Adapun jika orang itu dikenal berhati-hati, takut kepada Allah, menjauhi perbuatan menyakiti orang lain, dan berpegang teguh pada aturan, tetapi kejadian ini terjadi karena kurangnya kehati-hatian, maka memaafkan dalam keadaan ini lebih baik. Allah Ta’ala berfirman: “Barang siapa memaafkan dan memperbaiki, maka pahalanya ada di sisi Allah.” (QS asy-Syura: 40) Jadi, dalam kasus seperti ini kita harus memperhatikan unsur perbaikan dalam memaafkan.

4. Orang yang Berbuat Kebajikan

Firman-Nya: “Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”

Kecintaan Allah Subahanahu wa Ta’ala kepada seorang hamba adalah tujuan tertinggi setiap manusia. Setiap orang yang beriman, tujuannya adalah agar Allah ‘Azza wa Jalla mencintainya, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

قُلْ اِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللّٰهَ فَاتَّبِعُوْنِيْ يُحْبِبْكُمُ اللّٰهُ

Katakanlah (Muhammad), ‘Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kalian.” (QS Ali Imran: 31)

Allah tidak berfirman: “Ikutilah aku, maka kalian akan membuktikan kebenaran ucapan kalian,” tetapi Allah mengalihkan (penekanannya) kepada firman-Nya: “Allah mencintai kalian.” Hal itu karena perkara yang paling utama —dari segala perkaranya— adalah agar Allah ‘Azza wa Jalla mencintaimu.

Aku memohon kepada Allah agar menjadikan aku dan kalian termasuk hamba-hamba yang dicintai-Nya.

Adapun orang-orang yang berbuat ihsan dalam firman-Nya, “Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan,” maka yang dimaksud adalah mereka yang berbuat ihsan dalam beribadah kepada Allah serta berbuat ihsan kepada hamba-hamba Allah.

Orang-orang yang berbuat ihsan dalam ibadah kepada Allah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan tingkatan mereka dalam sabdanya ketika Jibril bertanya kepadanya tentang ihsan. Beliau bersabda,

أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ. فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ، فَإِنَّهُ يَرَاكَ

Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Maksudnya adalah bahwa kamu beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan hati yang hadir, seakan-akan kamu melihat Rabbmu dan ingin mencapai-Nya. Jika kamu tidak bisa melakukannya, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah melihatmu. Oleh karena itu, sembahlah Dia dengan penuh rasa takut dan khawatir. Dan tingkatan ini lebih rendah daripada tingkatan pertama.

Tingkatan pertama adalah kamu beribadah kepada Allah dengan mendekatkan diri kepada-Nya, penuh kecintaan, dan kerinduan, dan tingkatan kedua adalah kamu beribadah kepada-Nya dengan melarikan diri (dari siksa-Nya), disertai rasa takut dan khawatir.

Adapun ihsan kepada hamba-hamba Allah adalah kamu memperlakukan mereka dengan cara yang baik —dalam ucapan, perbuatan, memberi (berderma), menahan gangguan, dan hal-hal lainnya. Bahkan dalam perkataan pun, kamu harus memperlakukan mereka dengan cara yang lebih baik.

Allah Ta’ala berfirman:

 وَاِذَا حُيِّيْتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوْا بِاَحْسَنَ مِنْهَآ اَوْ رُدُّوْهَا

Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa).” (QS an-Nisa: 86)

Maksudnya, jika kalian tidak bisa membalas dengan yang lebih baik, maka paling tidak balaslah dengan yang setara. Oleh karena itu, banyak ulama mengatakan bahwa jika seorang muslim mengucapkan “Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah,” maka hendaklah dijawab dengan “Wa ‘alaikumussalam wa rahmatullah.”

Ini adalah tingkatan paling rendah.

Jika kamu menambahkan wa barakatuh, maka itu lebih baik, karena Allah berfirman “dengan yang lebih baik darinya,” sehingga Dia memulai dengan yang terbaik, kemudian berfirman “atau balaslah dengan yang serupa.”

Demikian pula, jika seseorang memberi salam kepadamu dengan suara yang jelas dan terang, maka balaslah dengan suara yang jelas dan terang pula, paling tidak dengan suara yang setara.

Banyak atau sebagian orang jika diberi salam, mereka menjawab dengan suara lirih —sampai-sampai hampir tidak terdengar. Ini merupakan kesalahan, karena bertentangan dengan cara salam itu diberikan kepadanya. Seseorang memberi salam kepadamu dengan suara yang jelas, lalu kamu membalasnya dengan suara lirih. Ini bertentangan dengan apa yang Allah perintahkan.

Demikian pula, ihsan dalam perbuatan, seperti menolong dan membantu orang-orang dalam urusan mereka.

Setiap kamu membantu seseorang, berarti kamu telah berbuat ihsan kepadanya. Bantuan itu bisa berupa harta, sedekah, hadiah, hibah, dan hal-hal semacam itu. Semua ini termasuk dalam ihsan.

Termasuk ihsan adalah jika kamu melihat saudaramu melakukan dosa, maka kamu menjelaskan hal itu kepadanya dan melarangnya darinya. Ini termasuk ihsan yang paling besar kepadanya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا

Tolonglah saudaramu, baik ia dalam keadaan zalim maupun dizalimi.”

Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, yang dizalimi (kami mengerti cara menolongnya), tetapi bagaimana dengan yang zalim?”

Beliau bersabda,

أَنْ تَمْنَعَهُ مِنَ الظُّلْمِ

Engkau mencegahnya dari kezaliman.” (HR al-Bukhari)

Jika kamu mencegahnya dari kezaliman, itu adalah pertolongan baginya dan bentuk ihsan kepadanya.

Yang penting adalah bahwa dalam berinteraksi dengan manusia, kamu seharusnya selalu mengingat ayat ini: “Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” Oleh karena itu, berbuat baiklah kepada mereka sesuai dengan kemampuanmu.

5. Orang yang Mengingat Allah ketika Melakukan Perbuatan Keji

Firman Allah Ta’ala: “Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka.”

Perbuatan keji adalah dosa-dosa yang dianggap sangat buruk, yaitu dosa-dosa besar seperti zina, minum khamr, membunuh jiwa, dan semisalnya. Setiap dosa yang dianggap sangat buruk adalah perbuatan keji.

Atau menganiaya diri sendiri.” Yakni dengan melakukan dosa-dosa kecil yang berada di bawah tingkat perbuatan keji.

Mereka ingat akan Allah.” Yaitu mereka mengingat keagungan-Nya, mengingat hukuman-Nya, lalu mereka juga mengingat rahmat-Nya, serta penerimaan-Nya terhadap tobat dan balasannya.

Mereka mengingat Allah dari dua sisi:

Sisi pertama—dari segi keagungan-Nya, hukuman-Nya, dan kekuasaan-Nya yang agung, sehingga mereka merasa takut, malu, dan memohon ampun.

Sisi keduadari segi rahmat dan penerimaan tobat. Mereka berkeinginan untuk bertobat dan memohon ampun kepada Allah. Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman: “Mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka.”

Di antara ucapan istigfar yang paling utama adalah sayyidul istighfar.

اللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّي، لَا إلَهَ إلَّا أنْتَ، خَلَقْتَنِي وَأَنَا عَبْدُكَ، وَأنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ، أعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ، أبُوءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ، وأبُوءُ بِذَنْبِي، فَاغْفِرْ لِي، فَإنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إلَّا أنْتَ

Ya Allah, Engkau adalah Rabbku. Tidak ada sembahan yang hak selain Engkau. Engkau menciptakanku dan aku adalah hamba-Mu. Aku berada di atas perjanjian-Mu dan janji-Mu semampuku. Aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatanku. Aku mengakui kepada-Mu nikmat-nikmat-Mu kepadaku, dan aku mengakui kepada-Mu dosa-dosaku. Maka ampunilah aku, karena sesungguhnya tidak ada yang mengampuni dosa-dosa selain Engkau.”

Allah Ta’ala berfirman:

وَمَنْ يَّغْفِرُ الذُّنُوْبَ اِلَّا اللّٰهُ

Dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah.” (QS Ali Imran: 135)

Artinya, tidak seorang pun dapat mengampuni dosa kecuali Allah ‘Azza wa Jalla. Seandainya seluruh umat manusia, dari yang pertama hingga yang terakhir, para jin dan malaikat berkumpul untuk mengampuni satu dosamu, mereka tidak akan mampu melakukannya, karena hanya Allah ‘Azza wa Jalla yang dapat mengampuni dosa. Namun, kita harus selalu memohon ampun kepada Allah, baik untuk diri kita sendiri maupun saudara-saudara kita yang telah mendahului kita dalam keimanan. Adapun jika kita memiliki kuasa untuk mengampuni, maka ketahuilah bahwa tidak ada yang dapat mengampuni dosa selain Allah.

6. Orang yang Tidak Meneruskan Perbuatan Kejinya

Allah Ta’ala berfirman “Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengatahui.”

Artinya, mereka tidak terus-menerus dalam kemaksiatan dan kezaliman mereka, sedangkan mereka sadar bahwa itu adalah maksiat dan kezaliman.

Dalam ayat ini terdapat dalil bahwa bersikeras dalam dosa, padahal mengetahui bahwa itu salah, adalah perkara yang sangat berbahaya, bahkan dalam dosa kecil sekalipun. Oleh karena itu, banyak ulama berpendapat bahwa jika seseorang terus-menerus melakukan dosa kecil, maka dosa itu berubah menjadi dosa besar.

Termasuk dalam hal ini adalah apa yang dilakukan oleh orang-orang bodoh pada zaman ini, yaitu mencukur jenggot. Kamu mendapati mereka mencukur jenggot dan terus-menerus melakukannya, serta menganggapnya sebagai perhiasan dan keindahan. Padahal kenyataannya, itu adalah aib dan keburukan, karena segala sesuatu yang berasal dari maksiat tidak ada kebaikan di dalamnya, bahkan itu adalah keburukan.

Orang-orang yang terus-menerus melakukan maksiat ini —meskipun tergolong kecil— telah berbuat kesalahan, karena dengan terus-menerus melakukannya, ia berubah menjadi dosa besar —wal’iyadzubillah. Sebab, seseorang yang terbiasa dengan dosa kecil lama-kelamaan menjadi tidak peduli dengan apa yang ia lakukan.

Kamu dapati dia setiap hari, setiap kali hendak pergi ke pasar atau ke pekerjaannya, bercermin terlebih dahulu. Jika ia menemukan satu helai rambut (jenggot) yang mulai tumbuh, kamu dapati dia segera mencukurnya dan menghilangkannya. Kita memohon keselamatan kepada Allah. Tidak diragukan lagi bahwa ini adalah bentuk kemaksiatan terhadap Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seseorang dikhawatirkan oleh sebab dosa ini akan dituntun oleh setan menuju dosa yang lebih besar dan lebih berat.

Allah Ta’ala berfirman:

اُولٰۤىِٕكَ جَزَاۤؤُهُمْ مَّغْفِرَةٌ مِّنْ رَّبِّهِمْ وَجَنّٰتٌ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُ خٰلِدِيْنَ فِيْهَا ۗ وَنِعْمَ اَجْرُ الْعٰمِلِيْنَ

Mereka itu balasannya adalah ampunan dari Rabb mereka dan Surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya. Dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal.” (QS Ali Imran: 136).

Ya Allah, jadilah kami termasuk orang-orang yang mengamalkannya. Berilah balasan pahala atas amal itu kepada kami wahai Rabb semesta alam.

Baca juga: SETIAP MUSLIM WAJIB BERSEDEKAH

Baca juga: SESUAP MAKANAN SEPERTI PONDASI PADA BANGUNAN

Baca juga: PERINTAH BERBUAT BAIK, SEKALIPUN TERHADAP HEWAN

(Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)

Kelembutan Hati Riyadhush Shalihin