HUKUM NAJIS JIKA BERUBAH MENJADI BENTUK LAIN

HUKUM NAJIS JIKA BERUBAH MENJADI BENTUK LAIN

Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Apabila kotoran atau bangkai dibakar atau berubah menjadi abu atau debu, maka abu atau debu itu adalah suci.”

Syekh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Pendapat yang unggul adalah bahwa benda najis berubah menjadi suci ketika berubah ke bentuk lain. Demikian itu adalah pendapat Abu Hanifah, serta salah satu dari dua pendapat dalam mazhab Ahmad dan Malik.”

Beberapa catatan penting yang berkaitan dengan najis:

🏀 Apabila seekor kucing memakan sesuatu yang najis lalu minum air setelah beberapa saat, maka air itu tetap suci. Namun, jika kucing langsung minum setelah memakan sesuatu yang najis, terdapat dua pendapat mengenai status najisnya air tersebut. Pendapat yang paling sahih adalah bahwa hal itu tidak menajiskan air, kecuali jika terjadi perubahan sifat air (warna, rasa, atau bau).

🏀 Apabila pakaian atau badan terkena najis, maka yang harus dihilangkan adalah najis yang terdapat di bagian yang terkena najis tersebut, bukan mencuci pakaian secara keseluruhan seperti yang disangka oleh kebanyakan orang.

🏀 Syekh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Bersikap ihtiyath (berhati-hati) semata-mata karena ragu dalam perkara air tidaklah mustahab (disukai) dan tidak pula masyru’ (disyariatkan). Sebaliknya, yang mustahab adalah membangun perkara tersebut atas dasar istishab (kembali pada perkara asal).”

Aku berkata, “Atas dasar ini, seseorang tidak perlu bertanya tentang kesucian air jika air menimpa dirinya. Sebaliknya, dia harus membawanya kepada hukum asal air, yaitu suci.”

Syekh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Apabila timbul keraguan (syak) pada masalah kotoran binatang, apakah najis atau suci, terdapat dua pendapat. Pendapat tersebut didasarkan pada apakah hukum asal kotoran binatang itu najis, ataukah hukum asal sesuatu itu suci. Pendapat yang terakhir ini adalah yang paling benar.”

🏀 Adapun minyak kesturi (yaitu minyak yang diambil dari darah kijang) adalah suci menurut pendapat mayoritas ulama. Minyak kesturi tidak berkedudukan sebagai sesuatu yang dipotong dari hewan yang masih hidup, tetapi berada pada kedudukan seperti telur, anak, susu, dan bulu. Wallahu a’lam. Demikian faedah yang dipaparkan oleh Syekh Islam Ibnu Taimiyah.

🏀 Jika seseorang shalat dengan najis yang melekat di tubuh atau pakaiannya karena tidak tahu atau lupa, maka ia tidak wajib mengulang shalat. Jika ia teringat atau mengetahui adanya najis di tengah-tengah shalat, maka ia wajib menghilangkannya. Hal ini berdasarkan hadis dengan sanad sahih dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, yang berkata:

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat mengimami para sahabat, tiba-tiba beliau melepas kedua sandalnya dan meletakkannya di samping kiri. Hal itu terlihat oleh banyak orang (para makmum), sehingga mereka pun melepas sandal-sandal mereka. Seusai shalat, beliau bertanya,

مَا حَمَلَكُمْ عَلَى إِلْقَائِكُمْ نِعَالَكُمْ؟

Apa yang membuat kalian melepas sandal kalian?

Mereka menjawab, “Kami melihat engkau melepaskan kedua sandalmu, jadi kami pun melepaskan sandal-sandal kami.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 

إِنَّ جِبْرِيلَ أَتَانِي فَأَخْبَرَنِي أَنَّ بِهِمَا خَبَثًا

Sesungguhnya Jibril tadi mendatangiku dan memberitahukanku bahwa di sandalku terdapat kotoran.” (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ahmad)

🏀 Tidak boleh berobat dengan benda-benda najis maupun dengan sesuatu yang diharamkan oleh Allah Azza wa Jalla, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ لَمْ يَجْعَلْ شِفَاءَ اُمَّتِى فِيمَا حَرَّمَ عَلَيْهَا

Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhan bagi umatku pada apa-apa yang diharamkan atas mereka.” (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh Hakim dan al-Baihaqi)

🏀 Bolehkah memanfaatkan sesuatu yang najis untuk perkara-perkara yang tidak ada kaitannya dengan manusia, seperti memberi makan bangkai pada burung elang, mengenakan pakaian najis kepada hewan, meminyaki perahu dengan minyak yang tercampur najis, dan memadamkan api dengan khamar? Pendapat yang benar adalah boleh. Hal itu berdasarkan hadis dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِيْرِوَالْأَصْنَامِ

Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan menjual khamar, bangkai, babi, dan patung.”

Seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang lemak bangkai? Sesungguhnya lemak itu bisa digunakan untuk mengoles kapal, meminyaki kulit, dan digunakan manusia untuk penerangan.”

Beliau bersabda,

لَا، هُوَ حَرَامٌ

Tidak, ia adalah haram.” (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa-i, dan Ibnu Majah)

Maksud dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ia adalah haram,” adalah larangan menjualnya. Namun, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkari pertanyaan tentang mengambil manfaat (intifa’) dari benda-benda ini.

ash-Shan’ani rahimahullah berkata, “Boleh memberi makan anjing dengan lemak bangkai, memberi lebah dengan madu yang tercampur najis, dan memberi makan hewan dengan benda yang najis. Semuanya boleh menurut mazhab asy-Syafi’i.”

🏀 Orang yang baru bangun dari tidurnya tidak sepatutnya memasukkan tangannya ke dalam bejana hingga ia mencucinya terlebih dahulu tiga kali. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِذَا اِسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ نَوْمِهِ، فَلَا يَغْمِسْ يَدَهُ فِى الْإِنَاءِ حَتَّى يَغْسِلَهَا ثَلَاثًا، فَإِنَّهُ لَا يَدْرِى أَيْنَ بَاتَتْ يَدُهُ

Apabila salah seorang dari kalian bangun dari tidurnya, maka janganlah ia memasukkan tangannya ke dalam bejana hingga mencucinya tiga kali, karena ia tidak tahu dimana tangannya bermalam.” (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan an-Nasa-i)

Hal ini tidak bermakna bahwa ia dapat menajiskan air, tetapi ini adalah perkara ta’abbudi. Adapun air tersebut tetap pada asal thahuriyahnya (yaitu suci lagi mensucikan). Wallahu a’lam.

Syekh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan bahwa illat (motivasi hukum) dari larangan tersebut telah dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya,

إِذَا اِسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ مَنَامِهِ، فَتَوَضَّأَ فَلْيَسْتَنْثِرْ ثَلَاثًا، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَبِيْتُ عَلَى خَيْشُومِهِ

Jika seseorang dari kalian bangun dari tidurnya, hendaklah ia berwudhu lalu beristinsyar (menghirupkan air ke dalam hidung lalu menghembuskannya) sebanyak tiga kali, karena sesungguhnya setan bermalam di lubang hidungnya.” (Muttafaq ‘alaihi)

Mungkin saja tangan itu telah dipermainkan oleh setan dan dibawanya ke sesuatu yang berbahaya bagi manusia atau menyebabkan kerusakan pada air. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang memasukkan tangannya ke dalam bejana hingga ia mencucinya terlebih dahulu tiga kali.

🏀 Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kencing di air yang tergenang. (HR Muslim, Ibnu Majah, dan Ahmad) Yang demikian itu agar tidak memunculkan keraguan (syak) dalam menggunakan air tersebut, atau karena perbuatan itu dapat menjadi perantara ternajisinya air.

🏀 Tidak ada kewajiban mencuci kaki yang terkena lumpur jalan, kecuali jika diyakini bahwa lumpur itu mengandung najis, seperti berasal dari saluran air kotoran. Begitu juga dengan bekas tinja, yaitu bekas yang tersisa seusai bersuci dengan batu (istijmar), keadaannya pun dimaafkan. Hal ini karena batu yang dipakai untuk beristijmar hanya dapat menghilangkan najis yang tampak dan tidak dapat mengangkat najis secara sempurna. Sesungguhnya kaedah syariat dibangun atas dasar menghilangkan kesulitan.

🏀 Mencuci pakaian di mesin cuci dan mengumpulkan pakaian dalam satu wadah, di mana sebagian pakaian terdapat najis, tidak membahayakan pakaian yang lain. Hal ini karena air di dalam wadah berjumlah banyak dibandingkan dengan najis yang ada, sehingga dapat menghilangkan bekas najis tanpa meninggalkan rasa, warna, dan baunya. Pendapat yang unggul adalah bahwa seluruh pakaian dapat disucikan dengan pencucian itu.

Baca juga: TATA CARA MENGHILANGKAN NAJIS

Baca juga: HUKUM BANGKAI

Baca juga: MENCUCI NAJIS ANJING

(Syaikh Abu Abdurrahman Adil bin Yusuf al-Azazy)

Fikih