SIFAT SHALAT NABI – RAKAAT KEDUA

SIFAT SHALAT NABI – RAKAAT KEDUA

Kemudian bertakbir lalu berdiri menuju rakaat kedua dengan bertumpu pada kedua lututnya, beranjak di atas punggung (ujung depan) kedua telapak kakinya tanpa duduk. Inilah pendapat yang masyhur dalam mazhab Imam Ahmad rahimahullah. Namun ada pula yang berpendapat bahwa ia duduk terlebih dahulu, kemudian bangkit dengan bertumpu pada kedua tangannya. Pendapat ini adalah yang masyhur dalam mazhab Imam asy-Syafi’i rahimahullah.

Duduk ini dikenal di kalangan para ulama dengan sebutan “duduk istirahat” (jalsah al-istirahah). Para ulama rahimahumullah berselisih pendapat tentang pensyariatannya. Sebagian ulama berpendapat bahwa duduk ini dianjurkan secara mutlak. Maka ketika kamu hendak bangkit ke rakaat kedua atau keempat, duduklah terlebih dahulu, lalu bangkit dengan bertumpu pada kedua tanganmu, baik dengan cara seperti orang yang sedang menguleni adonan —jika hadis tentang hal itu sahih— atau dengan cara selainnya bagi yang berpendapat bahwa hadis tentang menguleni itu lemah.

Sebagian ulama berpendapat bahwa duduk istirahat tidak dianjurkan sama sekali.
Sebagian lainnya merinci dengan mengatakan, “Jika engkau membutuhkannya karena sulit bangkit dari ujung depan telapak kakimu karena lemah, tua, sakit, atau hal-hal serupa, maka engkau duduk terlebih dahulu lalu bangkit. Jika engkau tidak membutuhkannya, maka janganlah duduk.”

Dalil yang digunakan untuk pendapat ini adalah bahwa duduk istirahat tidak memiliki doa khusus, tidak pula takbir ketika berpindah darinya, melainkan hanya satu kali takbir dari sujud ke berdiri sehingga tidak ada takbir sebelumnya maupun sesudahnya, dan juga tidak terdapat dzikir di dalamnya yang menunjukkan bahwa ia bukan bagian pokok dari shalat itu sendiri. Setiap rukun yang memang dimaksudkan secara tersendiri dalam shalat pasti memiliki dzikir yang disyariatkan, takbir sebelumnya, dan takbir sesudahnya.

Mereka juga berdalil dengan hadis Malik bin al-Huwairits radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertumpu pada kedua tangannya. (HR al-Bukhari)

Bertumpu pada tangan tidak dilakukan kecuali karena kebutuhan, seperti berat badan yang menyulitkan untuk langsung bangkit dari sujud. Oleh karena itu dikatakan: Jika kamu membutuhkannya, jangan memaksakan diri untuk langsung bangkit dari sujud ke berdiri. Jika tidak membutuhkannya, lebih utama langsung bangkit dari sujud ke berdiri.

Inilah pendapat yang dipilih oleh penulis al-Mughni, yaitu Abdullah bin Ahmad bin Qudamah yang dikenal dengan al-Muwaffaq rahimahullah —salah satu ulama besar dari kalangan pengikut Imam Ahmad— dan juga merupakan pilihan Ibnul Qayyim dalam Zad al-Ma’ad. Penulis al-Mughni menyatakan bahwa pendapat ini adalah pendapat yang menghimpun seluruh dalil, baik dalil yang menetapkan adanya duduk ini maupun yang menafikannya, dan rincian semacam ini menurutnya lebih kuat daripada pendapat yang bersifat mutlak.

Pendapat yang menyatakan bahwa duduk istirahat tidak disyariatkan sama sekali menurutku adalah pendapat yang lemah, karena hadis-hadis tentangnya telah tetap. al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu: “Kemudian beliau bertakbir ketika hendak sujud, lalu bertakbir ketika mengangkat kepalanya.” (HR al-Bukhari)

al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ثُمَّ اِقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنْ اَلْقُرْآنِ، ثُمَّ اِرْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا، ثُمَّ اِرْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا، ثُمَّ اُسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا، ثُمَّ اِرْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا، ثُمَّ اُسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا، ثُمَّ اِفْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلَاتِكَ كُلِّهَا

Kemudian bacalah apa yang mudah bagimu dari al-Qur’an, lalu rukuklah hingga engkau tenang dalam keadaan rukuk, lalu bangkitlah hingga engkau berdiri dengan tegak, lalu sujudlah hingga engkau tenang dalam keadaan sujud, lalu bangkitlah hingga engkau tenang dalam keadaan duduk, kemudian sujudlah kembali hingga engkau tenang dalam keadaan sujud. Lakukanlah hal itu dalam seluruh shalatmu.” (HR al-Bukhari)

Dalam salah satu riwayat disebutkan:

ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا، ثمَّ افْعَل ذَلِك فِي صَلَاتك كلهَا

Kemudian sujudlah hingga engkau tenang dalam keadaan sujud, lalu bangkitlah hingga engkau tenang dalam keadaan duduk, lalu sujudlah kembali hingga engkau tenang dalam keadaan sujud, lalu bangkitlah hingga engkau tenang dalam keadaan duduk, kemudian lakukanlah hal itu dalam seluruh shalatmu.”

al-Bukhari meriwayatkan dari Malik bin al-Huwairits radhiyallahu ‘anhu, bahwa ia melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang shalat. Ketika beliau berada di rakaat ganjil dari shalatnya, beliau tidak langsung bangkit hingga duduk dengan sempurna terlebih dahulu. (HR al-Bukhari)

Dalam salah satu riwayat disebutkan bahwa Malik bin al-Huwairits shalat bersama mereka sebagaimana shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ketika ia mengangkat kepalanya dari sujud kedua, ia duduk terlebih dahulu dan bertumpu pada tanah, lalu bangkit.” (HR al-Bukhari)

an-Nasa’i juga meriwayatkan bahwa ia (Malik bin al-Huwairits) memperlihatkan kepada mereka tata cara shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ketika ia mengangkat kepalanya dari sujud kedua pada awal rakaat, ia duduk dengan sempurna terlebih dahulu, lalu bangkit dengan bertumpu pada tanah.” (HR an-Nasa’i)

Dalam Shahih al-Bukhari dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha disebutkan bahwa ia tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat malam dalam keadaan duduk sama sekali hingga beliau menua. Ketika tua, beliau membaca al-Qur’an dalam keadaan duduk, hingga apabila beliau hendak rukuk, beliau berdiri lalu membaca sekitar tiga puluh atau empat puluh ayat, kemudian rukuk. (HR al-Bukhari)

Di dalamnya juga (terdapat riwayat): “Ketika tubuhnya telah banyak dagingnya (gemuk), beliau shalat dalam keadaan duduk. Lalu apabila beliau hendak rukuk, beliau berdiri terlebih dahulu, membaca (ayat), kemudian rukuk.” (HR al-Bukhari)

Dalam Shahih Muslim dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata: “Ketika tubuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi besar (gemuk) dan berat, maka kebanyakan shalat beliau dilakukan dalam keadaan duduk.” (HR Muslim)

Diriwayatkan pula dari Hafshah radhiyallahu ‘anha: “Aku tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat sunahnya dalam keadaan duduk, hingga satu tahun sebelum wafatnya, beliau mulai shalat sunah dalam keadaan duduk.”

Dalam riwayat lain disebutkan: “satu atau dua tahun sebelumnya.” (HR Muslim)

Dalam Musnad (Ahmad), dari Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا تُبَادِرُونِي بِالرُّكُوعِ وَلَا بِالسُّجُودِ، فَمَهْمَا أَسْبِقْكُمْ بِهِ إِذَا رَكَعْتُ، تُدْرِكُونِي بِهِ إِذَا رَفَعْتُ، وَمَهْمَا أَسْبِقْكُمْ بِهِ إِذَا سَجَدْتُ، تُدْرِكُونِي بِهِ إِذَا رَفَعْتُ، إِنِّي قَدْ بَدَّنْتُ

Janganlah kalian mendahuluiku dalam rukuk dan jangan pula dalam sujud, karena apa pun yang aku dahului kalian dengannya, apabila aku rukuk, maka biarkanlah aku sampai aku bangkit (dari rukuk), dan apa pun yang aku dahului kalian dengannya, apabila aku sujud, maka biarkanlah aku sampai aku bangkit (dari sujud). Sungguh tubuhku telah menjadi berat.” (Hadis hasan sahih. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Abu Dawud, dan Ahmad)

al-’Iraqi berkata, “Para perawinya adalah para perawi kitab ash-Shahih.”

Kemudian melaksanakan rakaat kedua seperti rakaat pertama, namun tanpa membaca doa istiftah. Sebab, tempat membaca istiftah adalah di rakaat pertama saja. Karena itulah ia disebut “istiftah” (doa pembuka), karena shalat dimulai dengannya.

Bacaan Ta’awudz di Rakaat Kedua, Ketiga dan Keempat

Adapun bacaan ta’awudz ketika membaca al-Qur’an pada rakaat kedua, ketiga, dan keempat, para ulama berselisih pendapat dalam hal ini. Sebagian berpendapat bahwa ta’awudz dibaca pada setiap rakaat, karena setiap rakaat dianggap memiliki bacaan yang berdiri sendiri. Sebagian lainnya berpendapat bahwa cukup membaca ta’awudz pada rakaat pertama saja, karena bacaan dalam shalat dipandang sebagai satu kesatuan di semua rakaat.

Bagaimanapun, aku tidak mengetahui adanya sunah yang secara jelas membedakan antara dua pendapat ini. Maka, jika seseorang membaca ta’awudz pada rakaat kedua, ketiga, dan keempat, itu tidak mengapa dan tidak ada larangan. Begitu pula jika ia tidak membacanya, maka juga tidak mengapa.

`Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila bangkit dari rakaat kedua, beliau memulai bacaan dengan (ٱلْـحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِينَ) dan tidak diam (terlebih dahulu).” (HR Muslim)

Hendaklah rakaat ini (yakni rakaat kedua) lebih pendek dari rakaat pertama.

al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memanjangkan rakaat pertama melebihi rakaat kedua. (HR al-Bukhari)

Dalam riwayat lain disebutkan: “Beliau memanjangkan rakaat pertama dalam shalat Zhuhur dan meringankan rakaat kedua. Beliau melakukan hal yang sama dalam shalat Subuh.” (HR al-Bukhari)

Baca sebelumnya: SIFAT SHALAT NABI – SUJUD KEDUA

Baca setelahnya: SIFAT SHALAT NABI – TASYAHUD AWAL

(Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)

Fikih Sifat Shalat Nabi