QARDH (PINJAMAN)

QARDH (PINJAMAN)

Qardh secara bahasa artinya memotong, karena orang yang memberi pinjaman akan memotong sebagian hartanya untuk diberikan kepada peminjam.

Sedangkan definisi qardh secara syar’i adalah memberikan harta kepada orang yang memanfaatkannya, kemudian orang itu mengembalikan gantinya.

Qardh merupakan bentuk tolong-menolong dan kasih sayang. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutnya sebagai manihah (anugerah), sebab peminjam mendapatkan manfaat, kemudian mengembalikannya kepada pemberi pinjaman.

Memberi pinjaman uang hukumnya sunah dan pahalanya besar. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُقْرِضُ مُسْلِمًا قَرْضًا مَرَّتَيْنِ، إِلَّا كَانَ كَصَدَقَةٍ مَرَّةً

Tidaklah seorang muslim memberi pinjaman kepada sesama muslim dua kali, melainkan ia seperti bersedekah sekali kepadanya.” (Hadis hasan. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah. Dihasankan oleh Syekh al-Albani dalam Irwa’ al-Ghalil)

Bahkan ada yang mengatakan bahwa pinjaman lebih baik daripada sedekah, sebab seseorang tidak akan meminjam (berhutang) kecuali bila sangat membutuhkan.

Dalam hadis sahih disebutkan:

مَنْ نَـفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُـرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا، نَـفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُـرْبَةً مِنْ كُـرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ

Barangsiapa melapangkan seorang mukmin dari kesulitan yang menimpanya ketika di dunia, maka Allah akan melapangkannya dari kesulitan-kesulitan yang akan dihadapinya Hari Kiamat nanti.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Jadi, memberi pinjaman adalah perbuatan makruf yang dapat mengatasi kesulitan sesama muslim sekaligus memenuhi hajatnya.

Meminta pinjaman tidak termasuk perbuatan minta-minta yang tercela, sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukannya.

Di antara syarat sahnya qardh adalah bahwa pemberi pinjaman harus orang yang boleh memberikan harta. Seorang wali yatim, misalnya, tidak boleh meminjamkan harta anak yatim asuhannya kepada orang lain.

Syarat lainnya adalah mengetahui jumlah dan ciri-ciri harta yang dipinjamkan agar peminjam dapat mengembalikan harta yang serupa kepada pemiliknya. Qardh menjadi hutang yang ditanggung peminjam. Ia harus mengembalikannya begitu ia mampu, tanpa diundur-undur.

Haram bagi pemberi pinjaman mensyaratkan tambahan atas hartanya kepada peminjam, sebab para ulama sepakat bahwa jika ia mensyaratkan tambahan kepada peminjam lalu memungutnya, maka ia telah memungut riba. Maka apa yang dilakukan oleh bank-bank saat ini yang memberikan pinjaman berbunga adalah riba yang nyata, baik pinjaman tersebut untuk konsumsi maupun investasi, sebagaimana yang mereka namakan. Oleh karena itu, tidak boleh bagi pemberi pinjaman (bank, perusahaan, atau perorangan) memungut tambahan yang disyaratkan atas uang pinjaman, apa pun namanya, baik ia disebut tambahan, bunga, laba, bagi hasil, hadiah, bonus, tumpangan gratis, penginapan gratis dan semisalnya. Pokoknya, selama tambahan, hadiah atau manfaat tersebut diperoleh karena persyaratan, maka ia termasuk riba.

Dalam hadis disebutkan:

 قُلُّ قَرْضٍ جَرَّنَفْعًا، فَهُوَ رِبَا

Setiap pinjaman (qardh) yang menarik manfaat berarti riba.” (Hadis daif. Diriwayatkan oleh al-Baihaqi. Didifkan oleh Syekh al-Albani dalam Irwa’ al-Ghalil. Syekh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz berkata, “Hadis ini daif, namun para ulama memandang maknanya benar.”)

Sedangkan dalam hadis Anas yang marfu’ disebutkan: “Jika seseorang dari kalian memberi qardh lalu ia diberi hadiah atau diberi tumpangan di atas kendaraan (oleh peminjam), maka ia jangan menerima hadiah itu dan jangan menumpang kendaraannya, kecuali bila keduanya biasa melakukan hal itu sebelumnya.” (Hadis daif. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah. Didaifkankan oleh Syekh al-Albani dalam Irwa’ al-Ghalil. Namun Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menghasankan hadis ini)

Dari Abu Burdah, dia berkata: Aku datang ke kota Madinah dan bertemu dengan Abdullah bin Sallam radhiyallahu ‘anhu. Dia berkata, “Sesungguhnya kamu berada di negeri yang praktik riba telah merajalela. Oleh karena itu, jika kamu memiliki harta yang kamu hutangkan kepada seseorang, lalu dia menghadiahimu sepikul jerami atau sepikul gandum atau sepikul makanan ternak, maka janganlah kamu menerimanya, karena itu termasuk riba.” (HR al-Bukhari).

Dan masih banyak hadis lain yang semakna.

Bahkan ada riwayat sahih dari ‘Abdullah bin Salam radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Bila kamu memiliki hak (piutang) atas seseorang lalu ia memberimu seikat jerami, maka janganlah kamu mengambilnya karena itu adalah riba.” Riwayat ini memiliki hukum marfu’.

Jadi, pemberi pinjaman tidak boleh menerima hadiah atau manfaat lainnya dari peminjam selama sebabnya adalah pinjaman. Hal ini berangkat dari larangan di atas, di samping karena qardh adalah akad untuk menolong orang yang membutuhkan dan mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Maka jika ia mensyaratkan tambahan, mencari-carinya atau menginginkannya dalam akad tersebut, berarti ia telah keluar dari tujuan qardh, yaitu bertakarub kepada Allah dengan memenuhi hajat orang kepada meraih keuntungan dari peminjam. Dan ini bukan hutang-piutang.

Seorang muslim wajib berhati-hati dalam masalah ini, memperingatkan orang lain darinya dan mengikhlaskan niat dalam memberi hutang dan dalam amal-amal saleh lainnya. Tujuan memberi hutang bukan keuntungan nyata, melainkan keuntungan maknawi, yaitu pahala yang mendekatkan diri kepada Allah dengan cara menutup kebutuhan orang yang membutuhkan dan hanya minta modal kembali. Jika ini yang menjadi tujuan seseorang dalam memberikan qardh, niscaya Allah akan menurunkan berkah atas hartanya dan menjadikannya semakin bertambah dengan baik.

Kemudian perlu diketahui bahwa tambahan yang terlarang untuk dipungut dalam qardh adalah tambahan yang disyaratkan sebelumnya. Contohnya dengan mengatakan, “Aku pinjami kamu uang sekian dengan syarat kamu mengembalikannya dengan tambahan sekian, atau kamu biarkan aku bermalam di rumahmu, atau kamu memberiku hadiah ini dan itu.”

Mungkin saja tidak ada syarat yang terucap, akan tetapi ada maksud dan harapan untuk meminta tambahan, maka hal ini pun terlarang.

Akan tetapi, jika peminjam memberikan tambahan secara suka rela dan atas keinginan pribadi tanpa ada syarat, maksud atau harapan dari pemberi pinjaman, maka tambahan ini boleh diambil. Itu karena ia termasuk pengembalian pinjaman dengan cara yang baik, dan karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah meminjam seekor unta berusia muda, lalu beliau memberi ganti dengan yang lebih baik seraya bersabda,

خِيَارَ النَّاسِ أَحْسَنُهُمْ قَضَاءً

Sebaik-baik orang adalah orang yang paling baik dalam membayar hutang.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Perbuatan ini adalah akhlak terpuji di mata masyarakat dan syariat. Hal ini tidak termasuk pinjaman yang menarik manfaat karena tidak disyaratkan oleh pemberi pinjaman dan bukan hasil kesepakatan. Ia adalah sumbangan dari peminjam.

Demikian pula jika peminjam memberikan suatu manfaat ke pemberi pinjaman yang biasa terjadi di antara mereka sebelum akad qardh yang secara tradisi biasa dilakukan oleh peminjam dan bukan disebabkan adanya pinjaman, maka yang seperti ini boleh diterima karena telah bebas dari hal-hal yang dilarang.

Kemudian wajib hukumnya bagi peminjam untuk memperhatikan pelunasan hutang-hutangnya kepada yang menghutangi, tanpa mengulur-ulur bila sudah mampu melunasinya, sebab Allah Ta’ala berfirman:

هَلْ جَزَاۤءُ الْاِحْسَانِ اِلَّا الْاِحْسَانُ

Bukankah balasan suatu kebaikan adalah kebaikan pula?” (QS ar-Rahmaan: 60)

Sebagian orang meremehkan hak orang lain, lebih-lebih masalah hutang. Ini merupakan sikap tercela yang menjadikan orang-orang enggan memberikan pinjaman kepada yang membutuhkan. Hingga terkadang mendorong orang yang terjepit untuk pergi ke bank-bank ribawi, lalu bekerja sama dengannya dengan cara yang diharamkan Allah. Itulah yang terjadi jika peminjam tidak lagi mendapati orang yang mau memberi pinjaman secara sukarela dan pemberi pinjaman kesulitan mendapatkan orang yang baik dalam melunasi pinjamannya. Maka sirnalah tolong-menolong dalam masyarakat.

Baca juga: ARIYAH (PINJAM MEMINJAM)

Baca juga: IJARAH (SEWA-MENYEWA)

(Syekh Dr Shalih bin Fauzan al-Fauzan)

Fikih