PERSAUDARAAN DALAM ISLAM

PERSAUDARAAN DALAM ISLAM

Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِم. لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يُسْلِمُهُ. مَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيهِ، كَانَ اللهُ فِي حَاجَتِهِ. وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً، فَرَّجَ اللهُ عَنْهُ بِهَا كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ. وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا، سَتَرَهُ اللهُ يَوْمِ الْقِيَامَةِ

“Orang muslim adalah saudara muslim yang lain. Ia tidak boleh menzaliminya dan menyerahkannya kepada musuh. Barangsiapa memenuhi hajat saudaranya, maka Allah akan memenuhi hajatnya. Barangsiapa melapangkan kesempitan orang muslim, maka Allah akan melapangkan kesempitannya di antara kesempitan-kesempitan pada Hari Kiamat. Barangsiapa menutup aib saudaranya, maka Allah akan menutup aibnya pada Hari Kiamat.” (Muttafaq ‘alaih)

PENJELASAN

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang muslim adalah saudara muslim yang lain.” Yakni, saudara seagama, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

فَاَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهٖٓ اِخْوَانًا

“…sehingga dengan karunia-Nya kalian menjadi bersaudara.” (QS Ali Imran: 103)

فَاِنْ لَّمْ تَعْلَمُوْٓا اٰبَاۤءَهُمْ فَاِخْوَانُكُمْ فِى الدِّيْنِ

Dan jika kalian tidak mengetahui bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudara kalian seagama.” (QS al-Ahzab: 5)

Persaudaraan dalam agama Islam merupakan persaudaraan yang kokoh dan kuat, lebih kuat daripada persaudaraan senasab, karena persaudaraan senasab adakalanya berbeda tujuan. Terkadang saudara senasab menjadi musuh dan kebencianmu, baik di dunia maupun di akhirat.

Allah Ta’ala berfirman:

اَلْاَخِلَّاۤءُ يَوْمَىِٕذٍۢ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ اِلَّا الْمُتَّقِيْنَ

Teman-teman karib pada hari itu saling bermusuhan satu sama lain, kecuali mereka yang bertakwa.” (QS adz-Dzukhruf: 67)

Persaudaraan dalam agama Islam merupakan persaudaraan yang kokoh dan kuat yang membawa manfaat dalam kehidupan dunia dan akhirat. Akan tetapi, persaudaraan dalam agama Islam tidak mewajibkan saling mewarisi dan saling menafkahi sebagaimana pada persaudaraan senasab.

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamTidak boleh menzaliminya dan menyerahkannya kepada musuh.”

Tidak boleh menzaliminya,” artinya tidak boleh menzalimi raga, harta, kehormatan atau keluarganya.

Tidak menyerahkannya kepada musuh,” artinya tidak menyerahkannya kepada orang yang hendak menzaliminya. Seorang muslim harus membela dan melindungi saudaranya dari kejahatan orang lain.

Para ulama berkata, “Seseorang wajib membela saudaranya dalam kehormatan, raga dan harta.”

Membela kehormatan adalah membelanya apabila ia mendengar seseorang mencaci dan membeberkan kejelekan saudaranya. Membela raga adalah membelanya jika seseorang ingin menyakiti raga saudaranya sedangkan kamu mampu membelanya. Membela harta adalah membelanya jika seseorang ingin mengambil harta saudaranya.

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa memenuhi hajat saudaranya, maka Allah akan memenuhi hajatnya.” Yakni, jika kamu membantu memenuhi kebutuhan saudaramu, maka Allah akan membantu memenuhi kebutuhanmu, sebagai balasan yang setimpal.

Dari sini dapat dipahami bahwa jika seseorang menzalimi saudaranya, maka hubungan persaudaraan mereka berkurang. Jika ia menyerahkan saudaranya kepada orang yang ingin menzaliminya, maka hubungan persaudaraan mereka pun berkurang. Jika ia tidak memenuhi kebutuhan saudaranya, maka ia kehilangan hal yang sangat besar, yaitu Allah tidak memenuhi kebutuhannya.

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa melapangkan kesempitan seorang muslim, maka Allah akan melapangkan kesempitannya di antara kesempitan-kesempitan pada Hari Kiamat.” Yang dimaksud dengan al-kurabu adalah sesuatu yang menyulitkan dan memberatkan. Jika kamu melapangkan orang yang mengalami kesulitan dan kesempitan, maka Allah akan melapangkan kesempitan-kesempitanmu pada Hari Kiamat.

Melapangkan kesempitan bisa dalam berbagai bentuk. Jika kesempitan berupa harta, maka kamu bisa memberinya harta untuk melenyapkan kesempitannya. Jika kesempitan bersifat maknawi, maka melapangkannya adalah dengan cara menolak kesempitan maknawi itu hingga hilang. Jika kesempitan itu berupa kegelisahan dan kesedihan, maka kamu memberinya ketenangan dan kegembiraan. Jelaskanlah ia bahwa kesempitan itu bersifat sementara. Jelaskanlah pula bahwa dalam kesempitan terdapat pahala yang sangat besar.

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa menutup aib saudaranya, maka Allah akan menutup aibnya pada Hari Kiamat.” Yakni, menutup aib saudaranya dan tidak membeberkannya. Orang yang menutup aib saudaranya akan mendapati aibnya ditutup oleh Allah di dunia dan di akhirat.

Akan tetapi ‘menutup aib’ tidak bersifat mutlak. Dalam suatu keadaan ‘menutup aib’ merupakan perbuatan terpuji, namun dalam keadaan lain ‘menutup aib’ merupakan perbuatan terlarang.

Ketika kamu melihat orang yang keji dan gemar melakukan kemaksiatan melakukan kemaksiatan, menutup aibnya tidak akan menambah kepadanya kecuali keburukan. Oleh karena itu, janganlah kamu menutup aibnya. Malah kamu harus mengutarakan aib itu kepadanya agar dia tidak melakukan keburukan lagi. Jika keburukan tidak hilang, bahkan berpotensi lebih besar, maka sebaiknya kamu menutup aibnya dan tidak membeberkan kepada siapapun, termasuk kepada orang yang bertanggung jawab atas perbuatannya. Jika kamu menutup aibnya, maka Allah akan menutup aibmu di dunia dan di akhirat.

Demikian juga menutup aib fisik. Jika pada fisik saudaramu terdapat aib, seperti bekas luka, penyakit kusta dan panu, maka berusalah kamu menutupnya. Harus tumbuh di hatimu peraasaan tidak suka jika aib itu diketahui orang lain. Jika kamu menutupnya, maka Allah akan menutup aibmu di dunia dan di akhirat.

Demikian juga jika saudaramu orang yang berperilaku buruk. Ia menampakkan di hadapan orang lain bahwa ia orang yang baik dan murah hati, sedangkan kamu tahu bahwa ia tidak demikian. Maka tutuplah aibnya.

Barangsiapa menutup aib seorang muslim, maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan di akhirat.

Maksud menutupi di sini adalah sebagaimana yang aku katakan. Jika berkaitan dengan perbuatan buruk, maka terdiri dari dua:

Pertama. Keburukan yang dilakukan oleh orang yang gemar melakukan kemaksiatan, maka aib ini tidak harus kamu tutupi.

Kedua. Keburukan berupa kesalahan yang dilakukan secara khilaf, maka aib ini harus kamu

Adapun pada perkara-perkara lainnya, maka menutupi aib adalah lebih sempurna dan lebih utama.

Allah-lah tempat kita meminta pertolongan.

Baca juga: SETIAP MUKMIN HARUS MEMBERI NASIHAT KEPADA SAUDARANYA

Baca juga: MEMPERBAIKI HUBUNGAN

Baca juga: ETIKA DALAM MEMULAI SALAM

Baca juga: LARANGAN MENGOLOK-OLOK

(Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)

Kelembutan Hati