Keluarga merupakan pondasi utama dalam tatanan masyarakat. Apabila keluarga baik, maka seluruh masyarakat baik. Apabila keluarga rusak, maka seluruh masyarakat rusak.
Keluarga dalam Islam bukan kedua orang tua dan anak-anak saja. Keluarga dalam Islam adalah orang tua, anak-anak, serta karib kerabat dan sanak keluarga. Jadi, setiap orang yang memiliki kekerabatan denganmu baik dari pihak ayah maupun pihak ibu, baik dari jalur anak laki-lakimu maupun jalur anak perempuanmu adalah kerabatmu. Jadi, ayah ibumu, kakek nenekmu, paman bibimu dari pihak ayah, paman bibimu dari pihak ibu, serta para sepupumu adalah kerabatmu.
Allah Ta’ala memerintahkan agar kita berbuat baik kepada kerabat, sebagaimana Dia memerintahkan agar kita berbuat baik kepada kedua orang tua.
Allah Ta’ala berfirman:
وَاعْبُدُوا اللّٰهَ وَلَا تُشْرِكُوْا بِهٖ شَيْـًٔا وَّبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسَانًا وَّبِذِى الْقُرْبٰى
“Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, kerabat.” (QS an-Nisa’: 36)
Allah Ta’ala juga berfirman:
فَاٰتِ ذَا الْقُرْبٰى حَقَّهٗ وَالْمِسْكِيْنَ وَابْنَ السَّبِيْلِ
“Maka berikanlah haknya kepada kerabat, juga kepada orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan.” (QS ar-Rum: 38)
Allah Ta’ala mewajibkan kita untuk memberi wasiat kebaikan bagi mereka.
Allah Ta’ala berfirman:
كُتِبَ عَلَيْكُمْ اِذَا حَضَرَ اَحَدَكُمُ الْمَوْتُ اِنْ تَرَكَ خَيْرًا ۖ ۨالْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْاَقْرَبِيْنَ بِالْمَعْرُوْفِۚ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِيْنَ
“Diwajibkan atas kalian, apabila maut hendak menjemput seseorang di antara kalian, jika dia meninggalkan harta, berwasiat untuk kedua orang tua dan kerabat dengan cara yang baik, (sebagai) kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS al-Baqarah: 180)
Allah Ta’ala memerintahkan pewaris agar memberi sebagian harta warisan kepada kerabat yang tidak berhak mendapatkannya apabila mereka ikut hadir dalam pembagian harta warisan.
Allah Ta’ala berfirman:
وَاِذَا حَضَرَ الْقِسْمَةَ اُولُوا الْقُرْبٰى وَالْيَتٰمٰى وَالْمَسٰكِيْنُ فَارْزُقُوْهُمْ مِّنْهُ وَقُوْلُوْا لَهُمْ قَوْلًا مَّعْرُوْفًا
“Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir beberapa kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekadarnya), dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.” (QS an-Nisa’: 8)
Allah Ta’ala juga mengabarkan bahwa kerabat adalah orang yang lebih berhak dinafkahi daripada selain mereka.
Allah Ta’ala berfirman:
يَسْـَٔلُوْنَكَ مَاذَا يُنْفِقُوْنَ ۗ قُلْ مَآ اَنْفَقْتُمْ مِّنْ خَيْرٍ فَلِلْوَالِدَيْنِ وَالْاَقْرَبِيْنَ وَالْيَتٰمٰى وَالْمَسٰكِيْنِ وَابْنِ السَّبِيْلِ ۗ وَمَا تَفْعَلُوْا مِنْ خَيْرٍ فَاِنَّ اللّٰهَ بِهٖ عَلِيْمٌ
“Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang apa yang harus mereka infakkan. Katakanlah, ‘Harta apa saja yang kamu infakkan, hendaklah diperuntukkan bagi kedua orang tua, kerabat, anak yatim, orang miskin, dan orang yang dalam perjalanan.’ Dan kebaikan apa saja yang kamu kerjakan, maka sesungguhnya Allah Mahamengetahui.” (QS al-Baqarah: 215)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah menegaskan hal tersebut di dalam banyak hadis.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Dahulu Abu Thalhah radhiyallahu ‘anhu adalah orang Anshar yang paling banyak memiliki kebun kurma di Madinah. Harta yang paling dia cintai adalah kebun kurma Bairuha yang berhadapan dengan masjid. Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sering memasukinya dan minum air tawar segar yang ada di dalamnya. Ketika turun ayat,
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتّٰى تُنْفِقُوْا مِمَّا تُحِبُّوْنَ
“Kamu tidak akan memperoleh kebajikan sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai.” (QS Ali ‘Imran: 92) Abu Thalhah berdiri seraya berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman: ‘Kamu tidak akan memperoleh kebajikan sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai.’ (QS Ali ‘Imran: 92) Sesungguhnya harta yang paling aku cintai adalah kebun kurma Bairuha. Kini aku jadikan kebun itu sebagai sedekah untuk Allah. Aku mengharapkan kebaikan dan simpanannya di sisi Allah. Wahai Rasulullah, bagikanlah kebun kurma itu sesuai dengan apa yang telah Allah Ta’ala perintahkan kepadamu.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda,
بَخْ، ذَلِكَ مَالٌ رَايِحٌ. ذَلِكَ مَالٌ رَايِحٌ. وَقَدْ سَمِعْتُ مَا قُلْتَ. وَإِنِّي أَرَى أَنْ تَجْعَلَهَا فِي الْأَقْرَبِينَ
“Bagus sekali. Itu adalah harta yang menguntungkan. Itu adalah harta yang menguntungkan. Sungguh aku telah mendengar apa yang engkau katakan. Dan kupikir kebun kurma itu sebaiknya engkau berikan kepada kerabatmu.”
Abu Thalhah berkata, “Aku akan segera melakukannya, wahai Rasulullah.”
Lalu Abu Thalhah membagikan kebun kurma itu kepada kerabatnya dan para sepupunya.” (Muttafaq ‘alaih)
Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Ada seseorang dari kalangan Bani Udzrah hendak memerdekakan budak miliknya dengan cara dabar (seorang budak yang dijanjikan merdeka jika majikannya meninggal dunia). Berita itu sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bertanya kepadanya,
أَلَكَ مَالٌ غَيْرُهُ
“Apakah kamu memiliki harta selain budak itu?”
Dia (orang itu) menjawab, “Tidak.”
Beliau bersabda kepada para sahabat,
مَنْ يَشْتَرِيهِ مِنِّي
“Siapakah yang mau membeli budak ini dariku?”
Nu’aim bin Abdillah al-Adawi radhiyallahu ‘anhu membeli budak itu seharga delapan ratus dirham.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerahkan uang hasil penjualan kepada orang itu, lalu bersabda,
ابْدَأْ بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا، فَإِنْ فَضَلَ شَيْءٌ فَلِأَهْلِكَ، فَإِنْ فَضَلَ عَنْ أَهْلِكَ شَيْءٌ فَلِذِي قَرَابَتِكَ، فَإِنْ فَضَلَ عَنْ ذِي قَرَابَتِكَ شَيْءٌ فَهَكَذَا وَهَكَذَا
“Mulailah dengan dirimu sendiri dan bersedekahlah kepadanya. Jika masih ada sisa, maka berikanlah kepada keluargamu. Jika masih ada sisa setelah keluargamu, maka berikanlah kepada kerabatmu. Jika masih ada sisa setelah kerabatmu, maka berikanlah kepada ini dan itu.”
Beliau bersabda,
بَيْنَ يَدَيْكَ وَعَنْ يَمِينِكَ وَعَنْ شِمَالِكَ
“(Tetangga) yang ada di depan rumahmu, di samping kananmu, dan di samping kirimu.” (HR Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan sedekah kepada kerabat lebih besar pahalanya daripada sedekah kepada selain mereka, sebagaimana riwayat dari Salman bin Amir radhiyallahu ‘anhu. Dia menyampaikan hadis ini dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
إِنَّ الصَّدَقَةَ عَلَى الْمِسْكِينِ صَدَقَةٌ، وَعَلَى ذِي الرَّحِمِ اثْنَتَانِ صَدَقَةٌ وَصِلَةٌ
“Sesungguhnya bersedekah kepada orang miskin dihitung sebagai sedekah (saja), sedangkan bersedekah kepada kerabat dihitung sebagai sedekah dan silaturahmi.” (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan hibah (pemberian) seorang budak kepada kerabat lebih besar pahalanya daripada memerdekakannya.
Dari Kuraib, maula Ibnu Abbas, bahwa Maimunah bintu Harits radhiyallahu ‘anha mengabarkan kepadanya bahwa dia memerdekakan seorang budak perempuan dan belum meminta izin kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika tiba hari gilirannya, dia (Maimunah) berkata, “Wahai Rasulullah, apakah engkau tidak tahu bahwa sesungguhnya aku telah memerdekakan budak perempuanku.”
Beliau bersabda,
أَوَفَعَلْتِ
“Apakah engkau benar-benar telah melakukannya?”
Dia (Maimunah) berkata, “Ya.”
Beliau bersabda,
أَمَا، إِنَّكِ لَوْ أَعْطَيْتِهَا أَخْوَالَكِ كَانَ أَعْظَمَ لِأَجْرِكِ
“Tahukah engkau bahwa sesungguhnya jika engkau memberikan budak perempuan itu kepada bibi-bibimu, maka itu akan lebih besar pahalanya bagimu.” (Muttafaq ‘alaih)
Baca juga: PENGERTIAN RAHIM ATAU KEKERABATAN
Baca juga: BERBUAT BAIK KEPADA KEDUA ORANG TUA
Baca juga: KEUTAMAAN BERBUAT BAIK KEPADA KEDUA ORANG TUA
(Dr Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi)