PERINGATAN DARI RAKUS TERHADAP HARTA DAN KEDUDUKAN DUNIA

PERINGATAN DARI RAKUS TERHADAP HARTA DAN KEDUDUKAN DUNIA

Dari Ka’ab bin Malik al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

مَا ذَئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلَا فِيْ غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ

Dua serigala lapar yang dilepas di tengah-tengah kawanan domba tidak lebih merusak daripada ketamakan seseorang akan harta dan kemuliaan.” (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan Ahmad. Disahihkan oleh Syekh al-Albani dalam Shahih al-Jami’)

PENJELASAN

Dalam sabdanya ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahu bahwa ketamakan seseorang pada harta dan kemuliaan membawa kerusakan pada agamanya, sebagaimana dua serigala membawa kerusakan pada sekawanan domba.

Ketamakan mencari harta membawa konsekwensi menyia-nyiakan umur yang tidak ternilai harganya. Sebenarnya umur digunakan untuk mencari akhirat, tetapi dipakai untuk mencari harta yang kadarnya bagi setiap orang sudah ditetapkan. Harta nantinya akan dinikmati oleh orang lain, sedangkan dia sendiri nantinya menghadapi hisabnya.

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Yang dimaksud dengan yakin adalah engkau tidak mengharapkan keridaan manusia dengan (mendapat) kemurkaan Allah Ta’ala, dan engkau tidak memuji seseorang karena dia memperoleh rezeki dari Allah Ta’ala, dan engkau tidak menghina seseorang hanya karena Allah Ta’ala tidak memberikan kepadamu (apa yang diberikan Allah Ta’ala kepada orang itu). Rezeki Allah Ta’ala tidak dianugerahkan oleh keinginan seseorang dan tidak pula tertahan oleh kebencian seseorang. Allah Ta’ala dengan keadilan dan ilmu-Nya menjadikan kelapangan dan kebahagiaan dalam keyakinan dan keridaan dan menjadikan kesedihan dan kekhawatiran dalam keraguan dan kemarahan.”

Jenis kedua dari ketamakan terhadap dunia adalah lebih parah dari jenis pertama. Ia mencari harta dari jalan yang diharamkan dan tidak memenuhi hak yang wajib dipenuhi. Inilah yang disebut dengan syuh (kikir) yang menurut ulama artinya adalah ketamakan yang hebat yang menjadikan seseorang mengambil harta tanpa dasar yang benar dan menahan hak orang lain.

Ayat berikut menjelaskannya:

وَمَنْ يُّوْقَ شُحَّ نَفْسِهٖ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ

Dan barangsiapa dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orangorang yang beruntung.” (QS al-Hasyr: 9)

Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اتَّقُوا الظُّلْمَ، فَإِنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ. وَاتَّقُوا الشُّحَّ، فَإِنَّ الشُّحَّ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ، حَمَلَهُمْ عَلَى أَنْ سَفَكُوا دِمَاءَهُمْ وَاسْتَحَلُّوا مَحَارِمَهُمْ

Takutlah kalian kepada kezaliman, karena sesungguhnya kezaliman adalah kegelapan pada Hari Kiamat. Takutlah kalian kepada kekikiran, karena sesungguhnya kekikiran telah menghancurkan orang-orang sebelum kalian, mendorong mereka menumpahkan darah mereka, dan menghalalkan yang diharamkan Allah.” (HR Muslim)

Perbedaan bakhil dan kikir adalah bahwa bakhil adalah menahan hartanya sendiri dari memberikannya kepada orang lain, sedangkan kikir adalah mengambil harta orang lain secara zalim. Terkadang syuh juga digunakan untuk maksud bakhil. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا يَـجْتَمِعُ الْإِيْمَانُ وَالشُّحُّ فِـيْ قَلْبِ عَبْدٍ أَبَدًا

Tidak akan pernah berkumpul antara keimanan dan kekikiran di hati seorang hamba selama-lamanya.” (Shahih  lighairihi. Diriwayatkan oleh Ahmad, al-Bukhari, an-Nasa-i, al-Baihaqi, Ibnu Hibban, dan al-Hakim)

Selanjutnya, sifat yang lebih merusak adalah mencari kedudukan.

Allah Ta’ala berfirman:

 تِلْكَ الدَّارُ الْاٰخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِيْنَ لَا يُرِيْدُوْنَ عُلُوًّا فِى الْاَرْضِ وَلَا فَسَادًا ۗوَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِيْنَ

Negeri akhirat kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di muka bumi. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS al-Qashash: 83)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Abdurrahman bin Samurah radhiyallahu ‘anhu,

يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ، لَا تَسْأَلْ الْإِمَارَةَ، فَإِنَّكَ إِنْ أُوتِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا، وَإِنْ أُوتِيتَهَا مِنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا

Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta kekuasaan. Jika engkau mendapatkan kekuasaan dengan cara meminta, maka kekuasan itu akan diserahkan sepenuhnya kepadamu (tanpa pertolongan dari Allah). Jika engkau mendapatkan kekuasaan tidak dengan cara meminta, maka engkau akan dibantu (oleh Allah) dalam melaksanakannya.” (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan an-Nasa-i)

Tentu sangat sedikit orang yang dibantu oleh Allah Ta’ala dalam menjalankan kekuasaan. Sebaliknya, sangat banyak orang yang tidak dibantu oleh Allah Ta’ala dalam melaksanakan kekuasaan.

Orang-orang terdahulu berkata, “Tidak mungkin orang yang menginginkan kekuasaan bertindak adil ketika ia berkuasa.”

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

إنَّكُمْ سَتَحْرِصُونَ عَلَى الْإمَارَةِ، وَسَتَكُونُ نَدَامَةً يَوْمَ الْقِيَامَة

Kelak kalian akan sangat menginginkan kekuasaan, padahal kekuasaan akan menjadi penyesalan kelak pada Hari Kiamat.” (HR al-Bukhari)

Apabila keinginan memperoleh kemuliaan hanya agar dapat berkuasa atas manusia dan menampakkan bahwa manusia membutuhkan diriya, itu artinya ia bersaing dengan Allah Ta’ala sebagai tuhan.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

قَالَ الله تَعَلَ: الْعِزُّ إِزَارِي، وَالْكِبْرِيَاءُ رِدَائِي. فَمَنْ يُنَازِعُنِي فِي وَاحِدٍ مِنْهُمَا، فَقَد عَذَّبْتُهُ

Allah Ta’ala berfirman, ‘Kemuliaan adalah pakaian-Ku. Kesombongan adalah selendang-Ku. Barangsiapa menyaingi Aku dalam satu dari dua sifat itu, niscaya Aku menyiksanya.’” (HR Muslim)

Di samping itu, apabila keinginan mencari kedudukan disebabkan ingin dipuji, maka firman Allah Ta’ala berikut menjawabnya:

لَا تَحْسَبَنَّ الَّذِيْنَ يَفْرَحُوْنَ بِمَآ اَتَوْا وَّيُحِبُّوْنَ اَنْ يُّحْمَدُوْا بِمَا لَمْ يَفْعَلُوْا فَلَا تَحْسَبَنَّهُمْ بِمَفَازَةٍ مِّنَ الْعَذَابِۚ وَلَهُمْ عَذَابٌ اَلِيْمٌ

Janganlah sekali-kali kamu mengira bahwa orang yang gembira dengan apa (perbuatan buruk) yang telah mereka kerjakan dan suka dipuji atas perbuatan (yang mereka anggap baik) yang tidak mereka lakukan, kamu jangan sekali-kali mengira bahwa mereka akan lolos dari azab. Mereka akan mendapat azab yang sangat pedih.” (QS Ali Imran: 188)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتْ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ، فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ، فَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ

Janganlah kalian melampaui batas dalam memujiku, sebagaimana orang Nasrani memuji Isa bin Maryam. Sesungguhnya aku hanyalah hamba-Nya. Oleh karena itu, katakanlah ‘Hamba Allah dan utusan-Nya.” (HR al-Bukhari)

Oleh karena itu, para khalifah Rasulullah dan pengikut sesudahnya yang adil berikut para hakimnya tidak mau diri mereka diagungkan. Sebaliknya, mereka mengembalikannya kepada Allah Azza wa Jalla. Di antara mereka yang menjadi hakim berkata, “Aku menjabatnya untuk melakukan amar makruf nahi mungkar.” Hasilnya adalah para nabi dan pengikutnya bersabar terhadap segala gangguan yang mereka dapatkan saat mengajak kaumnya kepada agama Allah Ta’ala.

Selanjutnya, yang lebih parah adalah mencari kekuasaan atas manusia dengan menggunakan agama, padahal tujuan agama adalah untuk mencari keridaan Allah Ta’ala.

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Janganlah kalian mencari ilmu untuk tiga perkara: melecehkan orang bodoh, atau mendebat ulama, atau agar dilihat orang. Berharaplah rida Allah Ta’ala dengan ucapan dan perbuatan, karena hal itu lebih kekal, sedangkan selainnya akan hilang.”

Inilah mengapa mendekati penguasa tidak disukai, karena dapat membuka peluang mendukung kebohongan dan bahkan semua kezaliman mereka, meskipun hanya dengan diam.

Dari Ka’ab bin Ujrah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

إِنَّهَا سَتَكُونُ بَعْدِي أُمَرَاءُ يَكْذِبُونَ وَيَظْلِمُونَ فَمَنْ دَخَلَ عَلَيْهِمْ فَصَدَّقَهُمْ بِكِذْبِهِمْ وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَلَيْسَ مِنِّي وَلَسْتُ مِنْهُ وَلَيْسَ بِوَارِدٍ عَلَيَّ الْحَوْضَ وَمَنْ لَمْ يُصَدِّقْهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَيُعِنْهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَهُوَ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُ وَهُوَ وَارِدٌ عَلَيَّ الْحَوْضَ

Sesungguhnya akan ada setelahku para penguasa yang berbuat dusta dan zalim. Barangsiapa mendatangi mereka kemudian membenarkan kebohongan mereka atau membantu mereka dalam berbuat zalim, maka ia bukan golonganku dan aku bukan golongannya. Ia tidak akan minum dari telagaku. Barangsiapa tidak membenarkan kebohongan mereka dan tidak membantu mereka dalam berbuat zalim, maka ia adalah golonganku dan aku adalah golongannya. Dan kelak ia akan minum dari telagaku.” (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, an-Nasa-i, Ahmad, dan Ibnu Hibban)

Ibnul Mubarak rahimahullah berkata, “Menurut kami, bukanlah yang dimaksud dengan amar makruf dan nahi mungkar pada para pemimpin dengan menemui mereka, melainkan dengan menjauhi mereka.”

Sebenarnya sumber dari hasrat mencari harta dan kekuasaan adalah mengikuti hawa nafsu. Wahab bin Munabbih rahimahullah berkata, “Barangsiapa mengikuti hawa nafsu, ia akan mencintai dunia. Buahnya adalah mencintai harta dan kekuasaan. Barangsiapa mencintai keduanya, ia akan menghalalkan segala yang diharamkan.”

Allah Ta’ala berfirman:

فَاَمَّا مَنْ طَغٰىۖ وَاٰثَرَ الْحَيٰوةَ الدُّنْيَاۙ فَاِنَّ الْجَحِيْمَ هِيَ الْمَأْوٰىۗ وَاَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهٖ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوٰىۙ فَاِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوٰىۗ

Adapun orang yang melampaui batas dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, sesungguhnya Neraka adalah tempat tinggal(nya). Adapun orang yang takut kepada kebesaran Rabb-nya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, sesungguhnya Surga adalah tempat tinggalnya.” (QS an-Nazi’at: 37-41)

Allah Ta’ala juga menjelaskan bahwa di antara penghuni Neraka ada yang memiliki harta dan kekuasaan.

Allah Ta’ala berfirman:

وَاَمَّا مَنْ اُوْتِيَ كِتٰبَهٗ بِشِمَالِهٖ ەۙ فَيَقُوْلُ يٰلَيْتَنِيْ لَمْ اُوْتَ كِتٰبِيَهْۚ وَلَمْ اَدْرِ مَا حِسَابِيَهْۚ يٰلَيْتَهَا كَانَتِ الْقَاضِيَةَۚ مَآ اَغْنٰى عَنِّيْ مَالِيَهْۚ هَلَكَ عَنِّيْ سُلْطٰنِيَهْۚ

Adapun orang yang diberikan kitab dari sebelah kirinya, ia berkata, ‘Duhai, alangkah baiknya sekiranya tidak diberikan kepadaku kitabku (ini). Dan aku tidak mengetahui apa hisab terhadap diriku. Duhai, sekiranya kematian menyelesaikan segalanya. Hartaku sekali-kali tidak memberi manfaat kepadaku. Telah hilang kekuasaan dariku.” (QS al-Haqqah: 25-29)

Cinta kepada ketinggian (baik dengan harta maupun kekuasaan) membuahkan kesombongan dan kedengkian. Tetapi orang yang sehat akalnya bersaing pada kedudukan tinggi yang kekal di akhirat dan membenci kedudukan tinggi di dunia yang menyebabkan kemurkaan Allah. Untuk hal ini Allah Ta’ala berfirman:

وَفِيْ ذٰلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنٰفِسُوْنَ

Dan untuk (mendapatkan) yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba.” (QS al-Muthaffifiin: 26)

Wuhaib bin al-Warid berkata, “Jika engkau mampu mengalahkan setiap orang yang dapat mendahuluimu kepada keridaan Allah, maka lakukanlah.”

Dengan demikian seyogyanya seseorang tidak merasa cukup dengan apa yang sudah dilakukannya, padahal sebenarnya dia mampu lebih dari itu.

Cara mengobati penyakit cinta kekuasaan adalah dengan melihat akibat di dunia yang menimpa orang-orang yang tidak berniat mencari akhirat dengan kekuasaan, dan dengan melihat kepada orang-orang yang merendahkan diri kepada Allah Ta’ala di dunia. Allah Ta’ala menganugerahkan kepada orang-orang yang menjauhi harta dan kekuasaan kharisma yang tampak pada diri mereka serta nikmat iman dan ketaatan yang tertanam di hati mereka. Itulah kehidupan yang baik yang dijanjikan Allah Ta’ala kepada siapa saja yang beramal saleh yang tidak dirasakan oleh para penguasa.

Muhammad bin Wasi’ berkata, “Jika seorang hamba menghadapkan hatinya kepada Allah, maka Allah Ta’ala akan menghadapkan hati orang-orang beriman kepadanya.”

Kepada orang-orang yang menyibukkan diri dengan mencari keridaan-Nya, Allah Ta’ala memberikan tempat di hati seluruh makhluk-Nya, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

اِنَّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ سَيَجْعَلُ لَهُمُ الرَّحْمٰنُ وُدًّا

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah yang Mahapemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang.” (QS Maryam: 96)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى إِذَا أَحَبَّ عَبْدًا نَادَى جِبْرِيلَ: إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَبَّ فُلَانًا فَأَحِبَّهُ، فَيُحِبُّهُ جِبْرِيلُ، ثُمَّ يُنَادِي جِبْرِيلُ فِي السَّمَاءِ: إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَبَّ فُلَانًا فَأَحِبُّوهُ، فَيُحِبُّهُ أَهْلُ السَّمَاءِ وَيُوضَعُ لَهُ الْقَبُولُ فِي أَهْلِ الْأَرْضِ

Jika Allah Tabaraka wa Ta’ala mencintai seseorang, Dia memanggil Jibril, ‘Sesungguhnya Allah mencintai fulan, maka cintailah dia.’ Jibril pun mencintainya. Kemudian Jibril memanggil seluruh penghuni langit seraya berseru, ‘Sesungguhnya Allah mencintai fulan, maka cintailah dia.’ Penghuni langit pun mencintainya dan orang tersebut diterima oleh penduduk bumi.” (HR al-Bukhari)

Baca juga: JABATAN ADALAH PENYESALAN DI HARI KIAMAT

Baca juga: KEZALIMAN DAN JENIS-JENISNYA

Baca juga: KEZALlMAN PEMIMPIN ATAS RAKYATNYA ADALAH DOSA BESAR

(Syekh Abu Ubaidah Usamah bin Muhammad al-Jamal)

Serba-Serbi