PENGARUH RAGU-RAGU DALAM TAHARAH

PENGARUH RAGU-RAGU DALAM TAHARAH

Ragu-ragu dalam taharah terdiri dari ragu-ragu dalam keberadaan taharah dan ragu-ragu dalam perbuatan taharah.

Ragu-ragu dalam Keberadaan Taharah

Ragu-ragu dalam keberadaan taharah terdiri dari dua keadaan:

1. Ragu-ragu dalam keberadaan taharah setelah jelasnya hadas

Ragu-ragu dalam keadaan ini dijelaskan dengan contoh berikut. Wudu seseorang batal pada jam sepuluh. Di waktu Zuhur ia ragu-ragu, apakah ia sudah berwudu atau belum. Dalam keadaan demikian, kita katakan kepadanya agar ia kembali kepada asalnya, yaitu jika ia belum berwudu, maka berarti ia belum berwudu.

2. Ragu-ragu dalam hilangnya taharah setelah jelasnya kesucian

Seseorang berwudu pada jam sepuluh. Ketika waktu zuhur tiba, ia ragu-ragu, apakah wudunya telah batal atau belum. Delam keadaan demikian, kita katakan kepadanya bahwa ia masih mempunyai wudu. Ia tidak harus berwudu. Hal itu karena asalnya ia dalam keadaan suci. Sebagai penguat akan hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang yang menjumpai sesuatu dalam perutnya. Ia ragu apakah sesuatu itu telah keluar atau belum. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا يَخْرُجَنَّ مِنَ اَلْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا

Janganlah dia keluar dari masjid sampai mendengar suara atau mencium bau.” (HR Muslim)

Ragu-ragu dalam Perbuatan Taharah

Keragu-raguan juga terjadi dalam perbuatan atau sebagian perbuatan taharah, seperti seseorang ragu-ragu apakah ia telah membasuh wajahnya atau belum dalam berwudu; apakah telah membasuh kedua tangannya atau belum. Terkait hal ini terdapat empat keadaan:

1. Ragu-ragu

Seseorang terlintas dalam hatinya, apakah ia telah membasuh kedua tangannya atau belum. Ia bimbang dan tidak dapat menentukan mana yang kuat. Ia pun tidak dapat menyamakan kedua perkara itu. Perkara itu sekadar sesuatu yang melintas dalam hatinya saja. Dalam keadaan demikian, ia jangan menganggapnya dan jangan berpaling kepadanya.

2. Banyak keragu-raguan

Seseorang mengalami banyak keragu-raguan setiap kali berwudu. Ketika sedang membasuh kedua kakinya, ia ragu-ragu apakah telah mengusap kepalanya atau belum; apakah telah mengusap kedua telinganya atau belum; apakah telah membasuh kedua tangannya atau belum; dan banyak keraguan lainnya. Dalam keadaan demikian, ia jangan menganggapnya dan jangan berpaling kepadanya.

3. Ragu-ragu setelah berwudu

Keragu-raguan seseorang timbul selesai berwudu, apakah ia telah membasuh kedua tangannya atau belum; apakah telah mengusap kepalanya atau belum; apakah telah mengusap kedua telinganya atau belum. Dalam keadaan demikian, ia jangan berpaling kepada keraguan, kecuali yakin bahwa ia belum membasuh anggota yang diragukan itu. Jika ia yakin demikian, maka ia kembali kepada apa yang ia yakini.

4. Ragu-ragu yang hakiki

Keadaan keempat adalah ragu-ragu yang sebenarnya (hakiki), bukan banyak keragu-raguan atau ragu-ragu setelah berwudu. Dalam keadaan demikian, seseorang wajib kembali kepada apa yang ia yakini, yaitu belum melakukan hal tersebut. Maksudnya, ia belum membasuh atau mengusap anggota wudu yang ia ragukan. Ia kembali kepadanya, kemudian membasuh atau mengusap apa yang harus dibasuh atau diusap setelahnya.

Contoh: Ketika sedang  mengusap kepalanya, ia ragu-ragu, apakah sudah berkumur-kumur dan beristinsyaq atau belum? Ini bukan banyak keragu-raguan, melainkan keragu-raguan yang sebenarnya. Ini bukan sekadar wahm.

Dalam keadaan demikian, kita katakan kepada orang itu untuk mengulangi berkumur-kumur dan beristinsyaq, lalu membasuh kedua tangannya, lalu mengusap kepalanya. Ia wajib membasuh kedua tangannya secara berurutan, karena berurutan di antara anggota wudu adalah wajib, sebagaimana Allah menyebutkannya ‘secara tertib’. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika menghadap ke bukit Shafa,

نَبْدَأُ بِمَا بَدَأَ اللَّهُ بِهِ

Kita mulai dengan apa yang Allah mulai.” (HR at-Tirmidzi, an-Nasa-i, dan Malik)

Baca juga: HAKIKAT TAHARAH

Baca juga: BEBERAPA KESALAHAN DALAM BERWUDU

Baca juga: CUKUPKAH ISTIJMAR DENGAN MENGGUNAKAN SAPU TANGAN?

(Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)

Fikih