HAKIKAT TAHARAH

HAKIKAT TAHARAH

Taharah berarti bersih dan suci. Dalam syariat taharah terdiri dari dua jenis, yaitu taharah maknawi dan taharah hissi (indrawi).

Taharah Maknawi

Taharah maknawi adalah taharah (bersihnya) hati dari kesyirikan dan bidah dalam beribadah kepada Allah Ta’ala, serta dari rasa dengki, dendam, hasad, benci, ketidaksenangan dan yang semisalnya ketika bergaul dengan sesama manusia yang tidak berhak mendapatkan hal tersebut.

Taharah maknawi dari kesyirikan dan bidah pada apa-apa yang berkaitan dengan hak-hak Allah merupakan taharah terbesar dari kedua taharah tersebut. Oleh karena itu, seluruh ibadah dibangun di atasnya sehingga tidak benar ibadah seseorang yang mencampuri hatinya dengan kesyirikan, dan tidak benar seseorang melakukan suatu bidah untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Bidah termasuk perkara-perkara yang tidak disyariatkan oleh Allah Ta’ala.

Allah Ta’ala berfirman:

وَمَا مَنَعَهُمْ اَنْ تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقٰتُهُمْ اِلَّآ اَنَّهُمْ كَفَرُوْا بِاللّٰهِ وَبِرَسُوْلِهٖ

Tiadalah yang menghalangi untuk menerima nafkah mereka melainkan karena mereka kafir terhadap Allah dan Rasul-Nya.” (QS at-Taubah: 54)

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا، فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa mengerjakan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya, (maka dia) tertolak.” (HR Muslim)

Oleh karena itu, orang yang melakukan kesyirikan kepada Allah Ta’ala dengan kesyirikan yang besar, ibadahnya tidak diterima walaupun dia mendirikan salat, mengerjakan puasa, menunaikan zakat dan berhaji.

Barangsiapa menyeru kepada selain Allah Ta’ala atau beribadah kepada selain Allah Ta’ala, maka ibadahnya kepada Allah Ta’ala tidak diterima. Bahkan walaupun dia beribadah kepada Allah Ta’ala dengan suatu ibadah yang dia mengikhlaskan ibadah itu untuk Allah, ibadahnya tidak akan diterima selama dia melakukan kesyirikan kepada Allah dengan syirik akbar dari sisi yang lain. Oleh karena itu, Allah Ta’ala menyifati orang-orang musyrik dengan najis.

Allah Ta’ala berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّمَا الْمُشْرِكُوْنَ نَجَسٌ فَلَا يَقْرَبُوا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هٰذَا

Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis. Maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram setelah tahun ini.” (QS at-Taubah: 28)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menafikan najis dari seorang mukmin.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الْمُؤْمِنَ لَا يَنْجُسُ

Sesungguhnya seorang mukmin itu tidaklah najis.” (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa-i, dan Ibnu Majah)

Inilah yang harus dilakukan oleh seorang mukmin, yaitu memberikan perhatian besar dalam menyucikan hatinya dari perkara-perkara tersebut.

Demikian pula, dia membersihkan hatinya dari dengki, dendam, hasad, benci, ketidaksenangan kepada orang-orang yang beriman, karena seluruh sifat itu adalah sifat-sifat tercela, bukan akhlak seorang mukmin. Seorang mukmin adalah saudara bagi mukmin yang lain. Dia tidak membencinya, tidak melampaui batas kepadanya dan tidak hasad kepadanya, bahkan dia menginginkan kebaikan bagi saudaranya sebagaimana dia menginginkan kebaikan itu bagi diri sendiri.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menafikan kesempurnaan iman dari orang yang tidak mencintai bagi saudaranya apa-apa yang dia cintai untuk dirinya sendiri. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

Tidaklah (sempurna) iman salah seorang dari kalian sampai dia mencintai untuk saudaranya apa-apa yang dia cintai untuk dirinya sendiri.” (HR al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, an-Nasa-i, Ibnu Majah, dan Ahmad)

Kami melihat kebanyakan manusia yang memiliki kebaikan, ibadah, ketakwaan, zuhud dan sering ke masjid untuk memakmurkannya dengan membaca al-Qur’an, zikir dan salat masih memiliki rasa dengki kepada sebagian saudara semuslim, atau hasad kepada orang yang Allah telah berikan kenikmatan kepadanya dengan suatu nikmat. Hal ini membuat cacat pada sebagian besar ibadah kepada Allah yang mereka kerjakan. Maka wajib bagi kita untuk menyucikan hati dari kotoran-kotoran berhubungan dengan saudara semuslim.

Taharan Indrawi

Taharah indrawi adalah taharah badan. Taharah ini terbagi menjadi dua, yaitu menghilangkan sifat yang menghalangi dari salat dan ibadah yang semisalnya dari perkara-perkara yang dipersyaratkan taharah padanya (taharah dari hadas), dan menghilangkan najis (taharah dari khabats).

Adapun menghilangkan sifat, yaitu mengangkat hadas ashghar (kecil) dan hadas akbar (besar), dengan mencuci anggota wudu yang empat dalam mengangkat hadas ashghar, dan mencuci seluruh badan dalam mengangkat hadas akbar; apakah dengan air bagi orang yang mampu menggunakan air, atau dengan tayamum bagi orang yang tidak mampu menggunakan air.

Dalam perkara ini Allah Ta’ala berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلٰوةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْا بِرُءُوْسِكُمْ وَاَرْجُلَكُمْ اِلَى الْكَعْبَيْنِۗ وَاِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوْاۗ وَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ مِّنْهُ ۗمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِّنْ حَرَجٍ وَّلٰكِنْ يُّرِيْدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهٗ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ

Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian berdiri untuk salat, maka basuhlah wajah-wajah kalian dan tangan-tangan kalian hingga siku, dan usaplah kepala-kepala kalian, dan (basuhlah) kaki-kaki kalian hingga mata kaki. Jika kalian junub (bersetubuh), hendaklah kalian mandi. Jika kalian sakit atau dalam perjalanan atau salah seorang dari kalian datang dari buang air atau kalian menyentuh perempuan kemudian kalian tidak mendapatkan air, maka bertayamumlah dengan menggunakan tanah yang suci. Usaplah wajah-wajah kalian dan tangan-tangan kalian dengan (tanah) itu. Allah tidak menghendaki untuk mengadakan kesempitan bagi kalian, tetapi menghendaki untuk menyucikan kalian dan menyempurnakan nikmat-Nya kepada kalian. Mudah-mudahan kalian bersyukur.” (QS al-Ma-idah: 6)

Adapun jenis kedua, taharah dari khabats, adalah taharah dari najis. Najis adalah setiap jenis yang syariat mewajibkan bagi hamba untuk menyucikan diri darinya dan bertaharah darinya, seperti kencing, tinja dan semisalnya dari perkara-perkara yang syariat menunjukkan kenajisannya. Oleh karena itu, para fukaha rahimahumullah berkata, “Taharah adalah membersihkan diri dari hadas atau dari khabats.”

Dalil yang menunjukkan taharah dari khabats adalah apa yang diriwayatkan oleh pengarang kitab-kitab sunan bahwa pada suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam salat mengimami para sahabat. Beliau melepas kedua sandalnya. Para sahabat ikut melepas sandal-sandal mereka.

Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai salat, beliau menanyakan para sahabat alasan mereka melepas sandal-sandal mereka.

Mereka menjawab, “Kami melihat engkau melepas sandalmu, maka kami pun melepas sandal-sandal kami.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,

إِنَّ جِبْرِيلَ أَتَانِي. فَأَخْبَرَنِي أَنَّ فِيهِمَا قَذَرًا أَوْ أَذًى

Sesungguhnya Jibril tadi mendatangiku. Dia mengabarkan kepadaku bahwa pada keduanya terdapat kotoran atau najis.” (HR Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan al-Hakim. al-Hakim berkata, “Hadis ini shahih menurut syarat al-Bukhari)

Yang dimaksud kotoran pada hadis di atas adalah kotoran manusia. Maka inilah pembicaraan tentang lafaz taharah.

Asal yang Digunakan dalam Bertaharah

Asal taharah dari hadas adalah penggunaan air. Tidak ada taharah kecuali dengan menggunakan air. Sama saja apakah air tersebut bersih atau telah berubah sifat (bau, rasa, warna) karena sesuatu yang suci. Ini berdasarkan pendapat yang benar bahwa air, jika ketiga sifatnya berubah disebabkan sesuatu yang suci dan tetap dinamakan air, maka kesuciannya tidak hilang, bahkan ia suci lagi menyucikan. Suci pada zatnya serta menyucikan bagi selainnya.

Jika air tidak diperoleh atau pemakaian air khawatir membahayakan dirinya, maka seseorang berpindah dari penggunaan air ke tayamum. Caranya adalah dengan menepukkan kedua telapak tangan ke tanah, kemudian mengusap wajah dengan kedua telapak tangan dan mengusapkan tangan yang satu ke tangan yang lain hingga pergelangan tangan. Ini berkaitan dengan taharah dari hadats.

Adapun taharah dari khabats (najis), maka apa saja yang bisa menghilangkan khabats, baik berupa air atau yang lainnya, maka taharah tersebut telah terjadi (mencukupi). Hal itu karena taharah dari najis bertujuan menghilangkan zat najis dengan penghilang apapun. Jika air, bensin, atau benda-benda cair lainnya, atau benda padat dapat menghilangkan najis secara sempurna, maka benda-benda itu menjadi penyuci baginya. Dengan demikian, kita mengetahui perbedaan antara apa yang dihasilkan oleh penyucian pada khabats dan yang dihasilkan oleh penyucian pada hadas.

Tidak ada tayammum pada bersuci dari najis. Sama saja apakah najis pada badan, pakaian, atau tempat, karena maksud dari bersuci dari najis adalah menghilangkan zat najis tersebut, dan ta’abbud (penghambaan) bukanlah syarat padanya. Oleh karena itu, jika zat najis hilang dari seseorang tanpa sengaja, maka menjadi sucilah bagian yang terkena najis tersebut.

Seandainya hujan turun di atas tempat yang terkena najis atau di atas baju yang terkena najis, kemudian najis itu hilang disebabkan hujan tersebut, maka bagian yang terkena najis tadi menjadi suci dengan sebab air hujan, walaupun seseorang tidak mengetahuinya. Berbeda halnya dengan bersuci dari hadas, karena ia adalah ibadah yang seseorang mendekatkan diri dengannya kepada Allah. Maka orang itu harus memiliki niat dan maksud untuk melakukannya.

Apabila seseorang terkena najis dan dia tidak mampu menghilangkannya, maka dia salat sesuai dengan keadaannya. Akan tetapi, dia memperingan najis tersebut dengan apa yang memungkinkan baginya, entah dengan mengerik atau semisalnya. Jika najis itu ada pada baju, dan memungkinkan baginya untuk melepaskannya dan menutup dirinya dengan baju yang lain, maka wajib baginya untuk melepas bajunya dan menutup diri dengan baju yang lain.

Baca juga: AKIDAH ISLAM

Baca juga: MACAM-MACAM SYIRIK BESAR

Baca juga: SIFAT WUDU NABI

Baca juga: KEUTAMAAN WUDU DAN KEISTIMEWAAN UMAT ISLAM

Baca juga: HASAD ADALAH SIFAT YANG TERCELA DAN MEMBAHAYAKAN

(Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)

Akidah Fikih