MEMINTA-MINTA YANG DIPERBOLEHKAN

MEMINTA-MINTA YANG DIPERBOLEHKAN

Pada dasarnya meminta-minta adalah perbuatan haram, karena mengandung unsur mengeluh kepada selain Allah Ta’ala. Di dalamnya terkandung makna meremehkan nikmat yang dikaruniakan Allah kepada hamba-Nya. Namun meminta-minta diperbolehkan apabila ada tuntutan atau kebutuhan yang mendesak. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan kepada kita tentang meminta-minta yang diperbolehkan.

Dari Qubaishah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَا قَبِيْصَةُ، إِنَّ الْـمَسْأَلَةَ لَا تَحِلُّ إِلَّا لِأَحَدِ ثَلَاثَةٍ: رَجُلٍ تَحَمَّلَ حَمَالَةً فَحَلَّتْ لَهُ الْـمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيْبَهَا، ثُمَّ يُمْسِكُ. وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ اجْتَاحَتْ مَالَهُ فَحَلَّتْ لَهُ الْـمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيْبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ – أَوْ قَالَ: سِدَادً مِنْ عَيْشٍ. وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ حَتَّى يَقُوْمَ ثَلَاثَةٌ مِنْ ذَوِي الْحِجَا مِنْ قَوْمِهِ: لَقَدْ أَصَابَتْ فُلَانًا فَاقَةٌ. فَحَلَّتْ لَهُ الْـمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيْبَ قِوَامًا مِنْ عَيْش ٍ –أَوْ قَالَ: سِدَادً مِنْ عَيْشٍ. فَمَا سِوَاهُنَّ مِنَ الْـمَسْأَلَةِ، يَا قَبِيْصَةُ، سُحْتًا. يَأْكُلُهَا صَاحِبُهَا سُحْتًا

Wahai Qabishah, sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal kecuali bagi salah satu dari tiga golongan: (1) Orang yang menanggung beban utang orang lain. Ia boleh meminta-minta sampai ia melunasinya, lalu berhenti darinya. (2) Dan orang yang tertimpa musibah yang meludeskan hartanya. Ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sesuatu yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. (3) Dan orang yang ditimpa kemiskinan hingga tiga orang yang berakal dari kaumnya berkata, ‘Si Fulan telah ditimpa kemiskinan. Ia boleh meminta-minta sampai mendapatkan sesuatu yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Adapun meminta-minta selain oleh ketiga golongan itu, wahai Qabishah, adalah haram. Orang yang memakannya berarti memakan yang haram.” (HR Muslim, Abu Dawud, Ahmad, dan an-Nasa-i)

Hadis ini menunjukkan bahwa meminta-minta adalah haram, kecuali bagi tiga kelompok, yaitu:

1. Orang yang menanggung beban hutang orang lain

Meminta-minta diperbolehkan bagi orang yang menanggung beban hutang orang lain, baik berupa diyat, yaitu harta yang wajib dikeluarkan karena tindakan pidana dan diberikan kepada korban atau keluarganya, maupun hutang untuk mendamaikan permusuhan, seperti mendamaikan dua kabilah yang bersengketa. Orang ini boleh meminta-minta walaupun ia orang kaya. Setelah hutangnya lunas, ia berhenti dari meminta-minta.

2. Orang yang tertimpa musibah yang meludeskan hartanya

Meminta-minta diperbolehkan bagi orang yang tertimpa musibah yang meludeskan hartanya atau tertimpa paceklik atau gagal panen total. Ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sesuatu yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.

3. Orang yang ditimpa kemiskinan

Meminta-minta diperbolehkan bagi orang yang ditimpa kemiskinan. Apabila tiga orang yang berakal dari kaumnya bersaksi bahwa ia miskin, maka ia boleh meminta-minta sampai mendapatkan sesuatu yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.

Dari Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْـمَسْأَلَةُ كَدٌّ يَكُدُّ بِهَا الرَّجُلُ وَجْهَهُ، إِلَّا أَنْ يَسْأَلَ الرَّجُلُ سُلْطَانًا، أَوْ فِيْ أَمْرٍ لَا بُدَّ مِنْهُ

Meminta-minta adalah cakaran seseorang terhadap wajah sendiri, kecuali meminta kepada penguasa atau karena suatu hal yang amat perlu.” (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, Abu Dawud, an-Nasa-i, Ahmad, Ibnu Hibban, ath-Thabrani, dan Abu Nu’aim)

ash-Shan’ani rahimahullah berkata, “Adapun meminta kebutuhan kepada penguasa, maka hal itu tidak tercela, karena ia meminta haknya sendiri dari baitul mal (kas negara). Seorang penguasa tidak boleh menyebut-nyebut pemberiannya kepada orang yang meminta, karena ia wakil rakyat. Kedudukannya sama seperti orang yang meminta kepada wakilnya agar ia mengembalikan hak yang masih berada di tangannya.”

ash-Shan’ani juga berkata, “Secara zahir hadis di atas menunjukkan bahwa meminta-minta diharamkan kecuali bagi tiga orang yang disebutkan di dalam hadis Qubaishah, atau meminta-minta kepada penguasa.”

Namun, seseorang tidak boleh terlalu sering meminta kepada penguasa. Hal ini berdasarkan hadis Hakim bin Hizaam radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: Aku meminta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau memberiku. Kemudian aku minta lagi, dan beliau memberiku. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَا حَكِيمُ، إِنَّ هَذَا الْمَالَ خَضِرَةٌ حُلْوَةٌ. فَمَنْ أَخَذَهُ بِسَخَاوَةِ نَفْسٍ، بُورِكَ لَهُ فِيهِ. وَمَنْ أَخَذَهُ بِإِشْرَافِ نَفْسٍ، لَمْ يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ، كَالَّذِي يَأْكُلُ وَلَا يَشْبَعُ. الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنْ الْيَدِ السُّفْلَى

Wahai Hakim, sesungguhnya harta itu hijau lagi manis. Barangsiapa mengambilnya dengan berlapang hati, maka harta itu akan memberkahinya. Namun barangsiapa mengambilnya dengan keserakahan (mengharap-harap harta), maka harta itu tidak akan memberkahinya, seperti orang yang makan tapi tidak kenyang. Tangan yang di atas (memberi) lebih baik daripada tangan yang di bawah (meminta).”

Hakim berkata, “Wahai Rasulullah, demi Zat yang mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak akan meminta kepada seorang pun setelahmu hingga aku meninggal dunia.”

Ketika Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu menjadi khalifah, ia memanggil Hakim untuk diberi sesuatu yang berhak ia terima, namun Hakim tidak mau menerimanya karena ia telah berjanji kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika Umar menjadi khalifah, ia pun memanggilnya untuk diberi sesuatu, namun Hakim tidak mau menerimanya. Umar berkata di hadapan para sahabat, “Wahai kaum muslimin, aku mempersaksikan kepada kalian tentang Hakim bin Hizam bahwa sesungguhnya aku telah menawarkan haknya dari harta rampasan perang ini, tetapi dia tidak mau menerimanya.”

Dan Hakim tidak pernah meminta dari seorang pun setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga Allah mewafatkannya.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Baca juga: LARANGAN MEMINTA-MINTA

Baca juga: HUKUM RAHN (GADAI)

Baca juga: MIMPI MELIHAT ORANG YANG SUDAH MENINGGAL DUNIA

(Dr Amin bin ‘Abdullah asy-Syaqawi)

Kelembutan Hati