HUKUM MAKAN DENGAN MENGGUNAKAN WADAH KAUM AHLI KITAB

HUKUM MAKAN DENGAN MENGGUNAKAN WADAH KAUM AHLI KITAB

24. Dari Abu Ts’alabah al-Khusyani radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Aku berkata, “Wahai Rasulullah, kami berada di negeri kaum Ahli Kitab, bolehkah kami makan di wadah-wadah mereka?”

Beliau menjawab,

لَا تَأْكُلُوا فِيهَا إِلَّا أَنْ لَا تَجِدُوا غَيْرَهَا، فَاغْسِلُوهَا وَكُلُوا فِيهَا

Janganlah kalian makan di dalamnya kecuali jika kalian tidak menemukan selainnya. Maka cucilah dan makanlah di dalamnya.” (Muttafaq ‘alaih)

25. Dari Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya berwudhu dari kantong air milik seorang perempuan musyrik. (Muttafaq ‘alaih) dalam hadis yang panjang.

26. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwa cangkir Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pecah, maka beliau mengganti bagian yang pecah tersebut dengan pengikat dari perak. (Diriwayatkan oleh al-Bukhari)

PENJELASAN

Penulis rahimahullah menyebutkan hadis-hadis yang diriwayatkan dalam bab tentang wadah, dari Abu Ts’alabah al-Khusyani radhiyallahu ‘anhu. Ia berkata: Aku berkata, “Wahai Rasulullah, kami berada di negeri kaum Ahli Kitab, bolehkah kami makan di wadah-wadah mereka?” Beliau menjawab, “Janganlah kalian makan di dalamnya kecuali jika kalian tidak menemukan selainnya. Maka cucilah dan makanlah di dalamnya.”

Ahli Kitab adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani. Mereka disebut demikian karena Allah Ta’ala menurunkan kepada mereka dua kitab: Taurat kepada Musa ‘alaihissalam dan Injil kepada Isa ‘alaihissalam. Taurat adalah induk (pokok) dari kitab-kitab lainnya, dan Injil merupakan cabang darinya. Oleh karena itu, di dalam Injil tidak terdapat banyak syariat tambahan yang berbeda dari Taurat. Ahli Kitab memiliki hukum-hukum khusus yang membedakan mereka dari orang-orang kafir lainnya.

Di antaranya adalah bahwa sembelihan mereka (Ahli Kitab) halal. Jika seorang Yahudi menyembelih hewan, sembelihannya halal sebagaimana jika disembelih oleh seorang muslim sepenuhnya dan tidak makruh. Bahkan, seseorang dapat memakan sembelihan tersebut sebagaimana ia memakan sembelihan seorang muslim. Demikian pula dengan seorang Nasrani; jika ia menyembelih, sembelihannya halal sebagaimana halalnya sembelihan seorang muslim. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala:

يَسْـَٔلُونَكَ مَاذَآ أُحِلَّ لَهُمْ ۖ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ ٱلطَّيِّبَٰتُ ۙ وَمَا عَلَّمْتُم مِّنَ ٱلْجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَ

Mereka bertanya kepadamu, ‘Apa yang dihalalkan bagi mereka?’ Katakanlah: ‘Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap oleh) binatang buas yang telah kamu latih dengan mengajarkannya sebagaimana yang telah diajarkan Allah kepadamu.’” (QS al-Ma’idah: 4)

hingga firman-Nya:

وَطَعَامُ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْكِتَٰبَ حِلٌّ لَّكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَّهُمْ

Dan makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi kitab itu halal bagi kalian, dan makanan kalian halal bagi mereka.” (QS al-Ma’idah: 5)

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Makanan mereka adalah sembelihan mereka.”

Hal ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menerima hadiah berupa seekor kambing dari seorang perempuan Yahudi di Khaibar, lalu beliau memakannya. Selain itu, seorang laki-laki Yahudi di Madinah pernah mengundang beliau untuk makan roti gandum kasar dan lemak yang sudah tidak segar. al-Ihalah adalah lemak, sedangkan as-sanikhah merujuk pada sesuatu yang baunya telah berubah. Dari peristiwa ini, dapat disimpulkan bahwa sembelihan orang Yahudi dan Nasrani adalah halal.

Demikian pula, perempuan-perempuan Yahudi dan Nasrani halal bagi kaum muslimin, sehingga seorang laki-laki muslim diperbolehkan menikahi perempuan Yahudi atau Nasrani. Adapun seorang laki-laki Yahudi atau Nasrani, tidak diperbolehkan menikahi perempuan muslimah, karena perempuan muslimah tidak halal bagi orang kafir dalam keadaan apa pun.

Diceritakan bahwa sebagian orang Nasrani pernah berkata kepada seorang muslim, “Bagaimana mungkin kalian diperbolehkan menikahi perempuan-perempuan kami, sedangkan kami tidak diperbolehkan menikahi perempuan-perempuan kalian? Ini tidak adil.” Menurut anggapan mereka, keadilan adalah jika kaum muslimin diizinkan menikahi perempuan-perempuan mereka, maka mereka juga seharusnya diizinkan menikahi perempuan-perempuan muslimah.

Orang muslim itu menjawab, “Ya, kami menikahi perempuan-perempuan kalian karena kami beriman kepada Rasul kami dan juga kepada Rasul kalian. Adapun kalian, kalian hanya beriman kepada Rasul kalian tetapi tidak beriman kepada Rasul kami. Oleh karena itu, ada perbedaan di antara kita.” Mendengar jawaban tersebut, mereka pun terdiam dan tidak dapat membantah.

Ini adalah salah satu hukum yang berlaku bagi Yahudi dan Nasrani, yaitu perempuan-perempuan mereka halal bagi kaum muslimin, sedangkan perempuan-perempuan muslimah tidak halal bagi Ahli Kitab.

Demikian pula, perjanjian dzimmah diberlakukan untuk Ahli Kitab, yang berarti kita membiarkan mereka untuk tinggal bersama kita di negeri kita. Mereka membayar jizyah, sementara kita melindungi mereka dari segala hal yang juga kita lindungi keluarga kita darinya. Selain itu, kita membela mereka dan tidak mengizinkan siapa pun untuk menyerang mereka.

Jika ada yang bertanya, “Apakah hal itu juga berlaku bagi seluruh orang kafir?”

Kami katakan: Dalam hal ini terdapat dua pendapat di kalangan ulama, dan pendapat yang lebih kuat adalah bahwa semua orang kafir diperlakukan sama dalam perjanjian dzimmah, sebagaimana mereka juga diperlakukan sama dalam perjanjian damai. Oleh karena itu, diperbolehkan membuat perjanjian dengan orang-orang kafir jika terdapat kebutuhan untuk itu. Orang yang berada dalam perjanjian tersebut dilindungi darah dan hartanya, dan menyerangnya adalah haram.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرَحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ

Barang siapa membunuh orang yang berada dalam perjanjian, maka ia tidak akan mencium bau Surga.” (HR al-Bukhari) Wal ‘iyadzubillah.

Adapun mengenai wadah milik orang kafir, apakah halal bagi kita atau tidak? Abu Ts’alabah al-Khusyani radhiyallahu ‘anhu pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hal ini. Ia berkata, “Apakah kami boleh makan menggunakan wadah mereka?” Maksudnya adalah panci, piring, dan yang semisalnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Janganlah kalian makan di dalamnya, kecuali jika kalian tidak menemukan selainnya. Maka cucilah dan makanlah di dalamnya.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang penggunaan wadah mereka bukan karena najisnya. Jika wadah itu najis, cukup dengan mencucinya maka alasan pelarangan sudah hilang. Namun, larangan ini bertujuan untuk mencegah kita terlalu sering berbaur dengan mereka. Jika kita terbiasa makan menggunakan wadah mereka dan mereka menggunakan wadah kita, maka kita akan menjadi seperti bercampur.

Seseorang diwajibkan untuk menjaga jarak sejauh mungkin dari pergaulan dengan orang-orang kafir, karena mereka dapat membawa pengaruh buruk. Tidak seharusnya seseorang terlalu sering duduk bersama mereka atau bergaul dengan mereka, kecuali jika terdapat kebutuhan mendesak atau keadaan darurat yang mengharuskannya.

Dari hadis ini, kita memahami bahwa tidak diperbolehkan makan menggunakan wadah orang kafir, kecuali jika tidak ada pilihan lain. Dalam keadaan demikian, wadah tersebut harus dicuci terlebih dahulu sebelum digunakan, sebagaimana yang diperintahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Disebutkan dalam sebuah hadis dari Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya pernah berwudhu dari mizadah milik seorang perempuan musyrik. Mizadah adalah wadah besar untuk menyimpan air, terbuat dari dua lembar kulit yang dijahit menjadi satu. Kejadian ini terjadi dalam sebuah peristiwa unik ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat kehabisan air.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus dua orang, salah satunya adalah Ali bin Abi Thalib, untuk mencari air. Keduanya menemukan seorang perempuan yang membawa mizadah berisi air, lalu mereka bertanya tentang air tersebut. Perempuan itu menjawab, “Aku terakhir kali melihat air ini kemarin pada waktu yang sama.” Mereka merasa mustahil air itu cukup untuk memenuhi kebutuhan rombongan besar. Namun, mereka memintanya untuk menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Setelah perempuan itu datang, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menurunkan mizadah dari untanya dan memerintahkan para sahabatnya yang jumlahnya banyak untuk minum darinya, termasuk memberi minum unta-unta mereka. Ajaibnya, mereka semua minum hingga merasa puas, sementara isi mizadah itu tidak berkurang sedikit pun.

Sebagai balasan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan makanan dan kurma kepada perempuan tersebut. Ia kembali kepada kaumnya dalam keadaan takjub atas peristiwa luar biasa yang baru saja ia alami.

Perempuan itu berkata kepada kaumnya, “Aku baru saja bertemu dengan orang yang paling hebat dalam menyihir manusia, atau dia seorang Nabi.” Maksudnya, ia bingung apakah orang tersebut adalah seorang penyihir atau benar-benar seorang Nabi, karena kejadian seperti itu tidak pernah ia alami sebelumnya.

Yang penting dari peristiwa ini adalah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya berwudhu dari mizadah tersebut, meskipun sembelihan orang musyrik itu haram, dan kulit sembelihan mereka, jika disembelih, dianggap sama seperti kulit bangkai. Namun, mizadah itu telah disamak.

Penulis menyebutkan hadis ini untuk menjelaskan bahwa kulit bangkai, jika telah disamak, menjadi suci. Oleh karena itu, ia tidak menajiskan air, meskipun air tersebut berubah karena bersentuhan dengannya. Pendapat yang benar dalam hal ini adalah bahwa jika kulit dari hewan yang penyembelihannya tidak halal telah disamak, maka kulit tersebut menjadi suci, baik berasal dari bangkai maupun dari sembelihan yang tidak halal penyembelihnya.

Disebutkan dalam sebuah hadis dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, seorang sahabat yang menjadi pelayan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, ibu Anas membawa putranya kepada beliau dan berkata, “Wahai Rasulullah, ini adalah Anas bin Malik yang akan melayanimu.” Pada saat itu, Anas radhiyallahu ‘anhu masih kecil, berusia sekitar sepuluh tahun. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerimanya dengan baik dan mendoakannya.

اللَّهُمَّ أَطِلْ عُمُرَهُ، وَأَكْثِرْ وَلَدَهُ، وَبَارِكْ فِي مَالِهِ

Ya Allah, panjangkanlah umurnya, perbanyak keturunannya, dan berkahilah hartanya,” (HR Muslim) atau sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Allah memanjangkan umur Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, menjadikannya salah satu sahabat terakhir yang wafat. Ia juga termasuk sahabat dengan keturunan terbanyak, yang jumlahnya melebihi seratus orang. Allah memberkahi harta Anas, hingga dikatakan bahwa ia memiliki dua kebun yang berbuah dua kali dalam setahun, sebagai wujud keberkahan dari doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Yang paling penting adalah bahwa Anas radhiyallahu ‘anhu termasuk pelayan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia melayani beliau dengan penuh keikhlasan. Suatu ketika, gelas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pecah menjadi dua bagian. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian menambalnya dan mengganti bagian yang retak dengan rantai kecil dari perak, yaitu menjahit bagian yang retak tersebut menggunakan rantai perak.

Hal ini menunjukkan bahwa tidak masalah menggunakan perak sebagai pengikat atau penambal pada wadah, berbeda dengan menggunakan wadah yang seluruhnya terbuat dari perak untuk minum. Hal tersebut hukumnya haram.

Dalam tindakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terdapat sebuah prinsip ekonomi penting yang seharusnya kita amalkan, yaitu jika sesuatu rusak, pakaian robek, atau hal serupa lainnya, selama masih memungkinkan untuk diperbaiki, maka sunahnya adalah memperbaikinya, bukan langsung membuangnya dan menggantinya dengan yang baru. Hal ini berbeda dengan perilaku sebagian orang yang berlebihan, yang membuang sesuatu hanya karena cacat kecil lalu menggantinya dengan barang baru.

Jika terjadi sedikit kerusakan pada mobil, yang harganya mahal, sebagian orang langsung berusaha menyingkirkannya dengan menjualnya atau semacamnya, lalu membeli mobil baru, meskipun harus meminjam atau berutang untuk membayarnya – kita memohon kepada Allah keselamatan dan petunjuk. Bahkan, ada pula yang, ketika model terbaru diluncurkan, ia segera membeli model baru dan meninggalkan mobil lamanya, padahal masih dalam kondisi baik. Perilaku semacam ini adalah bentuk pemborosan yang tidak disukai oleh Allah ‘Azza wa Jalla.

Maka, sunahnya adalah mempertahankan barang yang mengalami cacat, memperbaikinya, dan menggunakannya. Inilah yang disebut berhemat. Dikatakan: “Tidak akan jatuh miskin orang yang hemat,” yang artinya seseorang tidak akan menjadi fakir jika ia hidup hemat dan bijak dalam menggunakan rezekinya. Prinsip ini juga dapat diambil sebagai pelajaran dari hadis, yaitu bahwa jika memungkinkan untuk memperbaiki dan memanfaatkan harta, itulah sunah yang dianjurkan, bukan dengan membuangnya dan meninggalkannya begitu saja.

Maka dikatakan: Sunahnya adalah mempertahankan barang yang cacat di sisi kamu, memperbaikinya, dan menggunakannya. Itulah yang disebut berhemat.

Telah dikatakan: “Tidak akan jatuh miskin orang yang hemat,” yang artinya: seseorang tidak akan menjadi fakir jika ia hidup hemat dalam rezekinya. Hadis ini menjadi dasar dalam berhemat, yaitu jika memungkinkan memperbaiki harta dan memanfaatkannya, maka itulah sunah, bukan dengan membuangnya dan meninggalkannya.

Baca juga: IKHLAS DALAM BERAMAL DAN MENAFKAHKAN HARTA

Baca juga: JAGALAH ALLAH, NISCAYA ALLAH MENJAGAMU

Baca juga: RUKUN ISLAM – MENGUCAPKAN DUA KALIMAT SYAHADAT

(Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)

Bulughul Maram Fikih