27. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang khamar yang dijadikan cuka. Beliau menjawab, “Tidak.” (Diriwayatkan oleh Muslim dan at-Tirmidzi, yang mengatakan, “Hasan Sahih.”)
PENJELASAN
al-Hafizh Ibnu Hajar al-’Asqalani rahimahullah dalam kitabnya Bulughul Maram berkata: Bab tentang Menghilangkan Najis dan Penjelasannya.
Bab ini mencakup dua hal:
Pertama: Penjelasan tentang menghilangkan najis, yaitu bagaimana cara menghilangkannya jika najis mengenai pakaian, tubuh, area, wadah, atau hal-hal yang serupa.
Kedua: Penjelasan tentang benda-benda najis.
Najis adalah benda yang dianggap kotor menurut syariat yang wajib dijauhi. Hukum asal segala sesuatu adalah suci sampai ada dalil yang menunjukkan kenajisannya, sebagaimana hukum asal segala sesuatu adalah halal hingga ada dalil yang menunjukkan keharamannya. Kedua kaidah ini harus diketahui oleh penuntut ilmu karena banyak sekali permasalahan yang dibangun di atasnya.
Hukum asal segala sesuatu adalah halal, dan hukum asal segala sesuatu adalah suci. Jika dua orang berselisih, yang satu berkata bahwa sesuatu itu najis, dan yang lain berkata bahwa sesuatu itu suci, maka kami katakan bahwa yang benar adalah orang yang mengatakan bahwa sesuatu itu suci, sampai orang yang mengatakan najis mendatangkan dalil dari Kitab Allah, atau dari Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau dari ijma’ ulama. Jika tidak ada dalil, maka pada dasarnya sesuatu itu adalah suci. Oleh karena itu, jika kamu melewati pasar dan terkena air dari talang atau saluran, atau air dari got, atau yang semisalnya, maka pada dasarnya air itu adalah suci sampai ada dalil yang menunjukkan kenajisannya.
Demikian pula jika dua orang berselisih tentang sesuatu, yang satu berkata bahwa itu halal dan boleh dimakan, sedangkan yang lain berkata bahwa itu haram dan tidak boleh dimakan, maka pada dasarnya pendapat yang benar adalah yang mengatakan bahwa itu halal, sampai orang yang mengatakan haram mendatangkan dalil dari Kitab Allah Ta’ala, atau dari Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau dari ijma’ ulama.
Kecuali dalam hal ibadah, hukum asalnya adalah dilarang hingga terdapat dalil yang menunjukkan bahwa ibadah tersebut disyariatkan. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa mengada-adakan sesuatu dalam urusan kami ini yang bukan bagian darinya, maka itu tertolak.” (HR al-Bukhari dan Muslim)
Yang dimaksud adalah urusan agama. Barang siapa mengada-adakan sesuatu di dalamnya yang bukan berasal darinya, maka itu ditolak darinya, tidak diterima, dan dia juga berdosa. Adapun selain ibadah, seperti muamalah, benda, manfaat, dan lainnya, hukum asalnya adalah halal dan suci, kecuali terdapat dalil yang menunjukkan kenajisannya. Dalil untuk kedua kaidah ini adalah firman Allah Ta’ala:
خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ
“Dialah yang menciptakan untukmu segala yang ada di bumi semuanya.” (QS al-Baqarah: 29)
Allah berfirman: “Menciptakan untukmu,” yaitu apa yang ada di bumi. Jika sesuatu itu diciptakan untuk kita, maka itu halal bagi kita dan bukan najis.
Kemudian penulis rahimahullah menyebutkan hadis dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang khamar, “Apakah khamar boleh dijadikan cuka?” Beliau menjawab, “Tidak.”
Khamar adalah segala sesuatu yang memabukkan dengan rasa nikmat. Itulah khamar. Khamar adalah minuman yang jika diminum oleh seseorang, ia merasakan kenikmatan, kegembiraan, dan mabuk, sampai-sampai ia merasa seperti seorang raja dari para raja atau seorang menteri dari para menteri, sebagaimana dikatakan oleh penyair:
Dan kami meminumnya, maka ia menjadikan kami seperti raja-raja,
Dan seperti singa yang tak tergoyahkan oleh pertemuan (dengan musuh).
Hamzah bin Abdul Muththalib, paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, pernah berkata ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatanginya, sementara saat itu Hamzah sedang dalam keadaan mabuk (sebelum khamar diharamkan), “Bukankah kalian hanyalah budak-budak ayahku?” Ia mengucapkan perkataan itu dalam keadaan mabuk.
Ketahuilah bahwa khamar tidak terbatas pada sesuatu tertentu. Maksudnya, khamar bukan hanya berasal dari anggur, sari anggur, kurma, gandum, jelai, atau bahan lainnya. Namun, khamar adalah segala sesuatu yang memabukkan dari jenis apa pun, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
كُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ
“Setiap yang memabukkan adalah haram,” (HR al-Bukhari dan Muslim)
dan dalam riwayat lain,
كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ
“Setiap yang memabukkan adalah khamar.” (HR al-Bukhari dan Muslim)
Khamar diharamkan berdasarkan al-Qur’an, Sunnah, dan ijma’ kaum muslimin. Barang siapa mengingkari keharamannya, padahal ia hidup di tengah kaum muslimin, maka ia murtad dan kafir. Darah dan hartanya menjadi halal. Orang tersebut diperintahkan untuk bertobat dan mengakui keharamannya. Jika menolak, maka ia dibunuh.
Kemudian para ulama rahimahumullah berbeda pendapat: Apakah khamar najis, seperti air kencing, bangkai hewan yang saling menanduk, kotoran keledai, dan yang semisalnya, ataukah suci tetapi tetap haram untuk dikonsumsi?
Mayoritas ulama berpendapat bahwa khamar adalah najis. Mereka berdalil dengan firman Allah Ta’ala:
إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ
“Sesungguhnya khamar, judi, berhala, dan undian adalah kotoran (rijs) dari perbuatan setan.” (QS al-Ma’idah: 90)
Namun, pendapat yang lebih kuat adalah bahwa khamar tidak najis, melainkan sesuatu yang buruk (khobits) dan haram tanpa ada keraguan. Najis tidak selalu identik dengan haram, sehingga sesuatu yang haram belum tentu najis.
Berdasarkan hal ini, kami berpendapat sesuai dengan kaidah yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu bahwa khamar, berdasarkan dalil, telah diharamkan. Maka, ia haram. Namun, karena tidak ada dalil yang menunjukkan kenajisannya, maka khamar dihukumi suci. Oleh karena itu, jika khamar mengenai pakaian, tubuh, tanah, atau wadah, maka tidak wajib mencucinya. Dalilnya adalah bahwa ketika khamar diharamkan, kaum muslimin menuangkannya di pasar-pasar Madinah. (HR al-Bukhari dan Muslim) Jika khamar najis, tentu mereka tidak akan menuangkannya di pasar, karena tidak diperbolehkan bagi seseorang untuk menuangkan air najis di jalur atau jalanan yang dilalui orang-orang.
Dan juga, ketika khamar diharamkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan untuk mencuci wadah-wadah yang digunakan untuk menyimpannya. Seandainya khamar najis, tentu beliau memerintahkan mereka untuk mencuci wadah-wadah tersebut, karena wadah-wadah tersebut akan digunakan kembali. Oleh karena itu, ketika khamar perahan kurma diharamkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mencuci wadah-wadah tersebut karena kenajisannya.
Juga telah diriwayatkan dalam Shahih Muslim bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa sebuah wadah besar berisi khamar. Laki-laki itu menyerahkannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai hadiah, karena ia belum mengetahui bahwa khamar telah diharamkan. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya,
أَمَا عَلِمْتَ أَنَّهَا حُرِّمَتْ؟
“Apakah engkau tidak tahu bahwa khamar telah diharamkan?”
Dan sesuatu yang haram tidak boleh diterima.
Laki-laki itu pun terdiam.
Salah seorang sahabat berbisik kepadanya, “Juallah.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya,
بِمَ سَارَرْتَهُ؟
“Apa yang engkau bisikkan kepadanya?”
Sahabat itu menjawab, “Aku katakan, juallah.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ إِذَا حَرَّمَ شَيْئًا حَرَّمَ ثَمَنَهُ
“Sesungguhnya Allah, jika mengharamkan sesuatu, Dia juga mengharamkan hasil jual belinya.” (HR Muslim)
Kemudian laki-laki itu membuka wadah besar tersebut dan menuangkan khamar itu di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan untuk mencuci wadah tersebut, dan tidak melarang menuangkan khamar di tempat beliau berada.
Adapun firman Allah Ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya khamar, judi, berhala, dan undian adalah kotoran (rijs) dari perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan itu) agar kamu beruntung.” (QS al-Ma’idah: 90)
Rijs adalah sesuatu yang najis, sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala:
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ
“Katakanlah, ‘Aku tidak mendapati dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan untuk dimakan, kecuali bangkai, darah yang mengalir, atau daging babi, karena sesungguhnya itu adalah kotoran (rijs).’” (QS al-An’am: 145), yakni najis.
Namun, tidak ada dalil dalam ayat ini yang menunjukkan bahwa khamar adalah najis. Sebab, Allah Ta’ala mengaitkan khamar dengan judi, berhala, dan undian, sedangkan ketiga hal tersebut tidak najis menurut kesepakatan ulama. Maka, mengapa khamar dianggap najis, sementara ketiga hal yang disandingkan dengannya dalam satu konteks ayat yang sama tidak dihukumi sebagai najis?
Firman Allah Ta’ala: “Rijsun min ‘amali al-syaithan” (kotoran dari perbuatan setan), maksudnya adalah kotoran dalam bentuk perbuatan, bukan kotoran secara zat. Artinya, meminum khamar itu haram, tetapi zatnya tidak najis. Hal ini dibuktikan dengan fakta bahwa judi, berhala, dan undian bukan najis secara zat. Penjelasan dalam ayat tersebut berlaku untuk keempat hal ini secara bersamaan: “Sesungguhnya khamar, judi, berhala, dan undian adalah kotoran dari perbuatan setan.” (QS al-Ma’idah: 90) Oleh karena itu, tidak mungkin membedakan antara salah satu dari keempat hal tersebut dengan yang lainnya tanpa dalil.
Dengan demikian, jelas bahwa ayat tersebut tidak menunjukkan bahwa khamar itu najis secara zat, melainkan najis secara hukum (perbuatan). Oleh karena itu, jika tidak ada dalil yang secara tegas menyatakan kenajisannya, maka hukum asalnya adalah suci.
Meskipun mayoritas ulama berpendapat bahwa khamar adalah najis, namun Allah berfirman:
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ
“Jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul.” (QS an-Nisa: 59),
dan Allah juga berfirman:
وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ
“Apa pun yang kamu perselisihkan, maka putusannya (kembali) kepada Allah.” (QS asy-Syura: 10)
Dengan demikian, pendapat yang lebih kuat adalah bahwa khamar tidak najis. Namun, tidak diragukan lagi bahwa khamar adalah haram.
Berdasarkan hal ini, parfum-parfum yang saat ini diketahui mengandung kadar alkohol yang tinggi tidak dianggap najis. Bahkan, jika seseorang menyemprotkannya pada pakaiannya, ia tetap diperbolehkan shalat dengan pakaian tersebut. Namun, tidak diragukan bahwa menghindarinya lebih utama, sesuai dengan keumuman firman Allah Ta’ala: (فَاجْتَنِبُوهُ) “Maka jauhilah itu”. Meskipun demikian, kita tidak dapat mengharamkannya karena ada kemungkinan bahwa yang dimaksud dalam firman Allah Ta’ala: “Maka jauhilah itu,” adalah perintah untuk menjauhi meminumnya, sebagaimana alasan yang disebutkan dalam lanjutan firman-Nya:
إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ
“Sesungguhnya setan bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kalian melalui khamar dan judi.” (QS al-Ma’idah: 91)
Penggunaan parfum semacam ini, baik dengan cara menyemprotkannya maupun mengoleskannya, tidak secara otomatis menjadikannya haram. Namun, bagi orang yang ingin berhati-hati, sebaiknya menghindari penggunaan parfum yang mengandung alkohol, kecuali dalam keadaan darurat, seperti untuk mendisinfeksi luka atau keperluan serupa.
Namun, jika suatu bahan mengalami fermentasi hingga menjadi khamar, dengan tanda-tanda berupa mendidih dan munculnya buih, apakah diperbolehkan mengubahnya menjadi cuka dengan cara menambahkan sesuatu yang dapat menghilangkan fermentasi dan sifat memabukkannya, atau tidak?
Jawabannya, sebagaimana disebutkan dalam hadis ini: Tidak diperbolehkan mengubahnya menjadi cuka. Lalu, apa yang harus dilakukan dengannya? Jawabannya adalah: Dibuang di pasar atau tempat lain, dan dianggap tidak bernilai.
Namun, jika khamar berubah menjadi cuka dengan sendirinya tanpa campur tangan apa pun, maka ia menjadi halal dan suci.
Penulis rahimahullah menyebutkan hadis ini dalam bab tentang menghilangkan najis, mengikuti pendapat mayoritas ulama yang berpendapat bahwa khamar adalah najis. Namun, pendapat yang lebih kuat, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, adalah bahwa khamar tidak najis secara zat (najis hissiyah), tetapi tetap haram tanpa ada keraguan.
Allah Maha Mengetahui.
Baca juga: HARAMNYA KHAMAR
Baca juga: NILAI AKAL DALAM ISLAM
Baca juga: HARAM MENGAMBIL KHAMAR SEBAGAI OBAT
(Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)