Dari Amru bin Syuaib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَطَبَّبَ وَلَا يُعْلَمُ مِنْهُ طِبٌّ، فَهُوَ ضَامِنٌ
“Barangsiapa melakukan praktik pengobatan, padahal ia tidak mengetahui ilmu pengobatan, maka ia (harus) bertanggung jawab.” (Hadis hasan. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan an-Nasa-i. Dihasankan oleh Syekh al-Albani dalam Silsilah Ahadits ash-Shahihah)
PENJELASAN
Hadis ini secara lafaz dan kandungan menunjukkan bahwa tidak halal bagi seseorang melakukan suatu pekerjaan atau profesi yang bukan bidangnya, seperti bidang pengobatan. Barangsiapa lancang melakukan hal itu, maka sungguh ia telah berdosa. Semua dampak dari apa yang ia kerjakan, seperti hilangnya nyawa, anggota badan atau yang lainnya, ia harus bertanggung-jawab dan mengganti rugi. Uang yang diperoleh dari pekerjaan yang bukan bidangnya itu harus dikembalikan kepada pemiliknya, karena sang pemilik tidak mengeluarkan uangnya kecuali karena perbuatannya yang seakan-akan ia mampu mengerjakannya, padahal tidak mampu. Perbuatan itu termasuk ghisyh (penipuan).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ غَشَّنَا، فَلَيْسَ مِنَّا
“Barangsiapa menipu kami (kaum muslimin), maka ia bukan golongan kami.” (HR Muslim)
Serupa dengan hal ini adalah pekerja konstruksi, tukang kayu, pandai besi, pedagang, penggali sumur, tukang tenun dan lain-lain. Mereka menampakkan diri seakan profesional dalam bidang pekerjaan-pekerjaan tersebut, padahal hanya menipu.
Pemahaman tersirat dari hadis ini adalah bahwa jika seorang dokter atau orang dengan keahlian lainnya melakukan suatu pekerjaan dan ternyata melakukan kesalahan tanpa unsur kesengajaan, maka ia tidak harus mengganti rugi. Hal itu karena pada asalnya dia telah diberi izin untuk melakukan pekerjaan tersebut oleh wali atau pihak yang memintanya. Semua akibat yang ditimbulkan oleh orang yang telah mendapatkan izin, maka dia tidak perlu mengganti rugi. Adapun akibat yang ditimbulkan oleh orang yang tidak demikian, maka ia harus menanggung kerugian.
Hadis ini juga menjadi dalil bahwa profesi dokter termasuk ilmu yang bermanfaat dan diperlukan secara syara’ dan akal. Wallahu a’lam.
Baca juga: BEROBAT DENGAN YANG HALAL
Baca juga: NAFSU DAN SIFAT-SIFATNYA
Baca juga: KEUTAMAAN DUA AYAT TERAKHIR SURAT AL-BAQARAH
(Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di)