BESARNYA PAHALA SEBANDING DENGAN BESARNYA UJIAN

BESARNYA PAHALA SEBANDING DENGAN BESARNYA UJIAN

Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلَاءِ. وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا، ابْتَلَاهُمْ. فَمَنْ رَضِيَ، فَلَهُ الرِّضَا. وَمَنْ سَخِطَ، فَلَهُ السَّخَطُ

Sesungguhnya besarnya pahala sebanding dengan besarnya ujian. Sesungguhnya jika Allah mencintai suatu kaum, Dia akan menguji mereka. Barangsiapa rida, maka ia akan mendapatkan keridaan (Allah), dan barangsiapa marah, maka ia akan mendapatkan kemurkaan (Allah).” (HR at-Tirmidzi dan Ibnu Majah. Dihasankan oleh Syekh al-Albani dalam Shahih at-Tirmidzi dan Shahih Ibnu Majah)

PENJELASAN

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya besarnya pahala…” Maksudnya, barangsiapa yang ujiannya lebih besar, baik secara kuantitas maupun kualitas.

Hadis ini dijadikan hujah oleh pihak yang menyatakan bahwa orang yang tertimpa musibah akan meraih pahala, di samping dilebur dosa-dosanya. Akan tetapi, Ibnul Qayyim rahimahullah merajih bahwa balasan bagi orang yang ditimpa musibah hanya berupa dilebur dosa-dosa, kecuali musibah itu menjadi penyebab dilakukannya amal saleh, seperti sabar, rida, tobat, dan istigfar. Ia mendapatkan pahala karena apa yang muncul dari dirinya. Berdasarkan hal ini, maka makna hadis ini adalah “Sesungguhnya besarnya pahala sebanding dengan besarnya ujian, jika ia bersabar dan berharap pahala dari Allah Ta’ala.”

Sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya jika Allah mencintai suatu kaum, Dia akan menguji mereka.”

Dalam hadis dari Sa’ad disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya, “Siapakah orang yang paling berat ujiannya?”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

الْأَنْبِيَاءُ، ثُمَّ الْأَمْثَلُ، فَالْأَمْثَلُ. فَيُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ. فَإِنْ كَانَ دِينُهُ صُلْبًا، اشْتَدَّ بَلَاؤُهُ. وَإِنْ كَانَ فِي دِينِهِ رِقَّةٌ، ابْتُلِيَ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ. فَمَا يَبْرَحُ الْبَلَاءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِي عَلَى الْأَرْضِ مَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ

Para nabi, kemudian yang sepertinya, kemudian yang sepertinya. Sungguh, seseorang diuji berdasarkan kadar agamanya. Bila agamanya kuat, ujiannya pun berat. Sebaliknya, bila agamanya lemah, ia diuji sesuai dengan kadar agamanya. Ujian akan terus menimpa seorang hamba hingga ia berjalan di muka bumi tanpa mempunyai kesalahan.” (HR ad-Darimi, Ibnu Majah, dan at-Tirmidzi dan ia mensahihkannya)

Hadis ini dan hadis-hadis semisal dengannya termasuk ke dalam dalil tauhid. Jika seorang hamba mengetahui bahwa para nabi dan para wali Allah ditimpa ujian, yang sesungguhnya merupakan rahmat baginya, dan tidak ada yang mampu menghilangkan ujian itu dari mereka kecuali Allah, niscaya hamba itu mengetahui (meyakini) bahwa para nabi dan para wali tidak mampu memberi manfaat atau menolak mudarat untuk diri mereka sendiri, apalagi untuk orang lain. Oleh karena itu, hukum meminta dan berdoa kepada mereka untuk memenuhi hajat atau menghilangkan kesulitan adalah haram. Ujian yang menimpa para nabi dan orang-orang saleh mengandung hikmah, rahasia, dan kemaslahatan yang tidak terhitung jumlahnya.

Sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa rida, maka ia akan mendapatkan keridaan.” Yakni, keridaan Allah.

Allah menyifati diri-Nya dengan sifat rida dalam sejumlah ayat di dalam al-Qur’an, seperti firman-Nya:

جَزَاۤؤُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنّٰتُ عَدْنٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُ خٰلِدِيْنَ فِيْهَآ اَبَدًا ۗرَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُمْ وَرَضُوْا عَنْهُ

Balasan mereka di sisi Rabb mereka ialah Surga ‘Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada-Nya.” (QS al-Bayyinah: 8)

Mazhab salaf dan orang-orang yang mengikuti mereka dari kalangan ahli sunah waljamaah menetapkan sifat-sifat yang Allah sandangkan kepada diri-Nya dan Rasul-Nya sandangkan kepada-Nya sesuai dengan keagungan dan kebesaran-Nya, dengan penetapan tanpa tamtsil dan tanpa ta’thil. Jika Allah meridai seseorang, maka orang itu akan meraih segala kebaikan, dan selamat dari segala keburukan.

Rida berarti seorang hamba menyerahkan perkaranya kepada Allah Ta’ala, berbaik sangka kepada-Nya, dan berharap pahala dari-Nya. Ia akan mendapatkan kelapangan dan ketenangan karena ia cinta dan percaya kepada Allah, sebagaimana perkataan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, “Sesungguhnya Allah dengan keadilan-Nya menjadikan kebahagiaan dan kegembiraan pada keyakinan dan keridaan, dan menjadikan kesedihan dan kegundahan pada keraguan dan kemarahan.”

Sabda beliau, “Dan barangsiapa marah.”

Abu as-Sa’adat berkata, (سَخِطَ) artinya membenci dan tidak rela kepada sesuatu. Yakni, barangsiapa tidak rela kepada apa yang Allah tetapkan untuknya, maka ia akan mendapatkan kemarahan dari Allah, dan hal itu sudah cukup menjadi hukuman.

Hadis ini dijadikan dalil atas wajibnya rida terhadap musibah, dan ini dirajihkan oleh Ibnu Aqil. Sedangkan al-Qadhi memilih tidak wajib, dan ini dirajihkan oleh Syaikhul Islam dan Ibnul Qayyim.

Syaikhul Islam rahimahullah berkata, “Tidak ada perintah untuk rida kepada musibah sebagaimana perintah untuk bersabar. Yang ada hanyalah pujian kepada pelakunya.” Ia juga berkata, “Adapun apa yang diriwayatkan, ‘Barangsiapa tidak bersabar atas ujian-Ku dan tidak rida kepada keputusan-Ku, hendaklah ia mengambil tuhan selain Aku,’ merupakan berita israiliat yang tidak sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Syaikhul Islam berkata, “Yang lebih tinggi dari rida adalah syukur kepada Allah atas musibah, karena ia menganggap bahwa hal itu merupakan nikmat dari-Nya kepadanya.”

Wallahu a’lam.

Baca juga: KEADAAN MANUSIA DALAM MENGHADAPI MUSIBAH

Baca juga: DI BALIK KEHENDAK ALLAH TERSIMPAN HlKMAH

Baca juga: DAMPAK MAKSIAT TERHADAP MASYARAKAT

(Abdurrahman bin Hasan Alu asy-Syaikh)

Akidah