Kemudian Allah Ta’ala berfirman:
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ
“Tidakkah engkau memerhatikan orang-orang yang mengaku bahwa mereka telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Namun mereka ingin berhukum kepada thaghut, padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkarinya.” (QS an-Nisa’: 60)
Bentuk pertanyaan dalam ayat ini bermakna keheranan, yakni: tidakkah engkau heran terhadap suatu kaum yang mengaku beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu, tetapi mereka tidak mau berhukum kepada Allah dan Rasul-Nya, malah ingin berhukum kepada thaghut —yaitu segala sesuatu yang menyelisihi syariat Allah.
Di antara kaum itu terdapat pula sebagian penguasa yang dengannya Allah menguji kaum muslimin — yaitu mereka yang ingin menetapkan hukum di antara manusia dengan undang-undang yang sesat, jauh dari syariat, yang dibuat oleh si fulan dan si fulan dari kalangan orang-orang kafir yang tidak mengetahui sedikit pun tentang Islam. Mereka juga hidup pada zaman yang berbeda dari zaman yang lain dan berasal dari umat yang berbeda dari umat yang lain.
Namun, sangat disayangkan bahwa sebagian negeri Islam yang pernah dijajah oleh orang-orang kafir mengambil undang-undang tersebut, lalu menerapkannya kepada rakyat muslim tanpa peduli bahwa hukum-hukum itu bertentangan dengan Kitab Allah dan sunah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka mengaku beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, tetapi bagaimana mungkin demikian, sementara mereka ingin berhukum kepada thaghut —padahal mereka telah diperintahkan oleh Allah untuk mengingkarinya. Mereka telah diperintah dengan tegas oleh Allah untuk kufur kepada thaghut, namun mereka tetap menginginkan agar hukum itu dikembalikan kepada thaghut.
وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلالاً بَعِيداً
“Setan ingin menyesatkan mereka dengan kesesatan yang jauh.” (QS an-Nisa’: 60), yakni setan ingin menyesatkan mereka dari agama Allah dengan kesesatan yang sangat jauh, bukan yang dekat. Sebab, siapa pun yang berhukum dengan selain syariat Allah, maka sungguh ia telah tersesat dengan kesesatan yang paling besar dan paling jauh dari kebenaran.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ رَأَيْتَ الْمُنَافِقِينَ يَصُدُّونَ عَنْكَ صُدُوداً
“Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Marilah (berhukum) kepada apa yang telah Allah turunkan dan kepada Rasul,’ niscaya engkau melihat orang-orang munafik berpaling darimu dengan penolakan yang keras.” (QS an-Nisa’: 61)
Yakni, apabila dikatakan kepada mereka, “Marilah kepada apa yang Allah turunkan,” yaitu al-Qur’an, dan kepada Rasul, kamu akan melihat orang-orang munafik berpaling darimu dengan keras. Allah tidak berfirman (رَأَيْتَهُمْ) “engkau melihat mereka” agar dengan penyebutan kata “orang-orang munafik” secara terang (tanpa diganti dengan kata ganti) jelaslah bahwa mereka itu benar-benar kaum munafik. Maka Allah menampakkan (menyebut secara eksplisit) kata “orang-orang munafik” pada tempat yang seharusnya cukup dengan kata ganti, demi menjelaskan faedah penting ini.
Agar mencakup mereka dan juga selain mereka dari kalangan orang-orang munafik, maka sesungguhnya orang munafik —wal’iyadzu billah— apabila dia diajak kepada (ajaran) Allah dan Rasul-Nya, ia berpaling dan menolak.
فَكَيْفَ إِذَآ أَصَٰبَتْهُم مُّصِيبَةٌۢ بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيهِمْ ثُمَّ جَآءُوكَ يَحْلِفُونَ بِٱللَّهِ إِنْ أَرَدْنَآ إِلَّآ إِحْسَٰنًا وَتَوْفِيقًا
“Maka bagaimana (halnya) apabila mereka ditimpa musibah disebabkan oleh perbuatan tangan mereka sendiri, kemudian mereka datang kepadamu sambil bersumpah ‘Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki selain penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna.’” (QS an-Nisa’: 62)
Maksudnya: bagaimana keadaan mereka ketika tertimpa musibah yang menyingkap aib-aib mereka dan membuat orang lain mengetahuinya, lalu mereka datang kepadamu bersumpah demi Allah padahal mereka berdusta, seraya berkata, “Kami tidak bermaksud kecuali berbuat baik dan mencari keselarasan antara syariat dan undang-undang buatan manusia.”
Padahal, tidak mungkin keselarasan terjadi antara hukum Allah dan hukum thaghut. Seandainya hukum thaghut kebetulan sesuai dengan hukum Allah, maka ia menjadi hukum Allah, bukan hukum thaghut. Oleh karena itu, apa pun dari undang-undang buatan manusia yang mengandung hal-hal bermanfaat, sebenarnya syariat Islam telah lebih dahulu menetapkannya.
Karena itu Allah berfirman:
أُو۟لَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ يَعْلَمُ ٱللَّهُ مَا فِى قُلُوبِهِمْ فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ وَعِظْهُمْ وَقُل لَّهُمْ فِىٓ أَنفُسِهِمْ قَوْلًۢا بَلِيغًا
“Mereka itulah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka. Maka berpalinglah dari mereka, nasihatilah mereka, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang mendalam (menyentuh hati).” (QS. An-Nisā’: 63)
Artinya: mereka inilah orang-orang yang Allah mengetahui isi hati mereka, walaupun mereka menampakkan kepada manusia bahwa mereka beriman kepada Allah dan bahwa mereka menginginkan kebaikan serta keselarasan antara hukum-hukum syariat dan hukum-hukum buatan manusia. Mereka inilah yang Allah mengetahui apa yang tersembunyi di hati mereka dan apa yang sebenarnya mereka kehendaki bagi umat mereka.
Firman Allah, “Maka berpalinglah dari mereka,” merupakan bentuk ancaman terhadap mereka.
Firman-Nya, “Nasihatilah mereka dan katakanlah kepada mereka perkataan yang mendalam,” maksudnya adalah, sampaikanlah kepada mereka nasihat dengan kata-kata yang menyentuh hati, yang mampu menembus jiwa mereka agar mereka dapat mengambil pelajaran darinya.
Kemudian Allah berfirman:
وَمَآ أَرْسَلْنَا مِن رَّسُولٍ إِلَّا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ ٱللَّهِ
“Dan tidaklah Kami mengutus seorang rasul pun melainkan agar ia ditaati dengan izin Allah.” (QS an-Nisa’: 64)
Artinya, Kami tidak mengutus para rasul hanya untuk sekadar dibacakan ucapan-ucapan mereka lalu ditinggalkan tanpa diikuti, tetapi Kami mengutus mereka agar ditaati. Sebab, jika tidak ditaati, maka tidak ada manfaat sama sekali dari diutusnya para rasul itu.
Makna dan konsekuensi dari risalah (kerasulan) adalah bahwa Rasul harus ditaati.
Allah berfirman:
وَمَآ أَرْسَلْنَا مِن رَّسُولٍ إِلَّا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ ٱللَّهِ ۚ وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذ ظَّلَمُوٓا۟ أَنفُسَهُمْ جَآءُوكَ فَٱسْتَغْفَرُوا۟ ٱللَّهَ وَٱسْتَغْفَرَ لَهُمُ ٱلرَّسُولُ لَوَجَدُوا۟ ٱللَّهَ تَوَّابًا رَّحِيمًا
“Dan tidaklah Kami mengutus seorang rasul pun melainkan agar ia ditaati dengan izin Allah. Dan seandainya mereka, ketika menzalimi diri mereka sendiri, datang kepadamu lalu memohon ampun kepada Allah dan Rasul pun memohonkan ampun bagi mereka, niscaya mereka mendapati Allah Mahapenerima tobat lagi Mahapenyayang.” (QS an-Nisa’: 64)
Artinya, seandainya mereka, ketika menzalimi diri sendiri dengan apa yang mereka sembunyikan di dalam hati berupa kebatilan, datang kepadamu lalu memohon ampun kepada Allah —yakni meminta ampunan dari-Nya— dan engkau memohonkan ampun bagi mereka, niscaya mereka akan mendapati Allah sebagai Mahapenerima tobat dan Mahapenyayang. Namun, mereka —wal’iyadzu billah— tetap bertahan dalam kemunafikan dan kekeras-kepalaan mereka.
Ayat ini dijadikan dalil oleh para penyeru kepada kuburan, yaitu orang-orang yang berdoa kepada kuburan dan meminta ampun kepadanya. Mereka berkata, “Karena Allah berfirman kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Dan seandainya mereka, ketika menzalimi diri mereka sendiri, datang kepadamu lalu memohon ampun kepada Allah dan Rasul pun memohonkan ampun bagi mereka, niscaya mereka mendapati Allah Mahapenerima tobat lagi Mahapenyayang.’ Maka jika engkau berbuat dosa, pergilah ke kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mohonlah ampun kepada Allah agar Rasul memohonkan ampun untukmu.”
Namun, mereka itu telah tersesat jauh, karena ayat tersebut jelas sekali. Allah berfirman, (إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ) “Ketika mereka menzalimi diri mereka sendiri,” bukan (إِذَا ظَلَمُوا) “jika mereka menzalimi diri mereka sendiri.”
Yakni, seandainya mereka —ketika menzalimi diri mereka sendiri dengan perbuatan yang mereka lakukan— kemudian datang kepadamu di masa hidupmu, memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun bagi mereka, niscaya mereka mendapati Allah Mahapenerima tobat lagi Mahapenyayang.
Adapun setelah wafatnya Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak mungkin beliau memohonkan ampun bagi siapa pun, karena amal beliau telah terputus, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ: إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Apabila manusia meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya.” (HR Muslim)
Namun, beliau tetap mendapatkan pahala dari setiap amal baik yang dilakukan oleh umatnya —baik yang wajib maupun yang sunah— karena beliaulah yang telah mengajarkan umatnya.
Hal ini termasuk dalam sabda beliau: “Atau ilmu yang bermanfaat.”
Kesimpulannya, tidak ada dalil sedikit pun dalam ayat ini yang mendukung klaim orang-orang yang berdoa kepada kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Baca juga: DERAJAT ORANG TUA MENINGKAT KARENA DOA ANAKNYA
Baca juga: KEWAJIBAN BERTOBAT
Baca juga: PERMOHONAN AMPUNAN MALAIKAT BAGI ORANG YANG BERPUASA
(Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)

