SIFAT SHALAT NABI – DZIKIR-DZIKIR SAAT RUKUK

SIFAT SHALAT NABI – DZIKIR-DZIKIR SAAT RUKUK

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengucapkan tasbih saat rukuk. Bacaan tasbih yang diucapkan saat rukuk, di antaranya adalah

سُبْحَانَ رَبِّىَ الْعَظِيمِ

Subhana rabbiyal ‘azhim (Mahasuci Rabb-ku, Yang Mahaagung).” (HR Muslim)

Allah Ta’ala disucikan dari dua hal, yakni dari kekurangan secara mutlak dan dari kekurangan pada kesempurnaan-Nya. Ada lagi yang ketiga, dan ini merupakan bagian dari kekurangan yang kedua, yaitu disucikan dari keserupaan dengan makhluk-Nya. Inilah tiga hal yang disucikan dari Dzat Allah.

Pertama, bahwa Allah disucikan dari ketidaktahuan, kerapuhan, kelemahan, kematian, tidur dan sejenisnya.

Kedua, bahwa Allah disucikan dari rasa lelah dari perbuatan-Nya, seperti disebutkan dalam firman-Nya:

وَلَقَدْ خَلَقْنَا السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِيْ سِتَّةِ اَيَّامٍۖ وَّمَا مَسَّنَا مِنْ لُّغُوْبٍ

Dan sesungguhnya telah Kami ciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, dan Kami sedikit pun tidak ditimpa keletihan.” (QS Qaf: 38)

Berkuasa dan mencipta tidak diragukan adalah kesempurnaan. Akan tetapi, terkadang kesempurnaan ternodai oleh kekurangan, bila itu pada diri makhluk.

Membuat pintu atau mendirikan bangunan disertai dengan keletihan dan kelelahan. Hal itu menodai kesempurnaan. Sedangkan Rabb Ta’ala tidak pernah merasakan letih dan lelah, meskipun harus mengurus makhluk-mahkluk yang luar biasa besarnya, seperti langit dan bumi dalam waktu yang sangat singkat.

Ketiga, menyerupai makhluk. Menyerupai makhluk adalah kekurangan, karena bermakna menyamakan yang Mahasempurna dengan yang penuh kekurangan. Ini membuat yang sempurna menjadi kurang.

Tahukah kalian, sebilah pedang akan menjadi hina bila dikatakan ‘pedang itu lebih tajam daripada tongkat biasa’?

Sebilah pedang yang sangat kuat dan tajam, jika kita katakan lebih tajam daripada tongkat biasa yang rapuh, maka orang-orang akan memandang bahwa pedang tersebut adalah pedang yang rapuh.

Bagaimana pun juga, Allah Ta’ala disucikan dari tiga perkara: dari kekurangan secara mutlak, dari kekurangan pada kesempurnaan-Nya, dan dari keserupaan dengan makhluk.

Makna “…rabbiyalazhim (Rabb-ku yang Mahaagung)” adalah Mahaagung dalam zat-Nya dan dalam semua sifat-Nya. Allah Ta’ala dalam zat-Nya lebih agung dari segala sesuatu. Allah Ta’ala berfirman:

يَوْمَ نَطْوِى السَّمَاۤءَ كَطَيِّ السِّجِلِّ لِلْكُتُبِۗ كَمَا بَدَأْنَآ اَوَّلَ خَلْقٍ نُّعِيْدُهٗۗ وَعْدًا عَلَيْنَاۗ اِنَّا كُنَّا فٰعِلِيْنَ

(Yaitu) pada hari Kami menggulung langit, sebagaimana menggulung lembaranlembaran kertas. Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama, begitulah Kami akan mengulanginya. Itulah janji yang pasti Kami tepati. Sesungguhnya Kamilah yang akan melaksanakannya.” (QS al-Anbiya: 104)

Menggulung lembaran-lembaran kertas adalah sangat mudah bagi siapa saja.

Allah Ta’ala berfirman:

وَمَا قَدَرُوا اللّٰهَ حَقَّ قَدْرِهٖۖ وَالْاَرْضُ جَمِيْعًا قَبْضَتُهٗ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ وَالسَّمٰوٰتُ مَطْوِيّٰتٌۢ بِيَمِيْنِهٖ ۗسُبْحٰنَهٗ وَتَعٰلٰى عَمَّا يُشْرِكُوْنَ

Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya, padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada Hari Kiamat, dan langit digulung dengan tangan kananNya. Mahasuci Dia dan Mahatinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.” (QS az-Zumar: 67)

Langit dan bumi yang tujuh lapis di telapak tangan Allah ar-Rahman bagaikan biji sawi di telapak tangan salah seorang dari kita.

Tentang keagungan sifat-sifat Allah, hal itu tidak perlu dipertanyakan lagi, karena tidak satu pun dari sifat-sifat-Nya kecuali pasti sangat agung, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

وَهُوَ الَّذِيْ يَبْدَؤُا الْخَلْقَ ثُمَّ يُعِيْدُهٗ وَهُوَ اَهْوَنُ عَلَيْهِۗ وَلَهُ الْمَثَلُ الْاَعْلٰى فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۚ وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ

Dan Dialah yang menciptakan (manusia) dari permulaan, kemudian mengembalikan (menghidupkan)nya kembali. Dan menghidupkannya kembali adalah lebih mudah bagi-Nya. Dan bagi-Nyalah sifat yang Mahatinggi di langit dan di bumi. Dan Dialah yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (QS ar-Rum: 27)

Dengan demikian, kita menyucikan Allah Ta’ala dan menyifati-Nya setelah menyucikan-Nya dengan dua hal yang berwujud kesempurnaan paripurna, yaitu rububiah dan keagungan. Dengan dzikir tersebut, terangkum penyucian dan pengagungan. Penyucian dan pengagungan dengan lisan disebut ucapan pengagungan, dan dengan rukuk disebut perbuatan pengagungan. Dengan demikian, orang yang sedang rukuk sesungguhnya sedang menggabungkan dua bentuk pengagungan, yaitu ucapan pengagungan dan perbuatan pengagungan. Oleh sebab itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنِّى نُهِيتُ أَنْ أَقْرَأَ الْقُرْآنَ رَاكِعًا أَوْ سَاجِدًا فَأَمَّا الرُّكُوعُ فَعَظِّمُوا فِيهِ الرَّبَّ عَزَّ وَجَلَّ وَأَمَّا السُّجُودُ فَاجْتَهِدُوا فِى الدُّعَاءِ فَقَمِنٌ أَنْ يُسْتَجَابَ لَكُمْ

Sesungguhnya aku dilarang membaca al-Qur’an dalam keadaan rukuk atau sujud. Adapun dalam rukuk, maka agungkanlah Rabb Azza wa Jalla, sedangkan dalam sujud, maka bersungguh-sungguhlah dalam doa, karena sangat pantas untuk dikabulkan bagi kalian.” (HR Muslim)

Mengagungkan sesuatu berarti menghinakan diri di hadapannya. Karena al-Quran adalah dzikir yang paling mulia, maka ia tidak layak diucapkan saat seseorang dalam keadaan membungkuk atau merunduk. al-Qur’an hanya diucapkan saat berdiri tegak saja, sebab berdiri adalah lebih baik daripada rukuk. Rukuk mengandung perendahan diri. Tidak diragukan lagi bahwa rukuk hanya boleh ditujukan kepada Allah Ta’ala semata.

Ucapan, “Subhana rabbiyal ‘azhim” yang wajib adalah satu kali. Selain itu adalah sunah.

Imam Ahmad dan Abu Dawud meriwayatkan bahwa “Subhana rabbiyal ‘azhim” dibaca tiga kali.

Seorang imam mengucapkan “Subhana rabbiyal ‘azhim” maksimal sepuluh kali, sedangkan orang yang shalat sendirian membaca “Subhana rabbiyal ‘azhim” sebanyak yang ia mau.

Abu Dawud dan Ahmad meriwayatkan dari Sa’id bin Jubair, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bacaan tasbih sebanyak sepuluh kali.

Selain bacaan tasbih di atas, sejumlah bacaan rukuk telah diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu:

❇️ Mengulang-ulang bacaan yang diriwayatkan secara sahih dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperbanyak mengucapkan dalam rukuk dan sujud bacaan,

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ ، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِى

Mahasuci Engkau, ya Allah Rabb kami, dan dengan memuji-Mu, ya Allah ampunilah aku.” (HR al-Bukhari)

❇️ Mengulang-ulang bacaan yang diriwayatkan secara sahih dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan dalam rukuk dan sujudnya,

سُبُّوحٌ قُدُّوسٌ رَبُّ الْمَلاَئِكَةِ وَالرُّوحِ

Mahasuci lagi Mahabersih Rabb para malaikat dan Roh (Jibril).” (HR Muslim)

❇️ Dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika rukuk, beliau mengucapkan,

اللَّهُمَّ لَكَ رَكَعْتُ، وَبِكَ آمَنْتُ، وَلَكَ أَسْلَمْتُ، خَشَعَ لَكَ سَمْعِي، وَبَصَرِي، وَمُخِّي، وَعَظْمِي، وَعَصَبِي

Ya Allah, hanya kepada-Mu aku rukuk, kepada-Mu aku beriman, dan hanya kepada-Mu aku berserah diri. Tunduk kepada-Mu pendengaranku, penglihatanku, otakku, tulangku, dan sarafku.” (Diriwayatkan oleh Muslim)

Terkait pengucapan bacaan-bacaan rukuk di atas, yang benar adalah bacaan yang satu diucapkan pada satu kesempatan, dan bacaan yang lain diucapkan pada kesempatan yang lain. Akan tetapi, dzikir-dzikir rukuk yang dikenal di kalangan ulama secara umum dapat dibaca pada satu kesempatan.

Dalam rukuk disunahkan memperbanyak pujian dan pengagungan kepada Allah ‘Azza wa Jalla, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadis sahih:

أَلَا وَإِنِّي نُهِيتُ أَنْ أَقْرَأَ الْقُرْآنَ رَاكِعًا أَوْ سَاجِدًا، فَأَمَّا الرُّكُوعُ فَعَظِّمُوا فِيهِ الرَّبَّ عَزَّ وَجَلَّ، وَأَمَّا السُّجُودُ فَاجْتَهِدُوا فِي الدُّعَاءِ، فَقَمِنٌ أَنْ يُسْتَجَابَ لَكُمْ.

Ketahuilah, sungguh aku dilarang membaca Al-Qur’an dalam keadaan rukuk atau sujud. Adapun rukuk, maka agungkanlah Rabb kalian ‘Azza wa Jalla di dalamnya. Sedangkan sujud, bersungguh-sungguhlah dalam berdoa, karena sangat mungkin doa kalian akan dikabulkan.” (Diriwayatkan oleh Muslim)

Maknanya, sangat diharapkan doa kalian akan dikabulkan oleh Allah Ta’ala dalam keadaan sujud.

Baca sebelumnya: SIFAT SHALAT NABI – RUKUK DAN TATA CARANYA

Baca setelahnya: SIFAT SHALAT NABI – BANGKIT DARI RUKUK

(Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)

Fikih Sifat Shalat Nabi