190. Dari ‘Abdullah bin Zaid bin ‘Abd Rabbih radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Seorang laki-laki mendatangiku dalam tidurku lalu berkata, “Ucapkan:
اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ
Allahu Akbar, Allahu Akbar,” kemudian ia menyebutkan lafaz adzan dengan takbir empat kali tanpa tarji’ (pengulangan kalimat syahadat), dan lafaz-lafaz iqamah dibaca satu kali, kecuali
قَدْ قَامَتِ الصَّلَاةُ
“qad qamatish-shalah” yang dibaca dua kali. Ketika pagi datang, aku mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda,
إِنَّهَا لَرُؤْيَا حَقٌّ
“Sesungguhnya itu adalah mimpi yang benar…” (hingga akhir hadis) (Diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Dawud, dan disahihkan oleh at-Tirmidzi dan Ibnu Khuzaimah)
191. Ahmad menambahkan dalam akhir hadis tersebut kisah tentang ucapan Bilal dalam adzan fajar,
الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ
“Shalat lebih baik daripada tidur.”
192. Dalam riwayat Ibnu Khuzaimah disebutkan dari Anas radhiyallahu ‘anhu, bahwa ia berkata, “Termasuk sunah, apabila muadzin dalam adzan fajar mengucapkan,
حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ
‘Hayya ‘ala al-falah,’ maka ia menyambungnya dengan,
الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ
‘Shalat lebih baik daripada tidur.’”
PENJELASAN
Penulis rahimahullah berkata dalam kitab Bulughul Maram, “Bab Adzan.”
Adzan secara bahasa berarti pemberitahuan tentang suatu hal. Di antara contohnya adalah firman Allah Ta’ala:
وَأَذَانٌ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى النَّاسِ يَوْمَ الْحَجِّ الْأَكْبَرِ أَنَّ اللَّهَ بَرِيءٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولُهُ
“Dan (ini adalah) pengumuman dari Allah dan Rasul-Nya kepada seluruh manusia pada hari haji akbar bahwa sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrik.” (QS at-Taubah: 3)
Adapun dalam istilah syariat, adzan adalah pemberitahuan untuk shalat dengan cara yang khusus, yaitu seseorang beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan dzikir yang telah ditetapkan secara khusus sebagai bentuk pemberitahuan akan dimulainya shalat.
Atau dapat dikatakan bahwa adzan adalah pemberitahuan masuknya waktu shalat, dan itu merupakan salah satu nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi umat ini. Orang-orang Yahudi memberitahukan datangnya waktu shalat dengan apa yang disebut buq (terompet), dan orang-orang Nasrani dengan apa yang disebut naqus (lonceng). Keduanya adalah alat permainan. Tetapi umat ini —walillahilhamd— Allah mudahkan bagi mereka adzan yang baik dan penuh berkah ini.
Ketika para sahabat radhiyallahu ‘anhum datang ke Madinah dan jumlah mereka semakin banyak, dan Madinah menjadi negeri Islam dan tempat ditegakkannya syiar-syiar agama, maka Allah mewajibkan adzan atas mereka. Hal itu terjadi pada tahun kedua hijriah, di mana para sahabat radhiyallahu ‘anhum bermusyawarah di antara mereka mengenai dengan apa mereka memberitahukan orang-orang bahwa waktu shalat telah masuk.
Sebagian mereka berkata, “Kita nyalakan api. Jika orang-orang melihatnya, mereka tahu bahwa waktu telah masuk.”
Sebagian lagi berkata, “Kita tiup terompet. Jika orang-orang mendengarnya, mereka tahu bahwa waktu shalat telah masuk.”
Sebagian lainnya berkata, “Kita gunakan lonceng.” Mereka menyebutkan berbagai usulan.
Allah ‘Azza wa Jalla memudahkan bagi umat ini cara pemberitahuan masuknya waktu shalat yang sekaligus menjadi ibadah kepada-Nya. Maka Abdullah bin Zaid bin ‘Abdir Rabbih melihat dalam mimpinya seorang laki-laki yang mengelilinginya, lalu memberitahunya tata cara adzan dan berkata kepadanya, “Katakanlah: Allahu akbar, Allahu akbar,” dan ia menyebutkan seluruh lafal adzan dengan empat kali takbir. Adapun iqamah, ia menyebutkan satu-satu: “Allahu akbar, asyhadu an la ilaha illallah, asyhadu anna Muhammadan Rasulullah, hayya ‘alashshalah, hayya ‘alal falah,” kecuali ucapan “qad qamatishshalah,” yang diulang dua kali.
Ketika pagi datang, Abdullah radhiyallahu ‘anhu pergi menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan mimpinya. Beliau bersabda,
إنَّها لَرُؤْيَا حَقٌّ
“Sesungguhnya itu adalah mimpi yang benar…”
Beliau menyetujuinya serta memerintahkan Abdullah bin Zaid untuk mengajarkannya kepada Bilal radhiyallahu ‘anhu agar ia yang mengumandangkan adzan tersebut, karena Bilal memiliki suara yang lebih merdu dan lebih lantang daripada Abdullah. Maka Bilal pun mengumandangkan adzan dengan lafal tersebut.
Umar juga datang. Ketika ia mendengar tentang adzan, ia berkata, “Wahai Rasulullah, aku juga melihat seperti yang ia lihat.” Maka mimpi itu pun saling bersesuaian dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membenarkannya. Sejak itu kaum muslimin —walillahilhamd— mengetahui masuknya waktu shalat dengan takbir ini yang mengandung pengagungan terhadap Allah ‘Azza wa Jalla, tauhid yang murni, persaksian bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allah, ajakan kepada shalat, ajakan kepada keberuntungan, dan penutupnya kalimat tauhid. Maka adzan ini adalah dzikir yang agung sekaligus pemberitahuan akan masuknya waktu shalat.
Faedah Hadis
Di antara faedah dari hadis ini:
1️⃣ Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menganugerahkan nikmat kepada umat ini dengan menjadikan penanda untuk shalat berupa dzikir yang agung (yaitu adzan). Sementara orang-orang Yahudi menggunakan trompet yang mereka tiup agar terdengar suaranya saat waktu shalat mereka dan orang-orang Nasrani memukul naqus —yaitu benda yang menyerupai lonceng yang mereka pukul — untuk memberitahu masuknya waktu shalat mereka. Adapun umat ini, Allah memilihkan bagi mereka dzikir (adzan) ini sebagai penanda waktu shalat, walhamdulillah.
2️⃣ Bahwa seseorang wajib mengucapkan seluruh bagian adzan, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya itu adalah mimpi yang benar…” Jika ia mengurangi satu takbir atau satu tahlil, maka adzannya tidak sah.
3️⃣ Adzan juga harus diucapkan secara berurutan. Sebab, jika suatu dzikir telah datang dalam sifat tertentu, maka ia harus dibaca sesuai sifat tersebut. Jika seseorang membalik susunannya, berarti ia melakukan amalan yang tidak sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak ada perintah dari kami, maka amalan itu tertolak.” (Diriwayatkan oleh Muslim)
4️⃣ Keutamaan shalat, yaitu bahwa Allah menjadikan pemberitahuan masuknya waktunya dengan dzikir yang agung ini (adzan).
5️⃣ Menghadiri shalat adalah salah satu sebab keberuntungan, yaitu meraih apa yang diinginkan dan selamat dari hal yang ditakuti. Oleh karena itu, muadzin mengucapkan, “Hayya ‘alashshalah” (Mari menuju shalat), yakni datanglah kepadanya. Lalu langsung berkata setelah itu, “Hayya ‘alal falah” (Mari menuju keberuntungan), sebagai isyarat bahwa menghadiri shalat itulah keberuntungan sejati.
6️⃣ Dzikir ini dimulai dengan mengagungkan Allah dan ditutup dengan mentauhidkan Allah, diawali dengan ucapan, “Allahu Akbar” dan ditutup dengan “La ilaha illallah”, sebagai isyarat bahwa seseorang harus bersungguh-sungguh dalam tauhid, agar hidupnya diakhiri dengannya. Adzan ini, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menutup kehidupannya dengannya, sehingga jika seseorang wafat dan akhir ucapannya adalah “La ilaha illallah”, maka ia masuk Surga. (Diriwayatkan oleh Abu Dawud)
7️⃣ Pengamalan terhadap mimpi dan pembenarannya sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membenarkannya.
8️⃣ Mimpi bisa jadi benar dan bisa juga tidak benar. Apa yang dilihat seseorang dalam tidurnya terbagi menjadi tiga jenis: bisa berupa mimpi yang datang dari Allah, atau mimpi dari setan, atau gambaran-gambaran dari hal-hal yang ia pikirkan saat terjaga. Oleh karena itu, orang-orang Najd berkata, “Mimpi orang Najd hanyalah bisikan hati mereka,” yakni jika seseorang membicarakan sesuatu dalam dirinya dan peduli terhadapnya, maka bisa jadi ia melihatnya dalam mimpinya. Jadi, semua mimpi manusia masuk ke dalam salah satu dari tiga kategori: mimpi dari Allah, mimpi dari setan, atau bisikan jiwa (lintasan pikiran) yang dipikirkannya lalu ia melihatnya dalam tidurnya.
Adzan adalah fardu kifayah. Wajib atas kaum muslimin untuk mengumandangkan adzan pada waktu setiap shalat. Jika adzan telah dilakukan oleh orang yang mencukupi, maka gugurlah dari yang lain. Karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadis Malik bin al-Huwairits,
إِذَا حَضَرَتِ الصَّلَاةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ
“Jika telah masuk waktu shalat, hendaklah salah seorang dari kalian mengumandangkan adzan.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim)
Kemudian, adzan sebaiknya dikumandangkan oleh seorang laki-laki yang memiliki suara lantang, bagus bacaannya, dan kuat suaranya. Jika adzan dilakukan dari tempat yang tinggi, maka itu lebih utama dan lebih baik. Dan sungguh Allah –walahulhamd– telah memudahkan pada zaman kita ini dengan hadirnya alat pengeras suara, yaitu mikrofon, sehingga muadzin mengumandangkan adzan dari dalam masjid, dan adzannya terdengar dari atas menara. Ini termasuk nikmat dari Allah ‘Azza wa Jalla, karena pengeras suara (mikrofon) memiliki suara yang lebih kuat, jangkauan yang lebih luas, serta memberikan kemudahan dan keringanan.
Syarat Adzan
Hendaklah diketahui bahwa adzan memiliki beberapa syarat, di antaranya adalah bahwa adzan dikumandangkan setelah masuknya waktu shalat. Maka, tidak sah mengumandangkan adzan sebelum waktu masuk, baik untuk shalat Subuh maupun selainnya, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا حَضَرَتِ الصَّلَاةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ
“Jika telah masuk waktu shalat, hendaklah salah seorang dari kalian mengumandangkan adzan.”
Dan di antara syaratnya adalah bahwa adzan harus dikumandangkan oleh seseorang dengan cara yang paling sempurna, tidak boleh dilafalkan dengan kesalahan yang mengubah makna. Maka, adzan tidak sah jika seseorang mengucapkan “Aallahu akbar”, atau “Allahu akbaar”, atau “Aallahu aakbar”. Demikian pula, menurut banyak ulama, adzan tidak sah jika seseorang mengatakan “Asyhadu an Muhammadan Rasulullah”, karena harus diucapkan “Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah”.
Di antara syaratnya adalah bahwa adzan harus dilakukan secara berurutan. Jika seseorang memulai dengan syahadat sebelum takbir, maka tidak sah. Hendaklah memulai dengan takbir terlebih dahulu, lalu syahadat bahwa tidak ada ilah selain Allah, kemudian syahadat bahwa Muhammad adalah utusan Allah, lalu “hayya ‘alashshalah”, lalu “hayya ‘alal falah”, kemudian takbir, dan terakhir tahlil (la ilaha illallah). Disunahkan pula dalam adzan fajar, yaitu adzan setelah terbit fajar, untuk mengucapkan “ash-shalatu khairun minannaum” (shalat lebih baik daripada tidur) dua kali setelah ucapan “hayya ‘alal falah”. Namun hal ini tidak wajib, hanya saja yang lebih utama adalah mengucapkannya, seakan-akan muadzin berkata kepada orang-orang, “Bangunlah untuk shalat, karena shalat lebih baik daripada tidur.”
Baca juga: ADZAN DIKUMANDANGKAN JIKA SUDAH MASUK WAKTUNYA
Baca juga: ADAB ADZAN
Baca juga: MIMPI ORANG BERIMAN
(Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)

