SIFAT SHALAT NABI – TAKBIRATUL IHRAM

SIFAT SHALAT NABI – TAKBIRATUL IHRAM

Ia berniat dan bertakbir seraya mengucapkan: “Allahu akbar” (Allah Mahabesar), (yaitu) lebih besar dari segala sesuatu dalam keagungan dan kebesaran. Mahasuci dan Mahatinggi Allah, tidak ada satu pun yang lebih besar daripada Allah Ta’ala dalam keagungan dan kebesaran. Maka Dia lebih besar dari segala sesuatu.

Mahasuci Allah Yang Mahaagung! Betapa agungnya hikmah Allah!

Takbir dipilih di sini (sebagai pembuka shalat) dibanding tasbih, karena takbir menunjukkan keagungan dan ketinggian derajat. Maka pemilihan takbir ketika memulai shalat sangatlah sesuai dengan hikmah ini.

Tidak bisa tidak harus dengan takbir pertama, yaitu takbiratul ihram, yang tanpanya shalat tidak sah. Ia dinamakan demikian karena ketika seseorang mengucapkan takbir, ia telah masuk ke dalam “wilayah larangan” shalat, sebagaimana seorang yang berihram untuk haji atau umrah memasuki wilayah larangan ibadah (nusuk). Ketika ia mengucapkan: “Allahu akbar”, maka haram baginya semua hal yang diharamkan atas orang yang sedang shalat.

Dalil tentang hal ini adalah hadis orang yang buruk shalatnya.

Diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa seorang laki-laki masuk masjid dan shalat, sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di sudut masjid. Setelah shalat laki-laki itu menghampiri Nabi dan memberi salam.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya,

لَهُ ارْجِعْ فَصَلِّ، فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ

Kembalilah dan shalatlah, karena sesungguhnya engkau belum shalat.”

Orang itu mengulangi shalatnya dan (setelah itu) mengucapkan salam (kepada Nabi).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berucap lagi kepadanya,

لَهُ ارْجِعْ فَصَلِّ، فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ

Kembalilah dan shalatlah, karena sesungguhnya engkau belum shalat.”

Pada kali ketiga, orang itu berkata, “Ajarilah aku shalat!”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلَاةِ، فَأَسْبِغْ الْوُضُوءَ، ثُمَّ اسْتَقْبِلْ الْقِبْلَةَ، فَكَبِّرْ وَاقْرَأْ بِمَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ، ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا، ثُمَّ ارْفَعْ رَأْسَكَ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَسْتَوِيَ وَتَطْمَئِنَّ جَالِسًا، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَسْتَوِيَ قَائِمًا، ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلَاتِكَ كُلِّهَا

Jika engkau hendak shalat, berwudulah dengan sempurna, kemudian menghadaplah ke kiblat, lalu bertakbirlah, dan bacalah al-Qur’an yang mudah bagimu, kemudian rukuklah hingga engkau rukuk dengan tenang, kemudian angkatlah kepalamu hingga engkau berdiri dengan tenang, kemudian sujudlah hingga engkau sujud dengan tenang, kemudian bagkitlah hingga engkau duduk dengan tenang, kemudian sujudlah hingga engkau sujud dengan tenang, kemudian bangkitlah hingga engkau berdiri dengan tenang, kemudian lakukanlah semua itu dalam semua shalatmu.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Dapat dipahami bahwa semua yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadis yang dikenal dengan hadis “orang yang buruk shalatnya” ini hukumnya rukun yang tidak sah shalat seseorang tanpanya. Bisa juga disebut kewajiban yang tidak layak shalat seseorang tanpanya, karena Rasulullah memasukkan wudhu yang sempurna yang bukan rukun shalat, melainkan syarat shalat, pada hadis ini.

Hadis ini menunjukkan bahwa hukum takbiratul ihram adalah wajib. Jika seseorang tidak mampu mengucapkannya karena bisu, maka aku tegaskan bahwa ia cukup berniat saja, karena ucapan “Allahu akbar” mencakup ucapan lisan dan ungkapan hati, dimana ucapan “Allahu akbar” tidak diterima tanpa ungkapan hati dan keinginan untuk itu. Oleh karena itu, ia wajib mengungkapkannya dalam hati tanpa perlu menggerakkan lisan dan bibir. Menggerakkan lisan dan bibir hanyalah sarana untuk mencapai tujuan ucapan “Allahu akbar”, sehingga ucapan itu baru dapat direalisasikan dengan menggerakkan lisan dan bibir. Akan tetapi, jika tujuan tidak tercapai dengan sarana tersebut, maka sarana tersebut menjadi gugur.

Tanya: Apakah dalam mengucapkan “Allahu akbar,” dipersyaratkan bahwa ucapan itu harus didengar oleh diri sendiri?

Jawab: Terkait hal ini terdapat perbedaan pendapat. Sebagian ulama berpendapat bahwa suara harus dikeluarkan hingga terdengar oleh diri sendiri, meskipun tidak terdengar oleh orang yang berada di sampingnya. Ia harus membuat dirinya mendengar suaranya. Jika mengucapkannya tanpa ia sendiri mendengarnya, maka ucapan itu dianggap tidak ada. Namun pendapat ini lemah. Pendapat yang benar adalah bahwa ucapan itu tidak dipersyaratkan dapat didengar oleh diri sendiri. Menjadikan ucapan terdengar merupakan salah satu spesifikasi dari berbicara atau melontarkan ucapan. Untuk mengabsahkan spesifikasi tertentu di luar ajaran sunah dibutuhkan dalil.

Jika seseorang yakin bahwa huruf-huruf telah keluar dari mulutnya, tetapi ia tidak mendengarnya, bisa jadi hal itu karena pendengarannya lemah, atau karena suara di sekitarnya lebih dominan, atau tanpa sebab yang jelas. Dalam keadaan demikian, maka ucapannya sah. Yang penting, ia yakin bahwa ia telah mengucapkan huruf-huruf kalimatnya. Hal itu berlaku pula pada ucapan-ucapan lain dalam shalat.

Lafaz “Allahu akbar” tidak dapat digantikan dengan lafaz lain, meskipun maknanya senada, seperti “Allahu al-ajal”, “Allahu ajal”, “ Allahu a‘dzam”. Semua lafaz itu tidak sah diucapkan di sini karena lafaz-lafaz dzikir bersifat tauqifiyah, yaitu harus sesuai dengan yang disebutkan dalam nash (dalil), dan tidak boleh diganti dengan lafaz lain.

Jika seseorang mengucapkan: “Aallahu akbar” (dengan memanjangkan huruf hamzah di awal), maka tidak sah, karena ketika ia mengatakan “Aallah”, maka kalimat berita itu berubah menjadi kalimat tanya, seperti dalam firman Allah Ta’ala:

ءَآللَّهُ خَيْرٌ أَمَّا يُشْرِكُونَ

Apakah Allah yang lebih baik, ataukah apa yang mereka persekutukan?” (QS an-Naml: 59)

Padahal kamu sedang menyatakan bahwa Allah Mahabesar, bukan sedang mempertanyakan: “Apakah Allah Mahabesar?”

Telah diketahui bahwa ini adalah kesalahan dalam pelafalan, yaitu jika kamu mengatakan “Aallahu akbar”, maka itu adalah kesalahan yang mengubah makna.

Jika kamu mengucapkan: “Allahu Akbaar” dengan memanjangkan huruf ba’, maka para ulama mengatakan tidak sah. Sebab, “Akbaar” adalah bentuk jamak dari kubar, seperti ka’sab (jamak dari sabab) dan abthal (jamak dari bathal). Sementara al-kubar dalam bahasa Arab adalah nama untuk gendang besar yang dipukul dalam lagu-lagu dan nyanyian. Hal ini merusak dan mengacaukan makna, maka takbir tidak sah dalam keadaan demikian.

Jika seseorang berkata: “Allahu Wakbar”, karena sebagian orang mengganti huruf hamzah dengan huruf waw, sehingga ia berkata: “Allahu Wakbar.” Jawabannya, hal ini tetap dianggap sah karena dalam bahasa Arab diperbolehkan mengganti hamzah dengan waw apabila didahului oleh harakat dhammah (u). Dengan demikian, makna tidak berubah. Kecuali jika seseorang memang bermaksud menjadikan waw sebagai huruf ‘athaf (penghubung), maka dalam hal itu tidak diragukan lagi bahwa maknanya menjadi rusak. Namun, secara umum orang yang mengucapkannya tidak bermaksud seperti itu, melainkan yang ia maksud dengan ucapannya “Allahu wakbar” adalah “Allahu akbar.”

Tanya: Jika seseorang tidak mampu berbahasa Arab dan tidak mampu mengucapkan “Allahu akbar”, apa yang harus ia lakukan?

Jawab: Terdapat kaidah syariat, berdasarkan firman Allah Ta’ala:

لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَا ۗ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.” (QS al-Baqarah: 286)

Allah Ta’ala berfirman:

فَاتَّقُوا اللّٰهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوْا وَاَطِيْعُوْا وَاَنْفِقُوْا خَيْرًا لِّاَنْفُسِكُمْۗ وَمَنْ يُّوْقَ شُحَّ نَفْسِهٖ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ

Maka bertakwalah kalian kepada Allah menurut kesanggupan kalian, dan dengar serta taatlah, dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk diri kalian. Barang siapa dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS at-Taghabun: 16)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ، فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ

Jika aku memerintahkan sesuatu kepada kalian, maka lakukanlah sebisa kalian.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Jadi, jika seseorang benar-benar tidak bisa berbahasa Arab, maka bertakbirlah dengan bahasa sendiri.

Tanya: Kenapa tidak diperintahkan saja orang tersebut meniatkan takbir dalam hatinya?

Jawab: Ia boleh bertakbir dengan bahasa sendiri karena takbir mengandung tiga unsur, yaitu ungkapan hati, lafaz secara lisan, yakni berbahasa Arab, dan makna yang terkandung dalam ungkapan tersebut.

Orang yang tidak bisa berbahasa Arab masih bisa bertakbir dengan hatinya dan mampu bertakbir dengan makna takbir tersebut. Kita dapat mengacu pada ayat, “Maka bertakwalah kalian kepada Allah menurut kesanggupan kalian, dan dengar serta taatlah, dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk diri kalian. Barang siapa dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS at-Taghabun: 16)

Dengan demikian, kita tegaskan bahwa jika ia dapat melakukan dua unsur, sedangkan unsur ketiga tidak mampu, maka lakukanlah dua unsur tersebut, yakni bertakbir dalam hati dan bertakbir dengan makna takbir secara lisan. Sedangkan unsur yang ketiga, yaitu bertakbir dengan lafaz bahasa Arab gugur dari kewajibannya, karena ia tidak mampu melakukannya.

Makna Ucapan “Allahu akbar”

Makna ucapan “Allahu akbar” adalah Allah lebih besar dari apa pun, baik pada zat-Nya, nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, serta semua yang tercakup dalam makna kalimat tersebut.

Allah Ta’ala berfirman:

وَمَا قَدَرُوا اللّٰهَ حَقَّ قَدْرِهٖۖ وَالْاَرْضُ جَمِيْعًا قَبْضَتُهٗ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ وَالسَّمٰوٰتُ مَطْوِيّٰتٌۢ بِيَمِيْنِهٖ ۗسُبْحٰنَهٗ وَتَعٰلٰى عَمَّا يُشْرِكُوْنَ

Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya, padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada Hari Kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Mahasuci Dia dan Mahatinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.” (QS az-Zumar : 67)

Allah Ta’ala juga berfirman:

يَوْمَ نَطْوِى السَّمَاۤءَ كَطَيِّ السِّجِلِّ لِلْكُتُبِۗ كَمَا بَدَأْنَآ اَوَّلَ خَلْقٍ نُّعِيْدُهٗۗ وَعْدًا عَلَيْنَاۗ اِنَّا كُنَّا فٰعِلِيْنَ

(Yaitu) pada hari Kami menggulung langit sebagaimana menggulung lembaran-lembaran kertas. Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama, begitulah Kami akan mengulanginya. Itulah janji yang pasti Kami tepati. Sesungguhnya Kami-lah yang akan melaksanakannya.” (QS al-Anbiya’: 104)

Dengan keagungan-Nya, Allah lebih besar dari apa pun.

Adapun maknanya telah disinggung oleh Allah sendiri dalam firman-Nya:

وَلَهُ الْكِبْرِيَاۤءُ فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ ۗوَهُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ

Dan bagi-Nya keagungan di langit dan di bumi. Dia-lah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (QS al-Jatsiyah: 37)

Dengan demikian, segala makna keagungan dan keberasan yang terkandung dalam kalimat “Allahu akbar” menjadi milik Allah.

Cara Mengucapkan Kalimat Takbir

Para ulama menyatakan bahwa makruh memanjangkan bacaan takbir, walaupun saat bangkit dari sujud untuk berdiri dan saat menuju sujud dari berdiri, dimana keduanya berlangsung dalam waktu yang lama. Mereka mengatakan bahwa yang demikian itu tidak diriwayatkan dalam as-Sunnah.

Namun, pendapat yang zahir —wallahu a’lam— bahwa perkara ini bersifat fleksibel, asalkan tidak merusak makna. Hanya saja memanjangkan bacaan takbir tidak lebih afdhal daripada memendekkannya, sebagaimana yang diyakini oleh banyak orang.

Sebagian orang menyatakan bahwa takbir untuk rukuk, sujud, duduk tasyahud, dan duduk di antara dua sujud harus memiliki cara tersendiri. Tujuannya adalah agar makmum menjadi seperti alat yang bergerak. Menurut mereka apabila takbir-takbir itu berbeda, maka makmum dapat mengikutinya, meskipun hati mereka sedang melayang. Jika imam bertakbir untuk sujud, maka mereka akan ikut sujud. Jika imam bertakbir untuk bangkit berdiri, maka mereka akan ikut bangkit berdiri. Akan tetapi, bila imam memendekkan semua takbir dan tidak membedakannya, maka makmum harus menghadirkan hati dan memusatkan perhatiannya agar mereka dapat mengikuti imam. Apabila mereka tidak menghadirkan hati dan memusatkan perhatiannya, dikhawatirkan mereka bangkit berdiri pada saat harus duduk, atau duduk pada saat harus berdiri. Adapun makmum masbuk, bisa jadi ia bingung jika takbir-takbir itu tidak dibedakan.

Namun kekhawatiran di atas dapat diatasi dengan cara berikut:

Pertama: Sesungguhnya tidak pernah dinukil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau membeda-bedakan satu takbir dengan takbir lainnya. Bahkan zahir perbuatan beliau menunjukkan bahwa beliau tidak membeda-bedakan takbir.

Ketika selesai membuat mimbar khotbah, beliau shalat di atasnya lalu bersabda,

 أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّمَا صَنَعْتُ هَذَا لِتَأْتَمُّوا وَلِتَعَلَّمُوا صَلَاتِي

Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku berbuat seperti tadi agar kalian mengikuti dan agar kalian dapat mengambil pelajaran tentang tata cara shalatku..” (HR al-Bukhari)

Kalau beliau membeda-bedakan takbir, tentu orang-orang akan mengikutinya, meskipun beliau tidak sedang di atas mimbar.

Kedua: Kami tegaskan bahwa orang yang masbuk dapat mengetahui keadaan shalat dengan mengikuti orang yang berada di dekatnya yang tidak masbuk. Yang terpenting adalah ia harus mengikuti sunah sambil memperoleh faedah dengan menghadirkan hati dan memusatkan perhatian sehingga ia betul-betul mengetahui jumlah rakaat yang telah dilaksanakan.

Para ulama fikih menegaskan bahwa memanjangkan takbir adalah makruh. Sebagian ulama berpendapat bahwa memanjangkan takbir saat menuju sujud atau bangkit dari sujud dibolehkan karena panjangnya jarak antara kedua rukun itu. Namun pendapat ini tidak ada dalilnya.

Baca setelahnya: SIFAT SHALAT NABI – MENGANGKAT KEDUA TANGAN KETIKA TAKBIR

(Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)

Fikih Sifat Shalat Nabi