TURUNNYA WAHYU DAN MASA TERPUTUSNYA

TURUNNYA WAHYU DAN MASA TERPUTUSNYA

Malaikat pembawa wahyu pertama kali mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam secara tiba-tiba pada hari Senin, tanggal dua puluh satu Ramadan, pada tahun keempat puluh setelah kelahirannya, yaitu ketika beliau berdiam di gua Hira.

“Bacalah!” perintah malaikat kepada beliau.

Beliau berkata, “Aku tidak bisa membaca.”

Malaikat memeluk beliau sehingga beliau kepayahan, lalu melepaskan beliau dan berkata, “Bacalah!”

Beliau berkata, “Aku tidak bisa membaca.”

Malaikat kembali memeluk beliau sehingga beliau kepayahan, lalu melepaskan beliau dan berkata, “Bacalah!”

Beliau berkata, “Aku tidak bisa membaca.”

Malaikat kembali memeluk beliau dengan kuat sehingga beliau kepayahan, lalu melepaskan beliau dan berkata, “Bacalah dengan (menyebut) nama Rabbmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Rabbmu Yang Mahamulia, Yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS al-Alaq: 1-5)

Setelah itu beliau segera pulang dalam keadaan menggigil. Beliau masuk menemui Khadijah dan berkata, “Selimutilah aku!

Khadijah menyelimuti beliau sehingga rasa takut beliau berkurang.

Beliau berkata, “Wahai Khadijah, ada apa denganku?

Beliau pun menceritakan apa yang telah terjadi. Kemudian beliau berkata, “Sungguh, aku takut akan diriku.

“Sekali-kali tidak!” kata Khadijah menenangkan. “Demi Allah, Allah tidak akan menghinakanmu. Engkau adalah orang yang senantiasa menyambung tali silaturahmi, membantu orang yang membutuhkan, meringankan orang yang tidak memiliki apa-apa, memuliakan tamu dan menolong dalam jalan kebenaran.”

Kemudian Khadijah membawa suaminya menemui putra pamannya, Waraqah bin Naufal bin Asad bin Abdul Uzza. Ia adalah seorang laki-laki yang telah masuk Nasrani pada masa jahiliah. Ia bisa menulis dalam bahasa Ibrani. Ia telah menulis Injil dalam bahasa Ibrani sebanyak yang ia mau. Ia telah buta karena usianya yang sangat tua.

Khadijah berkata kepada Waraqah, “Dengarkan apa yang akan dikatakan oleh putra saudaramu!”

Waraqah berkata kepada beliau “Wahai saudaraku, apa yang telah engkau lihat?”

Rasul pun menceritakan peristiwa yang dialaminya.

Waraqah berkata, “Ia adalah malaikat yang diturunkan kepada Musa. Duhai, seandainya ketika itu aku masih hidup dan masih kuat, yaitu ketika kaummu mengusirmu.”

Apakah mereka akan mengusirku?” tanya beliau.

“Ya,” jawab Warawah. “Tidak seorang pun yang datang membawa apa yang engkau bawa melainkan ia dimusuhi dan disakiti. Jika aku masih hidup saat itu, niscaya aku akan menolongmu dengan sekuat tenaga.”

Tak lama kemudian Waraqah pun meninggal dunia.

Setelah peristiwa itu, kedatangan Jibril ‘alaihissalam kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terputus selama beberapa lama. Para ulama berbeda pendapat tentang lamanya. al-Buthi berkata, “Yang kuat adalah yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi bahwasanya masa tersebut adalah enam bulan.” Dikatakan bahwa yang paling mendekati kebenaran adalah yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa masa terputusnya wahyu adalah empat puluh hari. Dikatakan pula bahwa masa itu hanya beberapa hari.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi gelisah karena terputusnya wahyu.

Setelah masa terputusnya wahyu, wahyu kembali turun kepada beliau. Ketika itu beliau tengah berjalan. Tiba-tiba beliau mendengar sebuah suara dari langit. Beliau mengangkat kepalanya. Ternyata malaikat yang mendatangi beliau di gua Hira tengah duduk di atas kursi di antara langit dan bumi. Beliau menjadi takut dan segera pulang.

Sesampai di rumah beliau berkata kepada Khadijah, “Selimuti aku, selimuti aku!

Maka Allah Ta’ala menurunkan firman-Nya: “Wahai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan; dan agungkanlah Rabbmu, dan bersihkanlah pakaianmu, dan tinggalkanlah segala (perbuatan) yang keji.” (QS al-Muddatstsir: 1-5)

Setelah ini wahyu pun turun secara terus menerus.

Tingkatan-Tingkatan Wahyu

Ibnul Qayyim berkata, “Sesungguhnya Allah telah menyempurnakan tingkatan-tingkatan wahyu untuk Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tingkatan wahyu itu adalah sebagai berikut:

Pertama. Mimpi yang benar. Ini merupakan permulaan dari wahyu Allah kepada beliau, sebagaimana hadis dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Permulaan wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah mimpi yang benar di dalam tidurnya. Beliau tidak bermimpi melainkan menjadi kenyataan seperti terangnya cahaya subuh.”

Kedua. Apa yang dimasukkan ke dalam hati beliau tanpa dilihat oleh beliau. Hal itu sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya Ruhul Qudus telah meniupkan ke dalam hatiku bahwasanya satu jiwa tidak akan mati sampai rezekinya sempurna. Maka bertakwalah kepada Allah dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari nafkah.”

Ketiga. Bahwasanya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangi Malaikat dalam bentuk seorang laki-laki. Malaikat itu berbicara kepada beliau sehingga beliau memahami apa yang disampaikan. Untuk tingkatan wahyu ini terkadang para hahabat dapat menyaksikan.

Keempat. Bahwa malaikat mendatangi beliau seperti dentingan lonceng. Tingkatan wahyu ini adalah tingkatan yang paling berat bagi beliau, sehingga keringat keluar dari kening beliau, padahal hari sangat dingin. Bahkan tunggangan beliau terduduk ke tanah.

Kelima. Beliau melihat malaikat dalam bentuk asli sebagaimana ia diciptakan, dan kemudian mewahyukan apa yang dikehendaki Allah. Ini terjadi dua kali sebagaimana yang terdapat di surat an-Najm.

Keenam. Apa yang diwahyukan Allah kepada beliau ketika beliau berada di langit pada malam Mi’raj tentang kewajiban salat dan yang lainnya.

Ketujuh. Allah berfirman secara langsung kepada beliau tanpa perantara malaikat, sebagaimana Allah berbicara langsung kepada Musa bin Imran. Tingkatan ini dipastikan juga dimiliki oleh Nabi Musa sesuai dengan firman Allah Ta’ala: “Dan kepada Musa, Allah berfirman langsung.” (QS an-Nisa’: 164) Sedangkan Nabi kita mengalaminya ketika Isra’ Mi’raj, yaitu ketika beliau bersabda, “…kemudian aku dibawa sampai ke tingkat dimana aku bisa mendengar suara goresan pena.” Juga dipahami dari hadis tentang kembalinya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta keringanan salat dari lima puluh rakaat menjadi lima rakaat, bahwa itu terjadi melalui berbicara langsung tanpa perantara.

Baca sebelumnya: MENYENDIRI DI GUA HIRA

Baca sesudahnya: DAKWAH SECARA SEMBUNYI-SEMBUNYI

(Prof Dr Mahdi Rizqullah Ahmad)

Kisah Sirah Nabawiyah