DUA HAL YANG MEWAJIBKAN MANDI BESAR

DUA HAL YANG MEWAJIBKAN MANDI BESAR

115. Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ٱلْمَاءُ مِنَ ٱلْمَاءِ

Air karena air.” (Diriwayatkan oleh Muslim, dan asal hadis ini terdapat dalam al-Bukhari)

116. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الْأَرْبَعِ، ثُمَّ جَهَدَهَا، فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ

Apabila seorang laki-laki duduk di antara empat anggota tubuh perempuan, lalu bersungguh-sungguh (dalam jima’), maka wajib mandi.” (Muttafaq ‘alaih)

117. Muslim menambahkan:

وَإِنْ لَمْ يُنْزِلْ

Meskipun tidak keluar mani.”

PENJELASAN

al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam kitabnya Bulughul Maram, pada Bab Mandi Besar dan Hukum Orang Junub:

Penulis bermaksud dalam bab ini untuk menjelaskan hal-hal yang mewajibkan mandi, tata cara mandi, dan hukum terkait orang junub.

Adapun mandi besar adalah menyucikan seluruh tubuh manusia dari kepala hingga ujung kaki.

Allah Ta’ala berfirman:

وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا

Jika kalian junub, maka bersucilah.” (QS al-Ma’idah: 6)

Allah tidak mengkhususkan satu anggota tubuh saja tanpa yang lain, bahkan wajib bagi seseorang dalam mandi besar untuk berkumur dan menghirup air ke dalam hidung, karena thaharah (bersuci) terdiri dari dua jenis.

Pertama: Bersuci dari hadas kecil yang mewajibkan wudhu saja, yaitu menyucikan empat anggota tubuh: wajah, kedua tangan, kepala, dan kedua kaki.

Kedua: Bersuci besar yang mewajibkan mandi besar, yaitu membasuh seluruh tubuh.

Dalam bab ini, penulis rahimahullah menjelaskan apa yang mudah dari perkara tersebut. Beliau menyebutkan hadis Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Air karena air.”

Maksud dari air pertama adalah air untuk bersuci yang digunakan untuk mandi, sedangkan air kedua adalah air mani.

Maknanya, bahwa mandi besar tidak diwajibkan kecuali karena keluarnya air mani. Ini berlaku pada permulaan Islam, bahwa mandi besar tidak diwajibkan kecuali jika terjadi keluarnya mani. Bahkan, jika seseorang berjima’ tanpa keluar mani, maka tidak wajib atasnya mandi.

Dalam hadis ini terdapat dalil bahwa kapan saja mani keluar, wajib mandi besar, baik mani itu keluar karena jima’, atau karena mencium, atau karena memeluk, atau karena bercumbu dengan istrinya, atau karena berfantasi, atau sebab lainnya. Yang penting, mani keluar disertai syahwat.

Adapun jika mani keluar karena sakit pada seseorang, maka itu tidak mewajibkan mandi besar, melainkan mewajibkan wudhu saja. Karena air (mani) yang mewajibkan mandi besar adalah mani yang memancar, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

فَلْيَنْظُرِ الْإِنْسَانُ مِمَّ خُلِقَ. خُلِقَ مِنْ مَاءٍ دَافِقٍ

Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah ia diciptakan. Ia diciptakan dari air yang terpancar.” (QS ath-Thariq: 5-6)

Sebab, mani yang memancar, dengan izin Allah, keluar dari seluruh tubuh.

Adapun mani yang tidak memancar, maka itu tidak mewajibkan mandi besar, kecuali bila keluar dari orang yang tidur. Jika orang tidur bangun dan mendapati mani pada pakaiannya, maka wajib atasnya mandi besar, meskipun ia tidak mengingat mengalami mimpi. Hal itu karena orang tidur tidak merasakan, mungkin saja ia bermimpi basah dan merasakan kenikmatan, serta mani keluar darinya dengan syahwat, namun tanpa ia sadari.

Kesimpulannya: keluarnya mani, jika terjadi pada orang yang sadar (terjaga), maka harus disertai dengan kenikmatan agar mewajibkan mandi besar. Adapun jika keluar tanpa disertai kenikmatan, maka tidak wajib kecuali hanya wudhu. Kecuali jika berasal dari orang yang tidur, yaitu ketika ia bangun dan mendapati mani pada pakaiannya atau pada pahanya, maka wajib atasnya untuk mandi besar.

Hikmah dari hal ini adalah bahwa ketika sesuatu ini (mani) keluar dari seseorang, maka ia menjadi dalam keadaan junub, yaitu terhalang dari kondisi yang seharusnya ia berada dalam ketaatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Ini adalah faedah syar’i. Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman:

فاطَّهَّروا

Maka bersucilah kalian.”

Seakan-akan sebelum mandi, ia tidak dalam keadaan suci, meskipun tidak najis secara fisik. Namun ia tidak berada dalam kesucian maknawi (kesucian syar’i), sehingga ia membutuhkan penyucian (mandi).

Di sana terdapat faedah medis, yaitu bahwa tubuh, apabila keluar darinya air mani, akan mengalami keletihan dan kelemahan. Mandi dengan air akan menyegarkan tubuh dan mengembalikan kekuatannya.

Ini adalah salah satu sebab yang mewajibkan mandi besar, yaitu keluarnya mani.

Kewajiban kedua adalah jima’ (hubungan badan). Kapan saja seorang laki-laki menggauli istrinya, baik ia mengeluarkan mani atau tidak, wajib atasnya mandi besar, baik ia memasukkan seluruh zakarnya atau hanya kepala zakarnya (hasyafah) saja. Oleh karena itu, disebutkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika seorang laki-laki duduk di antara empat anggota tubuh istrinya lalu bersungguh-sungguh, maka wajib mandi.”

Sabda beliau, “Jika duduk di antara empat bagian tubuhnya,” maksudnya adalah kedua tangan dan kedua kaki. Ini merupakan kiasan tentang hubungan badan. Oleh karena itu, beliau bersabda, “lalu bersungguh-sungguh,” yaitu memasukkan zakarnya ke dalam kemaluan istrinya, walaupun hanya sebatas kepala zakar. Hal ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِذَا الْتَقَى الْخِتَانَانِ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ

Apabila dua khitan bertemu, maka wajib mandi.” (Diriwayatkan oleh Ahmad, at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah)

Yang dimaksud dengan dua khitan adalah khitan laki-laki, yaitu bagian yang batasnya dari atas kepala zakar dan khitan perempuan.

Apabila kepala zakar (hasyafah) telah masuk, maka wajib mandi bagi laki-laki dan perempuan, baik mani keluar ataupun tidak.

Masalah kedua ini sering tersembunyi (tidak diketahui) oleh sebagian orang. Oleh karena itu, siapa saja yang mengetahui hal ini hendaklah menyebarkannya di antara saudara-saudaranya sesama muslim agar mereka tidak salah paham. Sebab sebagian orang, setelah menikah dalam waktu yang lama, tetap berhubungan dengan istrinya, namun tidak mengeluarkan mani, dan mereka tidak mandi besar disebabkan ketidaktahuan. Kemudian, setelah sadar, dikatakan kepada mereka, “Qadha-lah shalat-shalat yang telah kalian tinggalkan,” sehingga mereka mengalami kelelahan, kesusahan, dan kesulitan.

Jika hukum ini disebarkan di tengah masyarakat dan mereka mengetahuinya, masalah ini akan hilang. Oleh karena itu disebutkan dalam riwayat Muslim:

فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ، وَإِنْ لَمْ يُنْزِلْ

Maka wajib mandi, meskipun tidak keluar mani.”

Maka dua hal ini mewajibkan mandi besar: yang pertama, keluarnya mani, dan yang kedua, jima’ (hubungan badan) meskipun tidak keluar mani.

Baca juga: HAL-HAL YANG MEWAJIBKAN MANDI

Baca juga: MANDI-MANDI YANG DISUNAHKAN

Baca juga: HUKUM MAZI, MANI DAN WADI

(Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)

Bulughul Maram Fikih