IKHLAS DALAM BERAMAL DAN MENAFKAHKAN HARTA

IKHLAS DALAM BERAMAL DAN MENAFKAHKAN HARTA

Dari Abu Ishaq Sa’ad bin Abi Waqqash, Malik bin Uhaib bin Abdi Manaf bin Zuhrah bin Kilab bin Murrah bin Ka’b bin Luay al-Quraisyi az-Zuhri radhiyallahu ‘anhu, dan dia termasuk salah seorang dari sepuluh sahabat yang dijamin masuk Surga. Dia berkata:

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjengukku ketika aku sakit keras pada haji Wada.

Aku berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya sakitku sangat parah, seperti yang engkau lihat. Aku memiliki harta, sedangkan ahli warisku hanya seorang putriku. Bolehkah aku menyedekahkan duapertiga hartaku?”

Beliau bersabda, “Tidak.”

Aku berkata, “Bagaimana dengan setengahnya, wahai Rasulullah?”

Beliau bersabda, “Tidak.”

Aku berkata, “Bagaimana dengan sepertiganya, wahai Rasulullah?”

Beliau bersabda,

الثُّلُثُ والثُّلُثُ كَثيرٌ ـ أَوْ كَبِيْرٌ ـ إنَّكَ إنْ تَذَرْ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أنْ تَذَرَهُمْ عَالَةً، يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ، وَإنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِيْ بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إلَّا أُجِرْتَ عَلَيْهَا حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِي فِيِّ امْرَأَتِكَ

Sepertiga, dan sepertiga itu banyak –atau besar-. Sungguh, jika engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya, itu adalah lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam keadaan miskin dan meminta-minta kepada orang lain. Sesungguhnya tidaklah engkau menginfakkan hartamu yang engkau niatkan untuk mencari wajah Allah, kecuali engkau akan diberi pahala karenanya, hingga apa yang engkau masukkan ke mulut istrimu.”

Sa’ad bin Abi Waqqash berkata: Aku berkata, “Wahai Rasulullah, apakah aku akan tertinggal dari sahabat-sahabatku?”

Beliau bersabda,

إِنَّكَ لَنْ تُخَلَّفَ فَتَعْمَلَ عَمَلًا تَبْتَغِي بِهِ وَجْهَ اللَّهِ إِلَّا ازْدَدْتَ بِهِ  دَرَجَةً وَرِفْعَةً، وَلَعلَّكَ أنْ تُخَلَّفَ حَتّى يَنتَفِعَ بِكَ أَقْوَامٌ، وَيُضَرَّ بِكَ آخَرُونَ، اللَّهُمَّ أَمْضِ لأَصْحَابِي هِجْرَتَهُمْ ولَا تَرُدَّهُمْ عَلَى أَعْقَابِهِمْ، لَكِنِ الْبَائِسُ سَعْدُ ابْنُ خَوْلَةَ

Sesungguhnya tidaklah engkau tertinggal lalu melakukan suatu amalan yang engkau niatkan karena wajah Allah, kecuali dengan amalan itu derajat dan kedudukanmu semakin tinggi. Mungkin saja engkau berumur panjang sehingga banyak kaum mendapat manfaat darimu, sementara yang lain mungkin dirugikan olehmu. Ya Allah, tetapkanlah hijrah para sahabatku dan janganlah Engkau kembalikan mereka ke belakang. Tapi Sa’ad bin Khaulah yang malang.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedih karena Sa’ad bin Khaulah meninggal di Makkah. (Muttafaq ‘alaih)

PENJELASAN

Sa’ad bin Abi Waqqash adalah salah seorang kaum muhajirin yang hijrah dari Makkah ke Madinah. Mereka meninggalkan tanah kelahirannya demi Allah Azza wa Jalla.

Salah satu kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah menjenguk sahabatnya yang sedang sakit. Hal itu karena beliau adalah orang yang paling baik akhlaknya, paling lembut kepada para sahabatnya, dan paling besar kecintaannya kepada mereka. Beliau adalah imam yang diikuti. Shalawat dan salam semoga terlimpah atasnya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang untuk menjenguk Sa’ad bin Abi Waqqash ketika dia sedang sakit parah di Makkah.

Sa’ad berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya sakitku sangat parah, seperti yang engkau lihat. Aku memiliki harta, sedangkan ahli warisku hanya seorang putriku.” Artinya, tidak ada ahli waris baginya menurut syariat kecuali anak perempuannya. “Bolehkah aku menyedekahkan duapertiga hartaku”

Beliau bersabda, “Tidak.”

Sa’ad berkata, “Bagaimana dengan setengahnya, wahai Rasulullah?”

Beliau bersabda, “Tidak.”

Sa’ad berkata, “Bagaimana dengan sepertiganya, wahai Rasulullah?”

Beliau bersabda, “Sepertiga. Sepertiga itu banyak.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang Sa’ad bersedekah lebih dari sepertiga hartanya karena pada saat itu ia dalam keadaan sakit parah yang dikhawatirkan akan menyebabkan kematian.

Orang yang sakit parah tidak boleh bersedekah lebih dari sepertiga hartanya, karena hartanya telah terkait dengan hak ahli warisnya. Sedangkan orang yang sehat atau orang yang sakit yang tidak dikhawatirkan akan menyebabkan kematian boleh bersedekah sekehendak hatinya: sepertiga, setengah, duapertiga atau seluruh hartanya. Akan tetapi, sebaiknya dia tidak menyedekahkan seluruh hartanya, kecuali mempunyai sesuatu yang diketahui akan mencukupi kebutuhan para hamba Allah.

Patut diperhatikan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang bersedekah lebih dari sepertiga hartanya. Beliau bersabda, “Sepertiga. Sepertiga itu banyak – atau besar.” Ini menjadi bukti bahwa jika seseorang menyedekahkan harta kurang dari sepertiga, maka itu lebih baik dan lebih sempurna. Untuk itu, Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Seandainya orang-orang mengurangi dari sepertiga menjadi seperempat, maka itu lebih baik, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sepertiga, dan sepertiga itu banyak.’”

Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku ridha dengan apa yang Allah ridhai untuk diri-Nya,” yaitu seperlima, maka Abu Bakar mewasiatkan seperlima hartanya.

Atas dasar ini, kita mengetahui bahwa apa yang dilakukan oleh orang-­orang saat ini yang mewasiatkan sepertiga hartanya bertentangan dengan perbuatan utama, meskipun hal itu diperbolehkan. Yang utama adalah mewasiatkan kurang dari sepertiga hartanya, yaitu seperempat atau seperlima.

Para fukaha rahimahumullah mengatakan bahwa yang lebih utama adalah mewasiatkan seperlima hartanya, tidak lebih dari itu, untuk meneladani Abu Bakar ash-Shidiq radhiyallahu ‘anhu.

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh, jika engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya, itu adalah lebih baik daripada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan miskin dan meminta-minta kepada orang lain.”

Maksudnya, biarkanlah kamu tetap memiliki harta dan janganlah menyedekahkan semuanya, sehingga ketika kamu meninggal dunia, hartamu diwarisi oleh ahli warismu hingga mereka menjadi kaya. Hal itu lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin, tanpa meninggalkan sesuatu sehingga mereka harus meminta-minta kepada orang lain.

Maksud “meminta-minta kepada orang lain” adalah meminta kepada orang lain sambil berkata, “Tolong, berilah kami! Berilah kami!”

Ini adalah bukti bahwa meninggalkan harta untuk ahli warisnya ketika ia meninggal dunia adalah lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam keadaan miskin.

Janganlah kamu mengira bahwa jika kamu meninggalkan harta untuk ahli warismu kamu tidak memperoleh pahala. Kamu akan memperoleh pahala, sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “adalah lebih baik daripada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan miskin.”

Janganlah seseorang mengira bahwa jika dia meninggalkan harta kemudian ahli warisnya mengambilnya dengan paksa, dia tidak mendapatkan pahala. Tidak, justru dia mendapatkan pahala, hingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh, jika engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya, itu adalah lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam keadaan miskin dan meminta-minta kepada orang lain.” Itu karena jika kamu meninggalkan harta untuk ahli warismu, mereka dapat mengambil manfaat dari harta itu. Sedangkan jika kamu menyedekahkan harta itu, orang jauh akan mendapatkan manfaatnya. Sedekah kepada kerabat adalah lebih baik daripada sedekah kepada orang jauh, karena sedekah kepada kerabat adalah sedekah sekaligus mempererat silaturahmi.

Kemudian beliau bersabda, “Sesungguhnya tidaklah engkau menginfakkan hartamu yang engkau niatkan untuk mencari wajah Allah, kecuali engkau akan diberi pahala karenanya, hingga apa yang engkau masukkan ke mulut istrimu.”

Maksudnya, tidaklah kamu menginfakkan harta berupa dirham, dinar, pakaian, selimut, makanan, atau yang lainnya dengan tujuan mencari wajah Allah, kecuali kamu mendapatkan pahala atas perbuatanmu itu.

Inti dari hadis ini adalah sabda beliau, “mencari wajah Allah,” yaitu mengharapkan dengan itu wajah Allah yang Maha Mulia dengan cara masuk Surga sehingga kamu melihat wajah Allah yang Maha Mulia dan Maha Agung.

Penghuni Surga dapat melihat Allah Ta’ala dengan mata kepala mereka sendiri, sebagaimana mereka melihat matahari ketika langit cerah dan tidak berawan, dan sebagaimana mereka melihat bulan di malam purnama. Artinya, mereka benar-­benar melihat Allah Ta’ala.

Sabda beliau, “…hingga apa yang engkau masukkan ke mulut istrimu.” Yakni, hingga suapan yang kamu berikan ke mulut istrimu, maka kamu akan mendapatkan pahala, jika kamu berniat mencari wajah Allah dengannya. Padahal, memberi nafkah kepada istrimu merupakan sebuah kewajiban. Seandainya kamu tidak memberinya nafkah, niscaya dia akan berkata, “Beri aku nafkah atau ceraikan aku.” Meski demikian, jika kamu memberi nafkah kepada istrimu dengan tujuan mencari wajah Allah, maka Allah akan memberimu pahala. Begitu juga, jika kamu memberi nafkah kepada anak-anakmu, ibumu, ayahmu, bahkan kepada dirimu sendiri dengan tujuan mencari wajah Allah, maka Allah akan memberikan pahala kepadamu.

Kemudian Sa’ad berkata, “Wahai Rasulullah, apakah aku akan tertinggal dari sahabat-sahabatku?” Yakni, apakah aku akan tertinggal dari sahabat­-sahabatku lalu aku menghembuskan nafas terakhir di Makkah.

Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa Sa’ad tidak akan tertinggal dengan berkata, “Sesungguhnya tidaklah engkau tertinggal lalu melakukan suatu amalan yang engkau niatkan karena wajah Allah, kecuali dengan amalan itu derajat dan kedudukanmu semakin tinggi.” Yakni, seandainya ditetapkan kamu tertinggal dan tidak dapat keluar dari Makkah, lalu kamu melakukan amal untuk mencari wajah Allah, maka Allah akan semakin meninggikan derajat dan kedudukanmu.

Allah akan meninggikan tempatmu di Surga yang penuh kenikmatan derajat demi derajat, meski kamu melakukan amal tersebut di Makkah, sedangkan kamu sudah hijrah dari Makkah.

Sabda Nabi, “Mungkin saja engkau berumur panjang.” Yaitu mungkin saja kamu akan hidup lama setelah sahabat-sahabatku. Di sini bukan berarti kamu tertinggal dalam hal kebaikan, melainkan kamu berumur panjang di dunia. Dan ini terjadi.

Sa’ad bin Abi Waqqash benar-benar dikaruniai umur panjang. Menurut ulama, Sa’ad meninggalkan 17 anak laki-laki dan 12 anak perempuan. Mulanya dia hanya mempunyai satu anak perempuan, tapi akhirnya dia dikaruniai umur panjang dan anak yang banyak.

Sabda Nabi, “Mungkin saja engkau berumur panjang sehingga banyak kaum mendapat manfaat darimu, sementara yang lain mungkin dirugikan olehmu.”

Demikianlah yang terjadi. Sesungguhnya Sa’ad dikaruniai umur panjang dan mempunyai peran yang besar dalam berbagai penaklukan yang dilakukan oleh Islam. Sa’ad ikut serta dalam banyak penaklukan wilayah kafir. Dia bermanfaat bagi banyak kaum, yaitu orang-orang Islam, tetapi merugikan kaum yang lain, yaitu orang-orang kafir.

Kemudian Nabi berdoa, “Ya Allah, tetapkanlah hijrah para sahabatku.”

Beliau memohon kepada Allah Ta’ala agar mengabulkan hijrah sahabat-sahabatnya yang dilakukan dengan dua hal: Pertama. Ketetapan mereka dalam iman, karena jika seseorang teguh dalam iman, dia teguh dalam hijrah. Kedua. Supaya tidak seorang pun di antara mereka kembali ke Makkah setelah keluar dari sana untuk berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya.

Ketika kamu keluar meninggalkan suatu negeri untuk berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, maka negeri itu seperti harta yang kamu sedekahkan yang tidak mungkin kamu minta kembali. Kamu tidak mungkin kembali ke negeri itu. Ini berlaku untuk setiap sesuatu yang ditinggalkan oleh seseorang karena Allah. Dia tidak mungkin mengambil kembali sesuatu itu atau kembali ke sesuatu itu.

Dari hal itu, apa yang dilakukan oleh sebagian orang yang telah mengeluarkan televisi dari rumah mereka, bertobat kepada Allah, dan beramal dengan kebaikan, kemudian berkata, “Apakah aku boleh memasukkan kembali televisi ke rumah,” maka kita katakan, “Tidak. Setelah kamu mengeluarkannya karena Allah, kamu tidak boleh memasukkannya, sebab orang yang meninggalkan sesuatu karena Allah dan berhijrah darinya tidak boleh kembali kepadanya.” Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memohon kepada Rabb-Nya agar Dia menetapkan hijrah para sahabatnya.

Sabda beliau, “Janganlah Engkau kembalikan mereka ke belakang.” Yakni, janganlah Engkau jadikan mereka berpaling dari keimanan sehingga mereka murtad, kembali ke belakang, karena kekafiran merupakan kemunduran, sedangkan keimanan merupakan kemajuan. Ini berlawanan dengan apa yang dikatakan oleh orang-orang non-muslim saat ini yang mengatakan bahwa Islam identik dengan kemunduran. Mereka berkata, “Kemajuan adalah membebaskan manusia dari Islam dan menjadi sekuler, yang tidak membedakan antara keimanan dan kekufuran, dan tidak membedakan antara kefasikan dan ketaatan.” Na’udzubillah. Keimananlah yang sebenarnya merupakan kemajuan.

Orang-orang yang maju adalah orang-orang yang beriman, dan kemajuan hanya dicapai dengan keimanan. Sementara kemurtadan terjadi dengan berpaling ke belakang, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadis ini, “Janganlah Engkau kembalikan mereka ke belakang.”

Faedah Hadis

Terdapat banyak faedah yang dapat dipetik dari hadis ini, di antaranya:

Menjenguk orang sakit

1️⃣ Di antara petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah menjenguk orang sakit, sebab beliau menjenguk Sa’ad bin Abi Waqqash ketika dia sedang sakit.

Menjenguk orang sakit mempunyai banyak manfaat, baik bagi orang yang menjenguk  maupun bagi orang yang dijenguk.

Manfaat bagi orang yang menjenguk adalah:

Orang yang menjenguk memenuhi hak saudara seagamanya, sebab salah satu hak saudara seagamamu yang harus kamu penuhi adalah menjenguknya ketika dia sedang sakit.

Ketika menjenguk orang sakit, orang yang menjenguk senantiasa berada di taman surga sampai ia pulang.

Dalam menjenguk orang sakit terdapat pengingat bagi orang yang menjenguk akan nikmat kesehatan yang Allah berikan kepadanya. Ketika ia melihat kondisi orang sakit dan apa yang dialaminya, lalu merenungkan keadaannya sendiri yang sehat dan selamat, ia akan menyadari betapa besar nikmat Allah yang ia terima berupa kesehatan dan keselamatan. Segala sesuatu hanya bisa benar-benar dihargai ketika dibandingkan dengan lawannya.

Dalam menjenguk orang sakit terdapat penggugah kasih sayang dan cinta. Ketika seseorang menjenguk orang sakit, kunjungan tersebut akan senantiasa dikenang di hati orang yang sakit. Setiap kali orang yang sakit mengingat orang yang menjenguknya, ia akan merasakan cinta yang mendalam terhadapnya. Hal ini akan terlihat lebih nyata ketika orang yang sakit tersebut sembuh dan menunjukkan rasa syukurnya kepadamu. Kamu akan mendapati bahwa hatinya menjadi lapang karena hal ini.

Manfaat bagi orang yang dijenguk adalah:

Orang yang dijenguk juga mendapatkan manfaat karena kunjungan tersebut menghiburnya, melapangkan dadanya, serta meringankan kesedihan dan penyakit yang dirasakannya. Orang yang menjenguk mungkin mengingatkannya untuk melakukan kebaikan, bertobat, atau memberikan wasiat jika ia ingin mewasiatkan sesuatu, seperti melunasi hutang. Dengan demikian, terdapat manfaat yang besar bagi orang yang dijenguk.

Para ulama menyarankan agar orang yang menjenguk orang yang sakit menghiburnya dengan mengatakan, “Insya Allah, hari ini kamu dalam kebaikan,” atau ungkapan serupa. Jangan mengatakan, “Kamu baik-baik saja,” karena mungkin saja hari ini kondisinya lebih buruk daripada kemarin. Namun, dengan mengatakan bahwa hari ini kamu dalam kebaikan, karena setiap urusan orang mukmin adalah baik, jika dia mengalami musibah, dia berada dalam kebaikan; jika dia mendapatkan kesenangan, dia juga berada dalam kebaikan. Oleh karena itu, disarankan untuk mengatakan kepadanya, “Hari ini kamu dalam kebaikan dengan izin Allah,” dan ungkapan serupa yang dapat membuatnya bahagia.

Kematian adalah sesuatu yang pasti. Jika penyakit itu menyebabkan ajalnya, dia pasti mati. Namun, jika penyakit itu bukan penyebab ajalnya, dia akan tetap hidup di dunia.

Selain itu, orang yang menjenguk orang sakit hendaklah mengingatkan orang yang dijenguk untuk bertobat kepada Allah Ta’ala, akan tetapi tidak diucapkan secara langsung agar orang yang sakit tidak terganggu dan tidak berkata kepada diri sendiri, “Seandainya sakitku tidak parah, tentu ia tidak mengingatkanku untuk bertobat.”

Dia memulainya dengan menyebutkan ayat-ayat atau hadis-­hadis yang memuji orang-orang yang bertobat untuk mengingatkan orang yang sakit akan tobat. Selain itu, hendaklah dia mengingatkan orang yang sakit untuk berwasiat, tetapi tidak dengan berkata, “Berwasiatlah, karena ajalmu tidak lama lagi.” Jika dia berkata demikian, maka orang yang sakit akan terganggu. Sebaiknya dia mengingatkannya dengan menceritakan kisah-kisah yang berkaitan dengan wasiat.

Ulama mengatakan bahwa jika orang yang sakit ingin didoakan oleh orang yang menjenguk, hendaklah dia mendoakannya dengan doa seperti yang pernah dibaca oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meniupkannya.

Contoh doa itu adalah:

أَذْهِبِ ٱلْبَأْسَ رَبَّ ٱلنَّاسِ، وَٱشْفِ أَنْتَ ٱلشَّافِي، لَا شِفَاءَ إِلَّا شِفَاؤُكَ، شِفَاءً لَا يُغَادِرُ سَقَمًا

Hilangkanlah penyakit ini, wahai Rabb manusia, dan sembuhkanlah, Engkau adalah Maha Penyembuh, tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan dari-Mu, kesembuhan yang tidak meninggalkan penyakit.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

رَبَّنَا ٱللَّهَ ٱلَّذِي فِي ٱلسَّمَاءِ، تَقَدَّسَ ٱسْمُكَ، أَمْرُكَ فِي ٱلسَّمَاءِ وَٱلْأَرْضِ كَمَا رَحْمَتُكَ فِي ٱلسَّمَاءِ، فَٱجْعَلْ رَحْمَتَكَ فِي ٱلْأَرْضِ، ٱغْفِرْ لَنَا حُوبَنَا وَخَطَايَانَا، أَنْتَ رَبُّ ٱلطَّيِّبِينَ، أَنْزِلْ رَحْمَةً مِنْ رَحْمَتِكَ، وَشِفَاءً مِنْ شِفَائِكَ عَلَى هَذَا ٱلْوَجَعِ فَيَبْرَأُ

Wahai Rabb kami, Allah yang berada di langit, sucikanlah nama-Mu. Perintah-Mu berlaku di langit dan di bumi, sebagaimana rahmat-Mu berlaku di langit. Maka jadikanlah rahmat-Mu di bumi. Ampunilah dosa-dosa dan kesalahan kami. Engkau adalah Rabb orang-orang yang baik. Turunkanlah rahmat dari rahmat-Mu dan kesembuhan dari kesembuhan-Mu atas penyakit ini sehingga ia sembuh.”

Atau membacakan surah al-Fatihah, karena surah al-Fatihah merupakan ruqyah yang dibacakan kepada orang sakit dan orang yang tersengat kalajengking, ular dan sejenisnya.

Yang harus kita perhatikan adalah bahwa jika orang yang sakit terlihat senang untuk didoakan, maka doakanlah dan tiupkanlah kepadanya, agar dia tidak terpaksa meminta orang lain membacakan doa untuknya, sebab Nabi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

رَأَيْتَ مَعَ أُمَّتِيْ سَبْعِيْنَ أَلْفًا يَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلَا عَذَابٍ

Aku melihat ada tujuh puluh ribu orang masuk Surga bersama umatku tanpa dihisab dan tanpa disiksa (terlebih dahulu).”

Beliau bersabda,

هُمْ الَّذِيْنَ لَايَسْتَرْقُوْنَ وَلَا يَكْتَوُوْنَ وَلَا يَتَطَيَّرُوْنَ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ  

Mereka adalah orang-orang yang tidak meminta diruqyah, tidak melakukan pengobatan dengan besi panas (kayy), tidak percaya tathayyur (meramal berdasarkan gerakan burung), dan mereka bertawakal kepada Allah.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Sabdanya, “Orang-orang yang tidak meminta diruqyah,” artinya, mereka tidak meminta seseorang untuk membacakan (ruqyah) kepadanya. Oleh karena itu, jika kamu melihatnya ingin sekali dibacakan (ruqyah), maka bacakanlah kepadanya agar tidak membuatnya merasa malu untuk meminta dibacakan.

Begitu juga jika kamu melihat orang yang sakit merasa senang kamu duduk lama di sisinya, maka lakukanlah. Kamu sedang melakukan kebaikan dan mendapatkan pahala atas hal itu, serta memberikan kebahagiaan kepadanya. Barangkali dengan sebab itu, dia sembuh. Itu karena kegembiraan dan kelapangan hati merupakan faktor utama yang dapat memulihkan kesehatannya. Jika kamu melihat bahwa ia menginginkan kamu tetap tinggal, maka tetaplah tinggal sampai kamu tahu bahwa ia merasa cukup (bosan).

Jika kamu menangkap sinyal bahwa orang yang sakit lebih senang jika kamu tidak ada di sampingnya dan lebih senang berkumpul dengan keluarganya, maka kamu tidak perlu terlalu lama berada di sisinya. Kamu cukup menanyakan keadaannya, lalu pergi.

Dalam hadis Sa’ad bin Abi Waqash terdapat dalil yang mensyariatkan menjenguk orang sakit.

2️⃣ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki budi pekerti yang luhur. Tidak diragukan lagi bahwa akhlak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebaik-baiknya akhlak manusia.

Allah Ta’ala berfirman:

نٓ ۚ وَٱلْقَلَمِ وَمَا يَسْطُرُونَ، مَآ أَنتَ بِنِعْمَةِ رَبِّكَ بِمَجْنُونٍ، وَإِنَّ لَكَ لَأَجْرًا غَيْرَ مَمْنُونٍ، وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ

Nun, demi kalam dan apa yang mereka tulis. Berkat nikmat Rabb-mu engkau (Muhammad) sekali-kali bukan orang gila. Dan sesungguhnya bagi engkau benar-benar pahala yang besar yang tidak putus-putusnya. Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS al-Qalam: 1-4)

Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menjenguk sahabat-sahabatnya yang sakit, mengunjungi mereka, dan mengucapkan salam kepada mereka. Bahkan, ketika beliau berpapasan dengan sekelompok anak-anak, beliau mengucapkan salam kepada mereka.

Berkonsultasi dengan orang berilmu

3️⃣ Seseorang hendaklah berkonsultasi dengan orang-orang yang berilmu. Sa’ad bin Abi Waqqash berkonsultasi dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika dia ingin bersedekah dengan sebagian hartanya. Sa’ad berkata, “Wahai Rasulullah, sakitku sangat parah, seperti yang engkau lihat. Aku memiliki harta, sedangkan ahli warisku hanya seorang putriku. Bolehkah aku menyedekahkan duapertiga hartaku?” Beliau menjawab, “Tidak.”

Maka dari itu, berkonsultasilah dengan orang-orang yang berilmu dan berpandangan.

Jika kamu ingin melakukan sesuatu yang berhubungan dengan urusan agama, maka berkonsultasilah dengan ulama, karena mereka lebih mengetahui urusan agama daripada selain ulama. Jika kamu ingin membeli rumah, berkonsultasilah dengan konsultan real estat. Jika kamu ingin membeli mobil, berkonsultasilah dengan insinyur di bidang otomotif. Begitu juga dalam masalah yang lainnya. Oleh karena itu, dikatakan, “Tidak akan kecewa orang yang beristikharah, dan tidak akan menyesal orang yang berkonsultasi.”

Namun, berbicara tentang hal itu mungkin tidak tepat, baik dari segi waktu, tempat, atau keadaan.

Tidak diragukan lagi bahwa manusia tidak sempurna. Orang yang mengaku dirinya sempurna sesungguhnya penuh kekurangan. Dia harus mengoreksi kembali ucapannya, terutama dalam hal-hal penting yang berkaitan dengan masalah umat. Terkadang seseorang terbawa oleh semangat dan perasaannya untuk melakukan sesuatu yang dia anggap benar. Jika dia melakukannya untuk diri sendiri, maka tindakan itu dapat dimaklumi, tetapi jika sudah menyangkut orang lain, bisa jadi tindakan itu tidak baik dan tidak pada tempat, waktu, atau keadaannya.

Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membangun Ka’bah di atas fondasi Ibrahim karena khawatir timbul fitnah. Beliau bersabda kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha,

لَوْلَا أَنَّ قَوْمَكِ حَدِيثُو عَهْدٍ بِكُفْرٍ لَبَنَيْتُ الْكَعْبَةَ عَلَى قَوَاعِدِ إِبْرَاهِيمَ، وَلَجَعَلْتُ لَهَا بَابَيْنِ، بَابًا يَدْخُلُ مِنْهُ النَّاسُ، وَبَابًا يَخْرُجُونَ مِنْهُ

Kalaulah bukan karena kaummu baru saja keluar dari kekufuran, pastilah aku akan merobohkan Ka’bah dan membangunnya kembali di atas fondasi Ibrahim, dan aku akan membuatkan dua pintu baginya: pintu masuk dan pintu keluar.” (HR Muslim)

Dua pintu memudahkan orang-orang yang hendak masuk ke Ka’bah. Tetapi beliau tidak melakukannya karena khawatir timbul fitnah, meskipun dua pintu dapat membawa kemaslahatan.

Bahkan lebih dari itu, Allah Ta’ala melarang kita mencela berhala-berhala orang-orang musyrik, meskipun berhala-berhala mereka pantas dicela, dihina, dan dijauhi. Mencela berhala-berhala mereka mengakibatkan pencelaan terhadap Allah yang Mahaagung dan Mahasuci dari segala cacat dan kekurangan.

Allah Ta’ala berfirman:

وَلَا تَسُبُّوا۟ ٱلَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ فَيَسُبُّوا۟ ٱللَّهَ عَدْوًۢا بِغَيْرِ عِلْمٍ ۗ كَذَٰلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّهِم مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُم بِمَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ

Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan. Demikianlah, Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Rabb, tempat kembali mereka, lalu Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan.” (QS al-An’am: 108)

Sejatinya kita harus mengetahui bahwa sesuatu bisa menjadi baik dalam batas dirinya sendiri dan dalam konteksnya. Akan tetapi, pada waktu atau tempat atau keadaan tertentu sesuatu itu terkadang bukan kebaikan, bukan kebijaksanaan, bukan pemikiran yang benar, bukan nasihat, dan bukan amanah, meskipun pada dasarnya sesuatu itu merupakan kebenaran, kejujuran serta kenyataan yang terjadi dalam dirinya. Oleh karena itu, seseorang harus berkonsultasi dengan orang-orang yang berilmu, berpengalaman, dan bijaksana untuk mendapatkan nasihat tentang suatu urusan sebelum mengambil tindakan, agar ia memiliki dasar yang kuat.

Allah Ta’ala berfirman kepada makhluk-Nya yang paling mulia, yang paling bijaksana dalam berpendapat, dan yang paling fasih dalam menyampaikan nasihat, yaitu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam,

فَٱعْفُ عَنْهُمْ وَٱسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى ٱلْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُتَوَكِّلِينَ

Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal.” (QS Ali ‘Imran: 159)

Inilah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, orang yang paling bijaksana dalam berpendapat, paling cerdas dalam akal, dan paling fasih dalam memberikan nasihat. Shalawat dan salam Allah atasnya.

Manusia terkadang dikuasai oleh perasaannya sehingga terdorong untuk berkata, “Ini karena Allah. Aku akan melakukannya. Aku akan menegakkan kebenaran. Aku akan berkata, ‘Tidak akan ada yang menghalangiku dalam urusan Allah meskipun aku dicela,’” dan ucapan sejenisnya. Namun, tindakannya berakhir dengan kekecewaan.

Biasanya, orang yang dikuasai dan mengikuti perasaan tidak mempertimbangkan konsekuensi dan hasil serta tidak membandingkan berbagai persoalan. Semua itu akan mendatangkan kerusakan yang hanya diketahui oleh Allah Ta’ala. Meskipun niatnya baik dan maksudnya mulia, ia tidak mampu bertindak dengan baik, karena ada perbedaan antara niat yang baik dan tindakan yang baik. Seseorang mungkin berniat baik tetapi buruk dalam bertindak, dan seseorang mungkin berniat buruk, dan biasanya orang yang berniat buruk juga buruk dalam bertindak. Namun, meskipun demikian, orang yang berniat buruk kadang-kadang bisa bertindak dengan baik untuk mencapai tujuan buruknya.

Seseorang dipuji karena niat baiknya. Dia tidak dipuji karena tindakan buruknya, kecuali dia dikenal sebagai orang yang sering memberi nasihat dan bimbingan. Jika dia melakukan perbuatan yang buruk, dia dimaklumi dan diberikan pengertian. Tidak sepantasnya tindakannya yang tidak sesuai dengan kebijaksanaan dijadikan alasan untuk merendahkannya atau menuduhnya dengan hal-hal yang tidak pantas. Sebaliknya, dia harus dimaklumi, dinasihati dan dibimbing, misalnya dengan berkata, “Wahai saudaraku, sebenarnya perkataan dan perbuatanmu baik dan benar, tetapi tidak pada tempatnya, waktunya, atau keadaannya.”

Intinya, pada hadis Sa’ad bin Abi Waqqash terdapat isyarat bahwa seseorang sebaiknya berkonsultasi dengan orang yang lebih bijaksana dan lebih berpengetahuan darinya.

4️⃣ Orang yang meminta nasihat seharusnya menyampaikan perkaranya sebagaimana adanya dengan sebenar-benarnya beserta sebab-sebabnya, penghalang-penghalangnya, serta semua yang berkaitan dengannya. Hal ini agar penasehat dapat memahami perkara tersebut dengan jelas dan memberikan nasihat berdasarkan kenyataan tersebut. Oleh karena itu, Sa’ad berkata, “Sesungguhnya aku memiliki harta, sedangkan ahli warisku hanya seorang putriku. Bolehkah aku menyedekahkan duapertiga hartaku?”

Ucapannya, “Sesungguhnya aku memiliki harta,” adalah penjelasan mengenai alasan wasiat yang ingin dia wasiatkan. Sedangkan, “sedangkan ahli warisku hanya seorang putriku,” adalah penjelasan tentang tidak adanya penghalang. Artinya, tidak ada penghalang baginya untuk berwasiat banyak karena tidak ada ahli waris yang lain.

Seorang penasihat harus bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla dalam memberikan nasihat. Dia tidak boleh terbawa oleh perasaan dalam memperhatikan orang yang meminta nasihat. Sebab, ada sebagian orang yang, ketika dimintai nasihat dan melihat bahwa orang tersebut cenderung kepada salah satu dari dua perkara atau salah satu dari dua pendapat, langsung memberikan nasihat yang condong pada pilihan tersebut. Dia berkata, “Aku senang menyetujui apa yang menurutnya cocok baginya.” Ini adalah kesalahan besar, bahkan pengkhianatan.

Ketika seseorang meminta nasihatmu, kamu harus mengatakan kepadanya apa yang menurutmu benar dan bermanfaat, baik itu menyenangkan baginya atau tidak. Dengan melakukan ini, kamu telah menjadi penasihat yang jujur dan telah memenuhi kewajibanmu. Jika dia mengikuti nasihatmu dan melihat bahwa itu benar, maka itu bagus. Tetapi, jika dia tidak mengikuti nasihatmu, maka kamu telah bebas dari tanggung jawab.

Jika kamu menyimpulkan dari perkataannya bahwa dia menginginkan sesuatu, lalu kamu memberinya saran berdasarkan kesimpulan itu, maka ini adalah kesalahan besar, bahkan pengkhianatan. Kamu mungkin salah menyimpulkan bahwa dia menginginkan sesuatu, padahal sebenarnya tidak. Dengan demikian, kamu akan merugi dari dua sisi: pemahaman yang salah dan niat yang buruk.

5️⃣ Dalam ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamTidak,” terdapat dalil bahwa tidak mengapa seseorang menggunakan kata “Tidak”, dan hal itu tidak mengandung apa-apa (yang buruk).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggunakan kata ‘tidak’ kepada para sahabat, dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum pun menggunakan kata ‘tidak’ kepada beliau. Salah satunya adalah ketika Jabir radhiyallahu ‘anhu merasa sangat lelah, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyusulnya. Kebiasaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penggembala umatnya adalah berjalan di belakang para sahabat, bukan di depan mereka. Beliau berjalan di belakang mereka agar jika ada yang membutuhkan sesuatu, beliau bisa membantunya. Lihatlah, betapa rendah hati dan baiknya perhatian beliau.

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyusul Jabir yang untanya telah sangat lelah sehingga tidak bisa berjalan. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memukul unta tersebut dan mendoakannya, “Semoga Allah memberkahinya dengan satu uqiyah.” Jabir berkata, “Tidak.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkari ucapan “tidak” dari Jabir.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika Sa’ad berkata kepadanya, “Apakah aku bersedekah dengan duapertiga hartaku?” menjawab, “Tidak.”

Jadi, tidak ada masalah dengan kata ‘tidak’ karena itu bukan pertanda kurangnya adab dan akhlak. Banyak orang sekarang terbiasa mengganti kata ‘tidak’ dengan ‘semoga kamu selamat’. Ucapan ini baik karena merupakan doa keselamatan. Namun, jika kamu mengatakan ‘tidak’, itu bukanlah sesuatu yang salah.

6️⃣ Orang yang sakit parah tidak boleh mewasiatkan lebih dari sepertiga hartanya, kecuali ahli warisnya mengizinkannya, karana ahli waris memiliki hak atas harta itu sejak orang tersebut jatuh sakit. Maka, tidak diperbolehkan orang yang sakit parah memberikan lebih dari sepertiga hartanya, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai duapertiga, “Tidak,” dan mengenai setengah, “Tidak,” dan beliau bersabda, “Sepertiga, dan sepertiga itu banyak.”

Di dalam hadis ini terdapat dalil bahwa seseorang sebaiknya mewasiatkan hartanya kurang dari sepertiga, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, “Orang-orang mengurangi dari sepertiga menjadi seperempat, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sepertiga, dan sepertiga itu banyak.'”

7️⃣ Orang yang sedang sakit yang dikhawatirkan akan meninggal tidak diperbolehkan mewasiatkan lebih dari sepertiga hartanya, baik dalam bentuk sedekah, partisipasi dalam pembangunan masjid, hadiah, atau bentuk lainnya. Pembatasan ini didasarkan pada larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Sa’ad bin Abi Waqqas yang ingin mewasiatkan lebih dari sepertiga hartanya.

Orang yang ingin mewasiatkan hartanya sebaiknya mengurangi dari sepertiga hartanya, misalnya menjadi seperempat, seperlima, atau kurang dari itu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan bahwa mengurangi dari sepertiga adalah lebih baik melalui sabdanya, “Sepertiga itu banyak.” Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu juga berdalil dengan sabda ini. Dia berkata, “Seandainya orang-orang mengurangi dari sepertiga menjadi seperempat, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sepertiga, dan sepertiga itu banyak.”

Wasiat hukumnya sama seperti sedekah, sehingga seseorang tidak diperbolehkan mewasiatkan lebih dari sepertiga hartanya setelah kematian. Hendaklah wasiat tersebut sepertiga atau kurang dari hartanya.

Yang lebih baik dalam wasiat adalah seperlima harta, karena Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku ridha dengan apa yang Allah ridhai untuk diri-Nya, yaitu seperlima.” Maka dia berwasiat dengan seperlima hartanya. Oleh karena itu, para ulama mengatakan bahwa dianjurkan untuk berwasiat dengan seperlima harta jika ia meninggalkan banyak harta.

8️⃣ Jika harta seseorang sedikit dan ahli warisnya miskin, maka sebaiknya dia tidak berwasiat. Nabi ‘alaihishshalatu wassallam bersabda, “Sesungguhnya jika engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya, itu lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam keadaan miskin.” Berbeda dengan apa yang diyakini oleh sebagian orang awam bahwa mewasiatkan harta merupakan sebuah keharusan. Ini tidak benar. Orang yang hartanya sedikit dan ahli warisnya miskin sebaiknya tidak berwasiat.

Sebagian orang awam berpendapat bahwa jika seseorang tidak membuat wasiat, maka dia tidak akan mendapatkan pahala. Ini tidak benar. Jika dia meninggalkan hartanya untuk ahli warisnya, dia tetap mendapatkan pahala. Meskipun ahli waris akan mewarisi hartanya secara otomatis, tetapi jika dia melakukannya berdasarkan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya jika engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya, itu lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam keadaan miskin,” maka pahalanya dalam hal ini lebih besar daripada jika dia menyedekahkan sebagian hartanya.

9️⃣ Para sahabat Muhajirin dari Makkah merasa khawatir akan meninggal di Makkah. Sa’ad radhiyallahu ‘anhu berkata, “Apakah aku akan tertinggal dari sahabat-sahabatku?” Kalimat ini berbentuk pertanyaan yang mengandung harapan yang tidak disukai. Maksudnya, dia tidak ingin tertinggal dan meninggal di Makkah setelah hijrah dari sana menuju Allah dan Rasul-Nya. Demikian pula, setiap hal yang ditinggalkan seseorang karena Allah, tidak sepatutnya dia kembali kepada hal tersebut.

Ada sebagian orang yang menyingkirkan televisi karena melihat banyaknya kerusakan dan bahaya yang ditimbulkannya, yang lebih besar daripada manfaatnya. Mereka meninggalkannya karena Allah dan menghancurkannya. Kemudian mereka bertanya, “Apakah aku boleh mengembalikannya lagi?” Kita katakan, “Jangan mengembalikannya lagi. Setelah kamu menyingkirkannya untuk mencari keridhaan Allah, kamu jangan kembali kepada apa yang telah kamu tinggalkan karena Allah.”

🔟 Mukjizat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tampak ketika beliau berkata kepada Sa’ad, “Sesungguhnya tidaklah engkau tertinggal lalu melakukan suatu amalan yang engkau niatkan karena wajah Allah, kecuali dengan amalan itu derajat dan kedudukanmu semakin tinggi. Mungkin saja engkau berumur panjang sehingga banyak kaum mendapat manfaat darimu, sementara yang lain mungkin dirugikan olehmu.” Dan kenyataannya adalah persis seperti yang diucapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sa’ad radhiyallahu ‘anhu hidup hingga masa kekhalifahan Muawiyah. Dia hidup panjang setelah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadanya. Ini adalah salah satu tanda kenabian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau memberitakan tentang sesuatu yang akan terjadi di masa depan dan itu terjadi sebagaimana yang beliau kabarkan. Namun, ini bukan berita mutlak, melainkan perkiraan saja, karena beliau berkata, “Mungkin saja engkau berumur panjang.” Namun, kenyataan yang terjadi adalah sesuai dengan perkiraan beliau.

1️⃣1️⃣ Tidak seorang pun melakukan suatu amal dengan mengharap wajah Allah kecuali derajat dan kedudukannya akan meningkat, sekalipun dia berada di tempat yang tidak diperbolehkan baginya untuk tinggal di sana. Sebab, amal adalah satu hal dan tinggal di tempat tersebut adalah hal lain. Oleh karena itu, pendapat yang paling kuat di antara pendapat para ulama adalah bahwa jika seseorang shalat di tanah yang dirampas (ghasab), maka shalatnya tetap sah. Karena larangannya bukan terhadap shalat, melainkan terhadap perampasan tanah tersebut.

Larangannya ditujukan pada sesuatu yang bukan shalat, maka shalatnya sah di tempat yang dirampas, tetapi dia berdosa karena menempati tempat yang dirampas.

Ya, seandainya ada hadis dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi: “Janganlah shalat di tanah yang dirampas,” maka kami katakan, “Jika kamu shalat di tanah yang dirampas, shalatmu batal, seperti halnya kami mengatakan, ‘Jika kamu shalat di kuburan, shalatmu batal,’ karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدٌ إِلَّا المَقْبَرَةَ وَالحَمَّامَ

Seluruh bumi adalah masjid kecuali kuburan dan kamar mandi.”” (Sahih lighairihi. Dikeluarkan oleh at-Tirmidzi, Ibnu Majah, Abu Ya’la, Ibnu al-Mundzir)

Ini tidak termasuk shalat jenazah, karena shalat jenazah diperbolehkan, bahkan di kuburan.

1️⃣2️⃣ Orang yang menginfakkan hartanya dengan mengharap wajah Allah akan mendapatkan pahala atasnya. Nafkah yang dikeluarkan untuk keluarganya, istrinya, dan bahkan dirinya sendiri, jika dia mengharap wajah Allah, maka Allah akan memberinya pahala. Hal ini mengisyaratkan bahwa seseorang hendaklah menghadirkan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah dalam setiap menafkahkan hartanya agar dia mendapatkan pahala. Segala sesuatu yang kamu nafkahkan, baik kecil maupun besar, untuk dirimu sendiri, keluargamu, teman-temanmu, atau siapa pun, jika kamu mengharapkan wajah Allah, maka Allah akan memberimu pahala.

1️⃣3️⃣ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa, “Ya Allah, tetapkanlah hijrah para sahabatku, dan janganlah Engkau kembalikan mereka ke belakang.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memohon kepada Allah Ta’ala agar Dia menetapkan hijrah para sahabat, berupa ketetapan iman dan ketetapan di negari tempat mereka hijrah dari Makkah. Oleh karena itu, beliau berkata, “Dan janganlah Engkau kembalikan mereka ke belakang.” Kembali ke belakang, maksudnya adalah kafir setelah pernah masuk Islam, na’udzubillah, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

وَمَن يَرْتَدِدْ مِنكُمْ عَن دِينِهِۦ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُو۟لَٰٓئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَٰلُهُمْ فِى ٱلدُّنْيَا وَٱلْءَاخِرَةِ ۖ وَأُو۟لَٰٓئِكَ أَصْحَٰبُ ٱلنَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَٰلِدُونَ

Barangsiapa murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itu sia-sia amalnya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya.” (QS al-Baqarah: 217)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tapi Sa’ad bin Khaulah yang malang.”

Sa’ad bin Khaulah adalah salah seorang kaum Muhajirin yang hijrah dari Makkah. Akan tetapi, Allah Ta’ala menakdirkan dia meninggal di Makkah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedih atas kematiannya di kota Makkah. Mereka tidak senang jika orang yang hijrah meninggal dunia di tempat asalnya (sebelum hijrah).

Ini adalah sebagian pembahasan mengenai hadis ini. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Sa’ad, “Sesungguhnya tidaklah engkau tertinggal lalu melakukan suatu amalan yang engkau niatkan karena wajah Allah, kecuali dengan amalan itu derajat dan kedudukanmu semakin tinggi.” Beliau juga berkata kepadanya, “Sesungguhnya tidaklah engkau menginfakkan hartamu yang engkau niatkan untuk mencari wajah Allah, kecuali engkau akan diberi pahala karenanya.” Maka, dalam hadis ini terdapat isyarat tentang pentingnya keikhlasan dalam beramal dan menafkahkan harta demi wajah Allah, agar dia mendapatkan pahala serta peningkatan derajat dan kedudukan di sisi Allah Ta’ala.

Dan Allah-lah yang memberikan taufik.

Baca juga:  ORANG YANG BERTAKWA

Baca juga: MURAQABAH

Baca juga: RUKUN IMAN – BERIMAN KEPADA ALLAH

(Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)

Kelembutan Hati Riyadhush Shalihin