SIFAT SHALAT NABI – TASYAHUD AKHIR

SIFAT SHALAT NABI – TASYAHUD AKHIR

Kemudian duduk untuk tasyahud akhir. Jika dalam shalat dua rakaat, maka tasyahud akhir dilakukan pada rakaat kedua. Jika dalam shalat tiga rakaat, maka tasyahud akhir dilakukan pada rakaat ketiga. Maka, tasyahud akhir berada pada rakaat kedua dalam shalat dua rakaat, pada rakaat ketiga dalam shalat tiga rakaat, dan pada rakaat keempat dalam shalat empat rakaat.

Perlu diketahui bahwa terdapat perbedaan antara duduk pada tasyahud awal dan tasyahud akhir, apabila shalat memiliki dua tasyahud. Dalam shalat yang memiliki dua tasyahud, seperti shalat Maghrib dan shalat empat rakaat lainnya, duduk pada tasyahud awal dilakukan dengan duduk iftirasy, sedangkan duduk pada tasyahud akhir dilakukan dengan duduk tawaruk.

Sifat Duduk Tasyahud Akhir

Bentuk praktik duduk untuk tasyahud akhir adalah dengan duduk tawaruk, dan tawaruk memiliki tiga sifat.

Sifat pertama

🏀 Duduk di atas tanah dengan kedua pantat, lalu mengeluarkan kaki kiri dari bawah betis kanan ke arah sisi kanan,

🏀 Kaki kanan ditegakkan agar pantat dapat mantap di tanah, dan sebagai pembeda antara tasyahud awal dan tasyahud akhir.

Sifat kedua

🏀 Menghamparkan kedua kaki,

🏀 Mengeluarkan kedua kaki dari sisi kanan, yaitu tidak menegakkan kaki kanan, melainkan baringkanlah dan keluarkanlah dari sisi kanan. Demikian pula kaki kiri, dan kaki kiri berada di bawah betis kanan.

Sifat ketiga

🏀 Menghamparkan kedua kaki seluruhnya,

🏀 Mengeluarkan keduanya dari sisi kanan, lalu membaringkannya, namun kaki kiri diletakkan di antara betis dan paha kanan.

Diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Abu Humaid radhiyallahu ‘anhu: “Apabila beliau duduk pada rakaat terakhir, beliau memajukan kaki kirinya, menegakkan (kaki) yang lainnya, lalu duduk di atas pantatnya.” (HR al-Bukhari)

Diriwayatkan oleh Muslim dari ‘Abdullah bin az-Zubair radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila duduk dalam shalat, beliau meletakkan kaki kirinya di antara paha dan betisnya, menghamparkan kaki kanannya, meletakkan tangan kirinya di atas lutut kirinya, dan meletakkan  tangan kanannya di atas paha kanannya, lalu memberi isyarat dengan jarinya.” (HR Muslim)

Ini adalah tiga bentuk duduk tawaruk.

Jika ada yang bertanya, “Apakah semuanya dilakukan dalam satu keadaan?”

Kita jawab, “Tidak, tetapi kadang dilakukan yang ini, dan kadang yang itu. Jika sunah datang dalam berbagai bentuk, maka amalkanlah semuanya.”

Bacaan Tasyahud Akhir

🏀 Membaca tasyahud awal,

🏀 Lalu menambahkan:

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَىٰ مُحَمَّدٍ وَعَلَىٰ آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَىٰ إِبْرَاهِيمَ، وَعَلَىٰ آلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ، وَبَارِكْ عَلَىٰ مُحَمَّدٍ وَعَلَىٰ آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَىٰ إِبْرَاهِيمَ، وَعَلَىٰ آلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ

Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah limpahkan shalawat kepada Ibrahim dan kepada keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Mahaterpuji lagi Mahamulia. Dan limpahkanlah keberkahan kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah limpahkan keberkahan kepada Ibrahim dan kepada keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Mahaterpuji lagi Mahamulia.”

Diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Ka’b bin ‘Ujrah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada mereka cara bershalawat kepadanya dengan lafaz tersebut. Riwayat ini juga diriwayatkan oleh Ahmad. (HR al-Bukhari dan Ahmad)

Atau dia mengucapkan,

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَىٰ مُحَمَّدٍ وَأَزْوَاجِهِ وَذُرِّيَّتِهِ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَىٰ إِبْرَاهِيمَ، وَعَلَىٰ آلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ، وَبَارِكْ عَلَىٰ مُحَمَّدٍ وَأَزْوَاجِهِ وَذُرِّيَّتِهِ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَىٰ إِبْرَاهِيمَ، وَعَلَىٰ آلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ

Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada Muhammad, istri-istrinya, dan keturunannya, sebagaimana Engkau telah limpahkan shalawat kepada Ibrahim dan kepada keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Mahaterpuji lagi Mahamulia. Dan limpahkanlah keberkahan kepada Muhammad, istri-istrinya, dan keturunannya, sebagaimana Engkau telah limpahkan keberkahan kepada Ibrahim dan kepada keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Mahatrpuji lagi Mahamulia.”

Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hamid as-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu.

“اللَّهُمَّ” asalnya adalah “يا الله”, maka huruf ya seruan dihapus dan digantikan darinya dengan huruf mim, dan diawali dengan nama Allah sebagai bentuk mengambil keberkahan dan memohon keberkahan dengannya.

Makna shalawat kepada Muhammad adalah memujinya di kalangan makhluk tertinggi, yaitu pujilah dia di hadapan para malaikat yang berada di sisi Allah.

Pujian atasnya mencakup keridhaan terhadapnya, ‘alaihishshalatu wassalam, serta pengangkatan namanya di antara makhluk. Maka kita mengucapkan: (اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ) “Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada Muhammad.”

(وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ) “Dan kepada keluarga Muhammad.” Keluarganya — sebagian ulama berkata, “Keluarganya adalah orang-orang beriman dari kerabatnya,” dan sebagian dari mereka berkata, “Keluarganya adalah para pengikutnya di atas agamanya.” Yang benar, bahwa “keluarganya” jika digandengkan dengan (kata) mengikuti, maka maksudnya adalah orang-orang beriman dari kerabatnya, dan jika tidak digandengkan, maka yang dimaksud adalah para pengikutnya di atas agamanya. Atas dasar ini, maka kamu mengatakan, “Ya Allah, bersalawatlah kepada Muhammad dan kepada setiap orang yang mengikutinya di atas agamanya,” karena tidak disebutkan dalam kalimat ini kecuali “keluarga” saja. Hadirkanlah makna ini.

Maka, kamu telah bershalawat kepada dirimu sendiri dalam kalimat ini, karena kamu termasuk pengikutnya dalam agamanya.

(كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ) “Sebagaimana Engkau telah bershalawat kepada Ibrahim dan kepada keluarga Ibrahim.” Ibrahim, semoga Allah bershalawat kepadanya dan kepada keluarganya. Maka kamu meminta kepada Allah agar Dia bershalawat kepada Muhammad dan keluarganya, sebagaimana Dia telah bershalawat kepada Ibrahim dan keluarganya. Huruf “ka” di sini bermakna sebab, bukan penyerupaan. Maknanya adalah: Sebagaimana Engkau telah menganugerahkan shalawat kepada Ibrahim dan keluarganya, maka anugerahkanlah pula shalawat kepada Muhammad dan keluarganya. Maka ini termasuk bentuk tawassul dengan perbuatan Allah untuk permintaan yang serupa.

Ucapanmu, (إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ) “Sesungguhnya Engkau Mahaterpuji lagi Mahamulia.” “Hamid” bermakna yang dipuji dan juga bermakna yang memuji. Hal itu karena Dia ‘Azza wa Jalla memuji siapa pun dari makhluk yang layak untuk dipuji. Maka Dia memuji para nabi dan orang-orang saleh.

Adapun “Majid,” maka ia berasal dari al-majd (kemuliaan), yaitu keagungan dan kesempurnaan kerajaan. Maka ketika kamu mengatakan, “Sesungguhnya Engkau Mahaterpuji lagi Mahamulia,” berarti kamu telah memuji Allah ‘Azza wa Jalla bahwa Dia Mahaterpuji, dan bahwa Dia Mahamulia. “Hamid” artinya yang memuji siapa pun yang layak dipuji, dan yang dipuji karena kesempurnaan sifat-sifat-Nya, sedangkan “Majid” karena kesempurnaan keagungan-Nya.

(بَارِكْ عَلَىٰ مُحَمَّدٍ) yakni, turunkanlah keberkahan kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kepada syariatnya. Sebab, keberkahan yang ada pada syariatnya adalah keberkahan yang ada padanya ‘alaihishsalatu wassalam. (وَعَلَىٰ آلِ مُحَمَّدٍ) Kita katakan padanya seperti yang telah kita katakan pada (آل محمد) yang pertama, dan kita katakan pada (كَمَا بَارَكْتَ) sebagaimana kita telah katakan pada (كَمَا صَلَّيْتَ).

Setelah tasyahud terakhir, seseorang memohon perlindungan kepada Allah dari empat perkara: dari azab Neraka Jahanam, dari azab kubur, dari fitnah kehidupan dan kematian, dan dari kejahatan fitnah al-Masih ad-Dajjal. Hal itu karena besarnya empat perkara ini. “A’udzu” berarti aku berpegang teguh dan memohon perlindungan kepada Allah ‘Azza wa Jalla dari empat perkara ini.

Muslim meriwayatkan perintah tersebut setelah tasyahud terakhir dari hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

إِذَا فَرَغَ أَحَدُكُمْ مِنَ التَّشَهُّدِ الآخِرِ، فَلْيَتَعَوَّذْ بِاللَّهِ مِنْ أَرْبَعٍ: مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ

Jika salah seorang di antara kalian selesai dari tasyahud akhir, hendaklah ia memohon perlindungan kepada Allah dari empat hal: dari azab Neraka Jahanam…” Hadis ini juga diriwayatkan oleh Abu Dawud. (HR Muslim dan Abu Dawud)

Diriwayatkan oleh Muslim dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengajarkan kepada kami tasyahud sebagaimana beliau mengajarkan surat dari al-Qur’an. (HR Muslim)

Para ulama berselisih dalam perkara ini, apakah hukumnya wajib atau hanya dianjurkan, dengan dua pendapat. Mayoritas ulama berpendapat bahwa hal itu dianjurkan. Adapun pendapat yang mewajibkannya adalah pendapat yang kuat, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan dengannya, dan karena perkara-perkara ini sangat agung —jika seseorang tidak dilindungi darinya, maka dia berada dalam bahaya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebutkan bahwa berlindung dari empat hal ini adalah wajib menurut salah satu dari dua pendapat dalam mazhab Imam Ahmad rahimahullah. Bahkan sebagian sahabat Imam Ahmad rahimahullah berpendapat kepada wajibnya berlindung dari empat hal ini.

Doa perlindungan ini sering diremehkan oleh banyak orang. Kamu dapati seseorang setelah bershalawat atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam langsung mengucapkan salam, padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya. Hukum asal dari perintah adalah wajib. Padahal, bahaya dari empat hal ini sangat besar. Maka sudah seharusnya bagi seseorang untuk senantiasa memohon perlindungan kepada Allah darinya dalam setiap shalat. Oleh karena itu, Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya dari Thawus rahimahullah —seorang dari kalangan tabi’in— bahwa dia memerintahkan anaknya untuk mengulangi shalat karena tidak memohon perlindungan dari empat hal tersebut. (HR Muslim) Maka dari itu, tidak sepantasnya seseorang meninggalkan doa perlindungan kepada Allah dari empat hal ini.

Maka jagalah hal itu, wahai saudaraku, dalam setiap shalat, karena di dalamnya terdapat keselamatan yang membawa kebahagiaan di dunia dan akhirat. Aku juga berwasiat kepada saudara-saudaraku para imam agar tidak meninggalkannya, karena orang-orang di belakang mereka membutuhkannya. Sebagian imam —semoga Allah memberi petunjuk kepada kita dan mereka— hanya membacanya sebatas: “Allahumma shalli ‘ala Muhammad..” lalu langsung mengucapkan salam. Mengapa demikian, wahai saudaraku? Padahal di belakangmu ada makmum yang ingin menyempurnakan bacaan tersebut. Maka sempurnakanlah bacaan itu bersama mereka. Bagimu pahala untuk dirimu sendiri dan bagi orang yang mengikuti (shalat) di belakangmu.

(عَذَابِ جَهَنَّمَ) “Azab Neraka Jahanam,” yaitu azab Neraka. Dinamakan dengan nama ini karena ia adalah jahimah (tempat yang gelap dan muram), wal’iyadzu billah. Seluruhnya adalah tempat yang gelap lagi muram. Kita memohon keselamatan kepada Allah.

إِذَا أُلْقُوا فِيهَا سَمِعُوا لَهَا شَهِيقًا وَهِيَ تَفُورُ تَكَادُ تَمَيَّزُ مِنَ الْغَيْظِ

Apabila mereka dilemparkan ke dalamnya, mereka mendengar suara mengerikan darinya saat ia mendidih. Hampir-hampir ia pecah karena marah.” (QS. Al-Mulk: 7–8)

Maksudnya, hampir saja ia terbelah karena kemarahan terhadap para penghuninya.

Kita berlindung kepada Allah darinya, dari azab Jahanam.

(وَمِنْ عَذَابِ القَبْرِ) “Dan dari azab kubur”: Di dalam kubur terdapat azab yang terus-menerus bagi orang-orang kafir. Adapun bagi orang-orang mukmin yang durhaka, azab itu bisa jadi bersifat terus-menerus, dan bisa pula tidak terus-menerus.

(وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ) “Dan dari fitnah kehidupan dan kematian.” Fitnah adalah ujian. Ia bisa berupa kebaikan maupun keburukan. Allah Ta’ala berfirman:

وَنَبْلُوكُم بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً

Dan Kami menguji kalian dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan.” (QS al-Anbiya: 35)

Allah bisa saja menguji manusia dengan keburukan, seperti musibah, sakit pada tubuhnya, keluarganya, kerabatnya, dengan kefakiran, atau musibah lainnya, untuk mengujinya apakah ia bersabar atau tidak. Bisa juga fitnah itu berupa kebaikan, untuk melihat apakah ia bersyukur atau malah berlaku sombong/ingkar.

Maka, fitnah kehidupan bisa berupa kebaikan atau keburukan. Bisa berupa keburukan untuk menguji apakah seseorang bersabar atau tidak, dan bisa juga berupa kebaikan untuk menguji apakah ia bersyukur atau tidak. Maka manusia pada kenyataannya berada di antara dua hal: kebaikan atau keburukan, dan keduanya merupakan ujian.

Bisa jadi manusia diuji dalam agamanya —wal’iyadzu billah— dan ujian tersebut berkisar pada dua perkara: syubhat dan syahwat.

Syubhat adalah hal-hal yang menjadikan kebenaran samar bagi seseorang sehingga ia tidak dapat membedakan yang hak dan yang batil, lalu ia tergelincir dan binasa.

Syahwat adalah keadaan di mana seseorang memiliki kemampuan membedakan dan memiliki ilmu, namun ia memiliki kehendak yang buruk.

Fitnah orang-orang Nasrani adalah contoh dari jenis syubhat, sedangkan fitnah orang-orang Yahudi berasal dari jenis syahwat, karena mereka mengetahui kebenaran lalu menyelisihinya. Demikian pula manusia –wal’iyadzu billah– bisa saja ia diuji dalam agamanya, lalu kebenaran menjadi samar baginya, atau bisa jadi ia diuji dalam agamanya hingga ia tidak menginginkan kebenaran.

Kematian memiliki dua fitnah: sebelum kematian dan setelah kematian.

Fitnah sebelum kematian adalah bahwa ketika seseorang didatangi ajalnya, datanglah setan kepadanya dan membisikkan berbagai syubhat (keraguan), hingga bisa jadi ia keluar dari agama saat kematiannya. Oleh karena itu, kita sepatutnya senantiasa memohon kepada Allah agar diberi husnul khatimah. Bisa jadi setan menampakkan diri kepada seseorang dalam rupa kedua orang tuanya atau rupa ayahnya, lalu berkata kepadanya, “Wahai anakku, sesungguhnya agama Islam bukan agama yang benar. Yang benar adalah agama Yahudi atau Nasrani. Maka jadilah Yahudi atau Nasrani.” Dalam keadaan itu, orang tersebut sedang didatangi kematian dan tidak memiliki kemampuan membedakan yang sempurna, sehingga ia pun terfitnah, lalu menjadi Yahudi atau Nasrani —wal’iyadzu billah. Ini adalah fitnah yang sangat besar. Selama roh belum keluar, maka perkara ini sangat berbahaya. Inilah yang disebut dengan fitnah kematian yang terjadi sebelum kematian.

Fitnah yang terjadi setelah kematian adalah bahwa seseorang akan diuji di dalam kuburnya. Maka datanglah dua malaikat kepadanya, lalu bertanya, “Siapa Rabb-mu? Apa agamamu? Siapa Nabimu?” Adapun orang mukmin, ia menjawab, “Allah Rabb-ku, Islam agamaku, dan Nabiku adalah Muhammad.” Maka berserulah penyeru dari langit, “Benar hamba-Ku ini.” Lalu dikatakan, “Hamparkanlah untuknya (alas) dari Surga, pakaikanlah untuknya (pakaian) dari Surga, dan bukakanlah baginya satu pintu menuju Surga.” Maka kuburnya diluaskan sejauh mata memandang, lalu datang kepadanya kenyamanan serta kenikmatan dari Surga yang membuatnya gembira, hingga ia berkata, “Ya Rabb, tegakkanlah Kiamat agar aku bisa kembali kepada keluargaku,” karena ia melihat bahwa di sana ada kenikmatan yang lebih besar, yaitu kenikmatan Surga yang di dalamnya terdapat apa yang belum pernah dilihat oleh mata, belum pernah didengar oleh telinga, dan belum pernah terlintas di hati manusia.

Adapun orang non-muslim seperti orang yang ragu dan orang kafir, ketika ditanya, ia berkata, “Hah… hah… aku tidak tahu. Aku mendengar orang-orang mengatakan sesuatu, maka aku pun mengatakannya,” karena iman tidak masuk ke dalam hatinya —wal’yadzu billah. Ia mendengar dan berkata tanpa iman. Maka ia dipukul dengan palu besar dari besi, hingga ia menjerit dengan jeritan yang didengar oleh segala sesuatu kecuali manusia. Kuburnya pun disempitkan sampai tulang-tulang rusuknya saling bersilang. Ia lalu berkata, “Ya Rabb, jangan Engkau tegakkan Kiamat,” karena ia mengetahui bahwa setelah azab ini masih ada azab yang jauh lebih besar dan lebih dahsyat. Inilah yang disebut dengan fitnah kematian.

(وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَسِيْحِ الدَّجَّالِ) “Dan dari fitnah al-Masih ad-Dajjal.”

al-Masih ad-Dajjal adalah seorang laki-laki yang diutus oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di akhir zaman. Ia mengaku bahwa dia adalah Tuhan, dan Allah Ta’ala menjadikan melalui tangannya berbagai perkara yang dengannya terjadi fitnah besar, sampai-sampai dia datang kepada suatu kaum, lalu mengajak mereka. Jika mereka menuruti ajakannya, dia memerintahkan langit, maka turunlah hujan; dan dia memerintahkan bumi, maka tumbuhlah tanaman. Ia juga datang kepada kaum lain lalu mengajak mereka, namun mereka menolak ajakannya, maka mereka menjadi gersang –wal’iyadzu billah– tidak memiliki air, dan tidak memiliki tanaman. Fitnah besar ini akan menimpa umat-umat yang tidak ada yang mengetahui mereka selain Allah. Orang beriman akan selamat darinya karena telah tertulis di antara dua matanya “kafir” dengan huruf-huruf terpisah: kaf, fa, ra. Setiap orang beriman bisa membacanya, baik yang bisa membaca maupun yang tidak. Setiap pendosa buta terhadapnya, baik yang bisa membaca maupun yang tidak. Maka ia pun terjerumus ke dalam fitnahnya –wal’iyadzu billah– dan menjadikannya sebagai Tuhan selain Allah. Bersamanya ada surga dan neraka, tetapi surganya adalah neraka dan nerakanya adalah surga. Semua ini adalah bagian dari fitnah yang Allah ‘Azza wa Jalla kehendaki dengan hikmah-Nya. al-Masih Ad-Dajjal ini tinggal di bumi selama empat puluh hari. Hari pertama seperti setahun, yakni dua belas bulan, hari kedua seperti sebulan, hari ketiga seperti sepekan, dan hari-hari sisanya seperti hari-hari biasa kita. Setelah al-Masih ini tinggal di bumi selama empat puluh hari dengan gambaran yang disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Isa putra Maryam ‘alaihishshalatu wassalam akan turun dari langit, lalu membunuh al-Masih ad-Dajjal ini. Isa akan turun sebagai hakim yang adil, tidak menerima kecuali Islam atau dibunuh. Siapa tidak masuk Islam, maka ia membunuhnya. (HR al-Bukhari dan Muslim)

Maka berdoalah kepada Allah dengan apa pun yang kamu kehendaki, karena semata-mata berdoa adalah ibadah, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

وَقَالَ رَبُّكُمُ ٱدْعُونِىٓ أَسْتَجِبْ لَكُمْۚ إِنَّ ٱلَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِى سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

Dan Rabb kalian berfirman: ‘Berdoalah kepada-Ku, niscaya Aku perkenankan untuk kalian. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepada-Ku akan masuk Neraka Jahanam dalam keadaan hina.” (QS Ghafir: 60)

Jika dia mau, dia bisa berdoa untuk kedua orang tuanya dalam shalat fardhu maupun shalat nafilah, dan juga berdoa untuk siapa pun dari kaum muslimin yang ia cintai.

al-Bukhari meriwayatkan dari hadis Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:

ثُمَّ يَتَخَيَّرُ مِنَ الدُّعَاءِ أَعْجَبَهُ إِلَيْهِ، فَيَدْعُو

Kemudian ia memilih doa yang paling disukainya, lalu dia berdoa.” (HR al-Bukhari)

Dalam sebagian naskah disebutkan:

ثُمَّ لِيَتَخَيَّرْ

Kemudian hendaklah ia memilih,” dengan lam perintah.

Muslim meriwayatkannya dengan lafaz:

ثُمَّ لِيَتَخَيَّرْ بَعْدُ مِنَ الْمَسْأَلَةِ مَا شَاءَ، أَوْ مَا أَحَبَّ

Kemudian hendaklah ia memilih setelah itu dari permintaan (doa) apa yang ia kehendaki atau apa yang ia sukai.” (HR Muslim)

Abu Dawud juga meriwayatkannya.

Boleh berdoa dengan sesuatu yang berkaitan dengan dunia, seperti berkata, “Ya Allah, berilah aku istri yang salehah,” atau “istri yang cantik,” atau “Ya Allah, berilah aku rumah yang luas,” atau “mobil yang bagus,” atau yang semisal itu. Sebab, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadis Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, “Kemudian dia memilih dari doa yang paling ia sukai, lalu dia berdoa.” Manusia sangat membutuhkan Rabb-nya dalam segala keperluan agama maupun dunianya, yaitu dalam hal yang ia perlukan untuk urusan agama dan juga dalam hal yang ia perlukan untuk urusan dunia.

Barang siapa dari kalangan ulama berkata bahwa tidak boleh berdoa dengan sesuatu yang berkaitan dengan dunia, maka perkataannya adalah lemah, karena menyelisihi keumuman sabda Rasul ‘alaihishsalatu wassalam dalam hadis Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu ketika menyebut tasyahud, “Kemudian dia memilih dari doa yang paling ia sukai, lalu dia berdoa.”

Tetapi yang lebih utama, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, adalah menjaga doa yang bersumber dari Nabi. Jika ia ingin menambah dan berdoa dengan apa yang ia kehendaki, maka tidak ada dosa atasnya.

Sepatutnya bagi seseorang, jika ia ingin berdoa kepada Allah ‘Azza wa Jalla agar menjadikan doanya sebelum salam, yaitu setelah menyempurnakan tasyahud dan doa perlindungan yang diperintahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dengan itu kita mengetahui bahwa apa yang dibiasakan oleh banyak orang hari ini, setiap kali selesai shalat sunah, berdoa kepada Allah ‘Azza wa Jalla hingga menjadikannya sebagai perkara yang tetap dan sunah yang dilazimi, maka ini adalah perkara yang tidak ada dalil atasnya. Sunnah hanya datang dengan doa sebelum salam.

Maka doa setelah shalat, baik fardhu maupun nafilah, tidak disyariatkan. Yang lebih utama adalah agar doamu dilakukan sebelum salam.

Diriwayatkan dari Nabi ‘alaihishsalatu wassalam bahwa beliau ditanya, “Doa yang mana yang paling didengar?”

Beliau menjawab,

جَوْفَ اللَّيْلِ الآخِرِ، وَدُبُرَ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوبَاتِ

Pertengahan malam yang akhir, dan di akhir shalat-shalat wajib.” (HR at-Tirmidzi)

Apa yang dimaksud dengan akhir shalat-shalat wajib itu? Apakah itu yang setelahnya, ataukah itu akhir dari shalat?

Para ulama berselisih pendapat dalam hal ini. Yang benar adalah bahwa yang dimaksud adalah akhir shalat. Dalilnya adalah hadis Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menyebutkan tasyahud bersabda,

ثُمَّ لِيَتَخَيَّرْ مِنَ الدُّعَاءِ مَا شَاءَ

Kemudian hendaklah dia memilih dari doa apa yang dia kehendaki.” (HR al-Bukhari)

Ini menunjukkan bahwa bagian akhir shalat yang merupakan tempat untuk berdoa adalah akhir shalat, yaitu sebelum salam.

Baca sebelumnya: SIFAT SHALAT NABI – RAKAAT KETIGA DAN KEEMPAT

Baca setelahnya: SIFAT SHALAT NABI – MENGUCAPKAN SALAM

(Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)

Fikih Sifat Shalat Nabi