IJARAH (SEWA-MENYEWA)

IJARAH (SEWA-MENYEWA)

Sewa-menyewa sering dilakukan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhannya, baik harian, bulanan atau tahunan. Setiap orang harus mengetahui aturan-aturannya.

Setiap muamalah yang dilakukan manusia di berbagai tempat dan waktu pasti telah diatur oleh syariat Islam sesuai dengan kaidah syar’i, demi memperoleh kemaslahatan dan menolak kemudaratan.

Definisi Sewa-Menyewa

Sewa-menyewa dalam bahasa Arab disebut ijarah, yang berasal dari kara ajr yang artinya upah.

Allah Ta’ala berfirman:

لَوْ شِئْتَ لَتَّخَذْتَ عَلَيْهِ اَجْرًا

Kalau engkau mau, engkau bisa mengambil upah untuk itu.” (QS al-Kahfi: 77)

Secara syar’i, sewa-menyewa adalah akad untuk mendapatkan manfaat yang mubah dari barang yang sudah ada atau belum ada tetapi dijamin dengan sifat-sifat tertentu dalam kurun waktu tertentu, atau akad untuk melakukan pekerjaan tertentu dengan upah tertentu.

Definisi ini mencakup sebagian besar syarat sahnya sewa-menyewa, sekaligus macam-macamnya.

Makna “akad untuk mendapatkan manfaat” adalah bukan akad untuk mendapatkan barang, sebab akad untuk mendapatkan barang disebut jual beli.

Makna “yang mubah” adalah bukan manfaat yang diharamkan, seperti zina.

Makna “dalam kurun waktu tertentu” adalah bukan dalam kurun waktu yang tidak diketahui, karena akad semacam ini hukumnya tidak sah.

Makna “dari barang yang sudah ada atau belum ada tetapi dijamin dengan sifat-sifat tertentu…atau akad untuk melakukan pekerjaan tertentu” adalah bahwa sewa-menyewa ada dua jenis.

Jenis Sewa-Menyewa

🅰️ Sewa-menyewa manfaat suatu barang yang sudah ada atau belum ada yang dijamin dengan sifat-sifat tertentu.

Contoh akad untuk barang yang sudah ada adalah “Rumah ini saya sewakan kepadamu.”

Contoh akad untuk barang yang belum ada yang dijamin dengan sifat-sifat tertentu adalah “Aku menyewakan seekor unta kepadamu dengan sifat begini dan begitu untuk mengangkut barang dan sebagai tunggangan.”

🅱️ Sewa-menyewa dalam melakukan pekerjaan tertentu, seperti mengantarkan barang atau membuat rumah.

Makna “dalam kurun waktu tertentu” adalah sewa-menyewa suatu manfaat berlaku dalam kurun waktu tertentu, seperti sehari atau sebulan.

Makna “dengan upah tertentu” adalah upah (ongkos) sewa harus jelas.

Syarat Sahnya Sewa-Menyewa

Dengan demikian, menjadi jelas bagi kita bahwa syarat umum sahnya akad sewa-menyewa dengan kedua jenisnya adalah sebagai berikut:

1️⃣ Akad tersebut adalah untuk mendapatkan manfaat, bukan barang.

2️⃣ Manfaatnya harus mubah (dibolehkan) dan jelas. Bila barang yang disewakan belum ada, maka barang tersebut harus bisa ditentukan sifat-sifatnya.

3️⃣ Kurun waktu sewa dan upah (ongkos) harus jelas.

Sewa-menyewa yang sah diperbolehkan menurut al-Qur’an, as-Sunnah, dan ijmak ulama.

Allah Ta’ala berfirman:

فَاِنْ اَرْضَعْنَ لَكُمْ فَاٰتُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّ

Jika mereka (perempuan-perempuan itu) selesai menyusui anak kalian, maka bayarlah upah mereka.” (QS ath-Thalaq: 6)

Dan Allah Ta’ala berfirman:

لَوْ شِئْتَ لَتَّخَذْتَ عَلَيْهِ اَجْرًا

Kalau engkau mau, engkau bisa mengambil upah untuk itu.” (QS al-Kahfi: 77)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyewa seseorang sebagai penunjuk jalan ketika beliau hijrah ke Madinah.

Ibnul Mundzir menukil bahwa para ulama telah sepakat atas diperbolehkannya sewa-menyewa.

Di samping itu, hajat manusia mengharuskan dilakukannya sewa-menyewa, sebab manusia membutuhkan manfaat sebagaimana membutuhkan barang.

Diperbolehkan menyewa orang untuk melakukan pekerjaan tertentu, seperti mengantar barang, menjahit pakaian, membuat rumah, atau menunjukkan jalan. Dalilnya adalah hadis yang terdapat dalam Shahih al-Bukhari dari Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang hijrahnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu menyewa Abdullah bin Uraiqith al-Laitsi. Dia konon penunjuk jalan yang ahli. (HR al-Bukhari)

Tidak diperbolehkan menyewakan tempat, kios, atau toko untuk bermaksiat, seperti menjual khamar atau menjual barang-barang haram lainnya seperti rokok dan gambar makhluk bernyawa. Semua itu termasuk membantu kemaksiatan.

Menyewakan kepada Pihak Ketiga

Seorang penyewa boleh menyewakan barang sewaan yang tengah ia sewa kepada orang lain (pihak ketiga) yang menggantikan posisinya dalam mengambil manfaat barang tersebut. Ia boleh melakukan itu karena manfaat barang tersebut sudah menjadi miliknya. Ia boleh mengambil sendiri manfaat barang tersebut atau penggantinya yang mengambil manfaat barang tersebut, dengan syarat keduanya sama dalam menggunakan manfaat barang sewaan atau lebih ringan, tidak lebih berat.

Misalnya: Seseorang menyewa sebuah rumah untuk tempat tinggal, maka ia boleh meyewakan rumah yang ia sewa itu kepada orang lain untuk tempat tinggal pula atau untuk manfaat yang lebih ringan dari tempat tinggal. Ia tidak boleh menyewakannya ke orang lain untuk manfaat yang lebih berat seperti untuk pabrik atau bengkel.

Menyewakan Amal Ibadah

Sewa-menyewa tidak sah atas amal ibadah, seperti haji dan azan. Hal itu karena amal ibadah berfungsi untuk mendekatkan diri kepada Allah, sedangkan mengambil upah mengeluarkannya dari makna itu. Meskipun begitu, mengambil rezeki (santunan) dari baitul mal atas amal yang manfaatnya bisa dirasakan oleh orang lain, seperti haji, azan, ikamah, mengajar al-Qur-an, mengajar fikih, menjadi hakim, mufti, dan semisalnya diperbolehkan. Hal semacam itu bukan imbalan, melainkan santunan yang mendukung seseorang untuk taat kepada Allah, sehingga tidak mengeluarkan dari sesuatu yang dianggap ibadah dan tidak memengaruhi keikhlasan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Para fukaha sepakat dengan perbedaan antara menyewa pelaku ibadah dan memberi santunan kepadanya. Memberi santunan kepada mujahid, hakim, muazin, atau imam masjid diperbolehkan tanpa ada perbedaan pendapat. Adapun menyewa mereka, maka tidak boleh menurut mayoritas ulama.”

Beliau juga berkata, “Uang yang diambil dari baitul mal bukan upah atau bayaran, tetapi santunan untuk membantu orang yang beribadah. Jika ada dari mereka yang beramal karena Allah, ia akan mendapat pahala. Sedangkan apa yang diambilnya merupakan santunan yang membantunya melakukan ketaatan.”

Kewajiban Pemilik Barang dan Penyewa

Pemilik barang harus mempersiapkan hal-hal yang membuat barang sewaannya dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh penyewa, seperti mereparasi mobil, menyiapkan mobil untuk dipakai bepergian atau mengangkut barang, merenovasi atau memperbaiki rumah, serta menyiapkan fasilitas-fasilitas lainnya.

Penyewa harus menghilangkan semua efek yang terjadi selama memanfaatkan barang setelah akad selesai.

Sewa-menyewa adalah akad yang mengikat pemilik barang dan penyewa. Sewa-menyewa termasuk bentuk jual beli sehingga hukumnya sama dengan jual beli. Jadi, masing-masing pihak tidak boleh membatalkan akad kecuali atas keridaan yang lain. Jika penyewa mendapati aib yang tidak diketahui saat akad, maka ia berhak membatalkan akad.

Pemilik harus menyerahkan barang sewaan kepada penyewa dan memberinya keleluasaan untuk memanfaatkannya. Bila pemilik menyewakan barang namun menghalangi penyewa untuk memanfaatkannya selama kurun waktu sewa atau sebagiannya, maka ia tidak berhak mendapatkan sebagian atau seluruh ongkos sewa. Ini terjadi karena ia menyerahkan barang sewaan yang tidak sesuai dengan akad sewa-menyewa. Konsekuensinya, ia tidak berhak menarik ongkos kecuali sebanding dengan manfaat yang dapat diambil oleh penyewa.

Jika pemilik membebaskan penyewa untuk memanfaatkan barang sewaan, namun penyewa membiarkannya saja (tidak memanfaatkan barang sewaan) selama kurun waktu sewa atau sebagiannya, maka penyewa wajib membayar ongkos sewa secara penuh. Demikian itu karena sewa-menyewa adalah akad yang mengikat sehingga konsekuensinya harus diterima, yaitu mendapatkan upah jika ia pemilik, dan memanfaatkan barang jika ia penyewa.

Akad Sewa-Menyewa Batal

Akad sewa-menyewa batal dalam keadaan berikut:

1️⃣ Barang yang disewa rusak, seperti hewan tunggangan mati, rumah rubuh, dan irigasi lahan pertanian terputus.

2️⃣ Maksud yang diinginkan dari akad tidak ada lagi, seperti orang yang menyewa dokter keburu sembuh sebelum dokter mengobatinya. Dalam contoh ini, penyewa tidak bisa lagi mengambil manfaat dari dokter yang disewanya.

Sewa-Menyewa Orang

Bila orang yang disewa untuk melakukan suatu pekerjaan jatuh sakit, maka orang itu harus menunjuk penggantinya yang akan melakukan pekerjaan itu, kecuali bila ia diharuskan oleh penyewa melakukannya sendiri. Alasannya adalah, mungkin saja tujuan sewa-menyewa tidak tercapai jika pekerjaan dilakukan oleh orang lain. Dengan begitu, penyewa tidak harus menerima orang lain. Hanya saja, ketika itu penyewa bebas memilih: Apakah ia bersabar dan menunggu orang yang disewa sembuh, atau membatalkan sewa-menyewa karena tidak bisa mendapatkan haknya.

Orang yang disewa ada dua macam: khusus dan umum.

Orang sewaan khusus adalah orang yang disewa dalam kurun waktu tertentu oleh satu orang. Penyewa berhak mendapatkan seluruh manfaat dari orang tersebut tanpa orang lain ikut memanfaatkannya. Orang sewaan bersama adalah orang yang manfaatnya ditentukan lewat pekerjaan dan tidak terikat dengan orang tertentu. Ia menerima order kerjaan dari sejumlah orang dalam periode yang sama.

Orang sewaan khusus tidak menanggung kerusakan yang tidak disengaja dalam melakukan pekerjaannya, seperti alat yang ia pakai. Dalam hal ini ia bertindak sebagai pengganti bagi pemilik alat (penyewa) sehingga ia tidak wajib menanggung kerusakan. Jika kerusakan itu karena ceroboh, maka ia harus menanggung kerusakan itu.

Orang sewaan bersama menanggung seluruh kerusakan akibat perbuatannya. Ia tidak berhak mendapatkan bayaran kecuali setelah pekerjaannya selesai, karena pekerjaannya merupakan tanggung jawabnya. Hal itu karena sesuatu yang muncul dari tanggung jawab, maka sesuatu itu menjadi tanggung jawab pula.

Upah wajib diberikan kepada orang sewaan setelah terjadi akad. Namun ia tidak berhak memintanya kecuali setelah pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya selesai, atau setelah ia dimanfaatkan secara penuh (sesuai akad), atau setelah ia menyerahkan barang yang disewa setelah berlalunya masa sewa jika tidak ada penghalang.

Hal itu karena orang sewaan hanya berhak mendapatkan upah jika ia telah menyelesaikan pekerjaannya, atau apa yang hukumnya seperti pekerjaan. Selain itu, ongkos sewa adalah imbalan yang hanya berhak diterima setelah menyerahkan apa yang disewa.

Orang sewaan harus melakukan pekerjaannya dengan rapi dan sempurna. Ia tidak boleh menipu atau berkhianat dalam pekerjaannya. Ia harus bekerja selama jam kerja dan tidak boleh melewatkan sedikit pun waktu tanpa bekerja. Ia juga harus bertakwa kepada Allah Ta’ala dalam melaksanakan kewajibannya.

Pihak yang menyewa (mempekerjakan) wajib membayarkan upah secara utuh setelah pekerjaan rampung. Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

أَعْطُوا الْأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ

Bayarlah upah kepada pekerja sebelum keringatnya kering.” (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah. Disahihkan oleh Syekh al-Albani dalam Irwa al-Ghalil)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa Allah Ta’ala berfirman:

ثَلَاثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ كُنْتُ خَصْمَهُ خَصَمْتُهُ: رَجُلٌ أَعْطَى بِي ثُمَّ غَدَرَ، وَرَجُلٌ بَاعَ حُرًّا فَأَكَلَ ثَمَنَهُ، وَرَجُلٌ اِسْتَأْجَرَ أَجِيرًا، فَاسْتَوْفَى مِنْهُ الْعَمَل، وَلَمْ يُعْطِهِ أَجْرَهُ

Tiga kelompok orang yang akan menjadi lawan-Ku pada Hari Kiamat. Siapa pun yang Aku lawan, ia pasti kalah. (Mereka adalah) orang yang memberi jaminan atas nama-Ku lalu menipu, orang yang menjual orang merdeka lalu memakan harganya, dan orang yang menyewa seorang pekerja hingga pekerjaannya selesai namun tidak membayarkan upahnya.” (HR. al-Bukhari dan Ibnu Majah)

Karenanya, pekerjaan seorang buruh adalah amanah. Ia harus memperhatikan kesempurnaan, keahlian, dan kejujuran dalam bekerja. Sedangkan upahnya adalah hutang yang ditanggung oleh orang yang mempekerjakannya. Upah merupakan kewajiban yang harus dibayarkan tanpa ditunda-tunda atau dikurangi.

Baca juga: QARDH (PINJAMAN)

Baca juga: ARIYAH (PINJAM MEMINJAM)

Baca juga: HUKUM JUAL BELI

(Syekh Dr Shalih bin Fauzan al-Fauzan)

Fikih