Allah Azza wa Jalla berfirman:
اَلَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ اَمْوَالَهُمْ بِالَّيْلِ وَالنَّهَارِ سِرًّا وَّعَلَانِيَةً فَلَهُمْ اَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْۚ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْنَ
“Orang-orang yang menginfakkan hartanya malam dan siang hari (secara) sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, mereka mendapat pahala di sisi Rabbnya. Tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati.” (QS al-Baqarah: 274)
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, “Ini adalah pujian dari Allah Ta’ala untuk orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah serta mencari keridaan-Nya di setiap waktu, baik malam maupun siang hari; serta dalam setiap keadaan, baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan.”
Firman-Nya: “Mereka mendapatkan pahala di sisi Rabb mereka.” Yakni, ganjaran bagi mereka. Allah Ta’ala menyebutnya dengan ‘pahala’, sebagai bentuk pemberian kepada mereka. Mereka berhak mendapatkannya, sebagaimana pekerja berhak mendapatkan upah dari orang yang mempekerjakannya.
Firman-Nya: “Tidak ada rasa takut pada mereka.” Yaitu, terhadap masa yang akan datang.
Firman-Nya: “Dan mereka tidak bersedih hati.” Yakni, terhadap masa yang telah lalu.
Sehubungan dengan sedekan secara terang-terangan, terdapat sejumlah hadis yang sahih. Di antaranya adalah kisah suatu kaum yang datang dari Bani Mudhar.
Dari Abu Amr Jarir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di awal siang. Kemudian sekelompok kaum yang setengah telanjang datang dengan mengenakan kain wol bergaris yang dilubangi bagian kepalanya (seperti baju kurung). Mereka menyandang pedang. Kebanyakan dari mereka berasal dari Bani Mudhar, atau memang semuanya dari Bani Mudhar. Ketika melihat keadaan mereka yang miskin, wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berubah. Beliau masuk ke rumahnya, kemudian keluar lagi. Beliau memerintahkan Bilal (untuk azan). Bilal pun azan dan ikamah. Selanjutnya beliau melaksanakan salat.
Seusai salat, beliau membaca ayat,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ
“Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dari jiwa yang satu,” hingga akhir ayat
إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
“Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kalian.” (QS an-Nisa: 1)
Kemudian beliau membaca ayat akhir surat al-Hasyr,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat).” (QS al-Hasyr: 11)
تَصَدَّقَ رَجُلٌ مِنْ دِينَارِهِ، مِنْ دِرْهَمِهِ، مِنْ ثَوْبِهِ، مِنْ صَاعِ بُرِّهِ، مِنْ صَاعِ تَمْرِهِ -حَتَّى قَالَ- وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ
“Hendaklah seseorang bersedekah dengan dinarnya, dirhamnya, bajunya, sha’ gandumnya atau sha’ kurmanya,” hingga beliau bersabda, “meskipun dengan separuh buah kurma.”
Setelah itu, seorang laki-laki Anshar datang dengan membawa satu karung hingga ia hampir tidak kuat (memikulnya), bahkan memang tidak kuat. Setelah itu orang-orang berbondong-bondong mengikutinya bersedekah hingga aku melihat dua tumpukan makanan dan pakaian. Aku melihat wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berseri-seri, seakan-akan ada sinar di wajahnya. Kemudian beliau bersabda,
مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً، فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ. وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً، كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
“Barangsiapa menghidupkan sunah yang baik dalam Islam, maka baginya pahala dan pahala orang yang mengikutinya setelah itu, tanpa mengurangi sedikit pun pahala orang yang mengikutinya. Barangsiapa menghidupkan sunah yang buruk dalam Islam, maka baginya dosa dan dosa orang yang mengikutinya setelah itu, tanpa mengurangi sedikit pun dosa orang yang mengikutinya.” (HR Muslim)
Dalam hadis di atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para sahabat untuk memberikan sedekah kepada Bani Mudhar. Para sahabat pun berdatangan untuk mengantarkan sedekah mereka secara terang-terangan.
Dari Zaid bin Aslam, dari ayahnya, ia berkata: Aku mendengar Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami bersedekah. Bertepatan dengan itu, aku mempunyai harta. Aku berkata (dalam hati), ‘Pada hari ini aku lebih unggul dari Abu Bakr jika aku lebih dulu (bersedekah).’ Lalu aku datang dengan setengah hartaku.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadaku,
مَا أَبْقَيْتَ لِأَهْلِكَ
‘Apa yang engkau sisakan untuk keluargamu?’
Aku menjawab, ‘Seperti itu.’
Lalu Abu Bakr datang dengan membawa seluruh yang ia punya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada Abu Bakr,
مَا أَبْقَيْتَ لِأَهْلِكَ
‘Apa yang kamu sisakan untuk keluargamu?’
Abu Bakr menjawab, ‘Aku menyisakan untuk mereka Allah dan Rasul-Nya.’
Maka aku berkata, ‘Demi Allah, aku tidak pernah bisa mengunggulinya terhadap sesuatu pun selamanya.’” (HR at-Tirmidzi. Dihasankan oleh Syekh al-Albani)
Dalam hadis di atas baik Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu maupun Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu memberikan sedekah secara terang-terangan.
Allah Azza wa Jalla berfirman tentang sedekah:
اِنْ تُبْدُوا الصَّدَقٰتِ فَنِعِمَّا هِيَۚ وَاِنْ تُخْفُوْهَا وَتُؤْتُوْهَا الْفُقَرَاۤءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ
“Jika kalian menampakkan sedekah-sedekah kalian, maka hal itu baik. Dan jika kalian menyembunyikannya dan memberikannya kepada orang-orang fakir, maka hal itu lebih baik bagi kalian.” (QS al-Baqarah: 271)
Firman Allah Ta’ala: “Jika kalian menampakkan sedekah-sedekah kalian, maka hal itu baik.” Artinya, jika kalian memperlihatkan sedekah, maka hal itu termasuk perbuatan yang sangat baik.
Firman Allah Ta’ala: Dan jika kalian menyembunyikannya dan memberikannya kepada orang-orang fakir, maka hal itu lebih baik bagi kalian.”
Dalam ayat ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa memberikan sedekah secara sembunyi-sembunyi adalah lebih baik daripada secara terang-terangan, karena dua alasan:
1. Cara tersebut lebih mendekati keikhlasan dan jauh dari riya’.
2. Cara tersebut lebih menjaga rahasia orang yang menerima sedekah, karena banyak orang, walaupun tergolong mustahiq (yang berhak mendapatkan) sedekah, tidak ingin diketahui oleh orang lain kalau dirinya miskin sehingga diberi sedekah.
Namun seandainya sedekah secara terang-terangan dapat memberikan kemaslahatan, maka cara itu adalah lebih utama. Terkadang sebuah perbuatan yang sebelumnya tidak utama menjadi utama karena sebab. Termasuk dalam hal ini adalah memberikan sedekah secara terang-terangan, dan perbuatan itu ditiru oleh orang lain, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً، فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
“Barangsiapa menghidupkan sunah yang baik dalam Islam, maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang lain yang mengamalkannya sampai hari Kiamat.” (HR Muslim)
Baca juga: HARTA SENDIRI ADALAH HARTA YANG DISEDEKAHKAN
Baca juga: SEDEKAH DENGAN AMAL SALEH
Baca juga: HUJAN TURUN DI KEBUN FULAN
Baca juga: PINTU SURGA DIBUKA, PINTU NERAKA DITUTUP, SETAN DIBELENGGU
Rujukan:
1. Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Syahr Shahih al-Bukhari,
2. Ibnu Katsir, Tafsiri Ibni Katsir.