RUKUN ISLAM – MENDIRIKAN SHALAT

RUKUN ISLAM – MENDIRIKAN SHALAT

Shalat dinamakan “shalat” karena ia menjadi penghubung antara seorang hamba dengan Allah. Ketika seseorang berdiri melaksanakan shalat, sesungguhnya ia sedang bermunajat dan berdialog dengan Rabb-nya, sebagaimana dinyatakan dalam hadis sahih dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أنَّ اللهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى قَالَ: قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ، وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ، فَإِذَا قَالَ: {الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ} قَالَ اللهُ تَعَالَى: حَمِدَنِي عَبْدِي، وَإِذَا قَالَ: ﴿الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ﴾ قَالَ اللهُ تَعَالَى: أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي، وَإِذَا قَالَ: ﴿مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ﴾ قَالَ مَجَّدَنِي عَبْدِي، فَإِذَا قَالَ: ﴿إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ﴾ قَالَ: هَذَا بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي، وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ، فَإِذَا قَالَ: ﴿اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ﴾ قَالَ اللهُ: هَذَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: ‘Aku membagi shalat antara diri-Ku dan hamba-Ku dua bagian, dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta. Ketika ia berkata: “الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ” (Segala puji bagi Allah, Rabb seluruh alam), Allah Ta’ala berfirman: Hamba-Ku memuji-Ku. Ketika ia berkata: “الرَّحْمـنِ الرَّحِيمِ” (Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang), Allah Ta’ala berfirman: Hamba-Ku menyanjung-Ku. Ketika ia berkata: “مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ” (Penguasa Hari Pembalasan), Allah berfirman: Hamba-Ku mengagungkan-Ku. Ketika ia berkata: “إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ” (Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan), Allah berfirman: Ini antara Aku dan hamba-Ku, dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta. Ketika ia berkata: “اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ” (Tunjukilah kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat, bukan jalan mereka yang dimurkai dan bukan pula jalan mereka yang sesat), Allah berfirman: Ini bagi hamba-Ku, dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta.’” (HR Muslim)

Renungkanlah dialog dan munajat antara manusia dengan Rabb-nya. Namun, banyak di antara kita yang dalam munajat ini hatinya lalai. Kamu akan melihat seseorang berpaling ke kanan dan ke kiri, padahal ia sedang bermunajat kepada Dzat yang mengetahui apa yang ada dalam dada, yaitu Allah ‘Azza wa Jalla. Ini terjadi karena kebodohan dan kelalaian kita sendiri.

Maka, kewajiban kita—dan kita memohon kepada Allah agar Dia meneguhkan kita dalam hal ini—adalah memastikan hati kita hadir ketika melaksanakan shalat, agar tanggung jawab kita terpenuhi dan kita dapat meraih manfaat darinya. Sebab, manfaat yang diperoleh dari shalat hanya akan dicapai melalui shalat yang sempurna. Oleh karena itu, kita semua membaca firman Allah ‘Azza wa Jalla:

إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ

Sesungguhnya shalat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.” (QS al-‘Ankabut: 45)

Namun, tetap saja ada orang yang, setelah melaksanakan shalat, tidak merasakan adanya penolakan di hatinya terhadap kemungkaran, atau peningkatan pengenalan terhadap kebaikan dibandingkan sebelum ia memulai shalat. Ini menunjukkan bahwa hatinya tidak tersentuh, dan ia tidak mendapatkan manfaat dari shalat tersebut karena shalatnya kurang sempurna. Padahal, shalat adalah rukun Islam yang paling agung setelah dua kalimat syahadat.

Allah ‘Azza wa Jalla telah mewajibkan shalat kepada Nabi-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa perantara, langsung dari Allah kepada Rasul. Shalat ini diwajibkan di tempat tertinggi yang pernah dicapai oleh manusia, dan diwajibkan pada malam paling mulia bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu malam Mi’raj. Awalnya, shalat diwajibkan sebanyak lima puluh kali dalam sehari semalam. Dari peristiwa ini, ada empat hal penting yang bisa kita renungkan:

Pertama: Kewajiban shalat berbeda dengan kewajiban zakat, puasa, dan haji, karena shalat disampaikan langsung oleh Allah Ta’ala kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa perantara.

Kedua: Dari segi tempat, shalat diwajibkan di tempat tertinggi yang pernah dicapai oleh manusia, berbeda dengan kewajiban lain yang ditetapkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau berada di bumi.

Ketiga: Dari segi waktu, shalat diwajibkan pada malam paling mulia bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu malam Mi’raj.

Keempat: Dari segi jumlah, shalat pada awalnya diwajibkan sebanyak lima puluh kali dalam sehari semalam, bukan hanya satu kali. Ini menunjukkan betapa besarnya kecintaan Allah terhadap shalat, serta bahwa Dia mencintai hamba-Nya yang selalu sibuk dengan ibadah ini.

Akan tetapi, Allah menjadikan setiap sesuatu memiliki sebab. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam turun sebagai bentuk kepatuhan terhadap perintah Allah dan menerima kewajiban yang ditetapkan oleh-Nya, beliau melewati Musa ‘alaihshshalatu wassalam. Musa bertanya, “Apa yang Allah wajibkan kepada umatmu?” Rasulullah menjawab, “Lima puluh shalat dalam sehari semalam.” Musa berkata, “Sesungguhnya umatmu tidak akan mampu melakukannya. Aku telah menguji umat sebelum kamu dan menangani Bani Israil dengan penanganan yang sangat keras. Pergilah kepada Rabb-mu dan mintalah agar Dia meringankan beban umatmu!”

Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pergi kepada Allah, dan bolak-balik antara Musa ‘alaihshshalatu wassalam dan Allah ‘Azza wa Jalla, hingga akhirnya Allah menjadikannya lima shalat. Namun, Allah dengan karunia dan nikmat-Nya, serta pujian dan keutamaan-Nya, berfirman:

هِيَ خَمْسٌ بِالْفِعْلِ، وَخَمْسُونَ فِي الْمِيزَانِ

(Shalat) ini lima dalam pelaksanaannya, tetapi lima puluh dalam timbangan.”

Ini bukan dalam konteks menerima kebaikan dengan sepuluh kali lipat seperti amal-amal lainnya, tetapi dalam konteks satu amal diterima sebagai pengganti lima puluh amal. Jadi, lima shalat ini setara dengan lima puluh shalat.

Seolah-olah kita telah melaksanakan lima puluh shalat, dengan setiap shalat mendapatkan kebaikan sepuluh kali lipat. Sebab, jika ini hanya sekadar dalam konteks pelipatgandaan pahala, tidak akan ada perbedaan antara shalat dan amalan lainnya. Namun, ini adalah keistimewaan tersendiri, di mana shalat lima kali seolah-olah kita telah melaksanakan lima puluh shalat.

Allah Subahanahu wa Ta’ala berfirman, “(Shalat) ini lima dalam pelaksanaannya, tetapi lima puluh dalam timbangan.” Hal ini menunjukkan betapa agungnya shalat-shalat ini, dan itulah sebabnya Allah Subahanahu wa Ta’ala mewajibkannya kepada hamba-hamba-Nya sebanyak lima kali dalam sehari semalam. Kita diharuskan berdialog dengan Allah, memohon kepada-Nya, dan berdoa kepada-Nya lima kali dalam sehari semalam.

Seandainya seseorang mendapatkan kesempatan untuk bertemu dengan seorang raja lima kali sehari, hal itu pasti akan dianggap sebagai salah satu keistimewaannya. Dia akan merasa sangat senang dan berkata, “Setiap hari aku memiliki kesempatan bertemu dengan raja lima kali.”

Kamu bermunajat kepada Raja segala raja, ‘Azza wa Jalla, setidaknya lima kali sehari. Mengapa kamu tidak merasa bahagia dengan hal ini? Bersyukurlah kepada Allah atas nikmat luar biasa ini dan dirikanlah shalat.

Dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Dan engkau mendirikan shalat,” berarti melaksanakannya dengan sempurna, lengkap dengan syarat-syaratnya, rukun-rukunnya, dan kewajibannya.

Baca juga: SHALAT ADALAH PENGHUBUNG HAMBA DAN RABB-NYA

Baca juga: DIWAJIBKANNYA SHALAT LIMA WAKTU

Baca juga: ADAB BERDOA

(Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)

Fikih Riyadhush Shalihin