HUKUM JUAL BELI

HUKUM JUAL BELI

Mengingat besarnya kebutuhan manusia akan muamalah, Allah Ta’ala dan Rasul-Nya menjelaskan hukum-hukumnya di dalam al-Qur-an dan as-Sunnah.

Manusia memerlukan makanan agar tubuhnya kuat. Mereka juga memerlukan pakaian, tempat tinggal, kendaraan, dan lain-lain yang menjadi kebutuhan primer dan sekunder dalam kehidupan sehari-hari. Semua itu hanya dapat diperoleh melalui jual beli. Oleh karena itu, jual beli diperbolehkan dalam al-Qur-an, as-Sunnah, ijmak ulama, dan kias.

Allah Ta’ala berfirman:

وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ

Allah telah menghalalkan jual beli.” (QS al-Baqarah: 275)

Allah Ta’ala berfirman:

لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَنْ تَبْتَغُوْا فَضْلًا مِّنْ رَّبِّكُمْ

Tidak ada dosa atas kalian untuk mencari karunia dari Rabb kalian.”  (QS al-Baqarah: 198)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا، فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا، بُورِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا، وَإِنْ كَذَبَا وَكَتَمَا، مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا

Orang yang berjual beli bebas menentukan pilihan selama keduanya belum berpisah. Jika keduanya berlaku jujur dan terus terang, maka jual beli tersebut akan diberkahi. Namun jika keduanya berdusta dan menyembunyikan, maka berkah itu dicabut dari jual beli mereka.” (Muttafaq ‘alaih)

Secara umum, para ulama juga telah sepakat (ijmak) dengan dibolehkannya jual beli.

Adapun menurut kias, maka jual beli dibolehkan karena hajat manusia mengharuskan jual beli. Hajat seseorang sering terikat dengan apa yang dimiliki orang lain, baik berupa uang maupun barang. Sedangkan orang lain biasanya tidak merelakannya kecuali dengan imbalan. Hal inilah yang menjadi dasar dibolehkannya jual beli, yaitu demi tercapainya tujuan yang dimaksud.

Transaksi jual beli terjadi dalam bentuk lisan maupun tindakan.

Transaksi lisan terdiri dari ijab, yaitu ucapan si penjual seperti “Barang ini aku jual,” dan kabul, yaitu ucapan si pembeli seperti “Barang ini aku beli.”

Sedangkan transaksi tindakan terjadi dengan serah terima, yaitu penjual menyerahkan barang kepada pembeli, lalu pembeli membayarnya dengan harga yang sesuai.

Transaksi jual beli bisa juga dengan lisan dan tindakan sekaligus.

Syekh Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Bentuk jual beli dengan serah terima (tindakan) bermacam-macam: (1) Penjual mengucapkan ijab secara lafaz saja, lalu pembeli mengambil barangnya, seperti ‘Ambillah kain ini seharga satu dinar,’ lalu pembeli mengambilnya. Demikian pula bila harganya berupa barang tertentu (barter), seperti penjual berkata ‘Ambillah kain ini dengan imbalan kainmu,’ lalu pembeli mengambilnya. (2) Pembeli mengucapkan kabul, lalu penjual menyerahkan barangnya, baik harganya berupa barang maupun sesuatu yang ditanggung oleh pembeli (hutang). (3) Mereka berdua tidak mengucapkan apa-apa, melainkan mengikuti kebiasaan yang sudah ada, yaitu cukup dengan membayar harga dan mengambil barang.”

Agar jual beli dianggap sah, beberapa syarat harus dipenuhi. Syarat-syarat itu berkaitan dengan pelaku transaksi dan berkaitan dengan barang yang ditransaksikan. Bila salah satu syarat tidak terpenuhi, maka jual beli tidak sah.

Syarat yang Berkaitan dengan Pelaku Transaksi

Syarat yang berkaitan dengan pelaku transaksi adalah:

1️⃣ Terdapat unsur kerelaan dari penjual dan pembeli. Bila salah satu pihak dipaksa bertransaksi tanpa alasan yang benar, maka jual beli tidak sah. Dalilnya adalah Firman Allah Ta’ala:

اِلَّآ اَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِّنْكُمْ

“…kecuali hal tersebut terjadi lewat jual beli dengan penuh keridaan di antara kalian.” (QS an-Nisa’: 29)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّمَا الْبَيْعَ عَنْ تَرَاضٍ

Jual beli tidak lain atas dasar saling meridai.” (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Ibnu Hibban. Disahihkan oleh Syekh al-Albani dalam Irwa’ al-Ghalil)

Jika pihak yang memaksa melakukannya dengan cara yang benar, maka jual beli tetap sah. Misalnya, jika pemerintah memaksa seseorang menjual asetnya demi melunasi hutangnya, maka pemaksaan ini termasuk pemaksaan yang dibenarkan.

2️⃣ Terpenuhinya syarat kelayakan bertransaksi dari kedua belah pihak. Yaitu, kedua belah pihak harus berstatus merdeka, mukalaf, dan pandai menggunakan harta. Atas dasar ini, jual beli yang dilakukan oleh anak kecil, orang yang tidak cakap menggunakan harta, orang gila, atau hamba sahaya yang tidak mendapat izin dari majikannya tidak dianggap sah.

3️⃣ Kedua belah pihak adalah pemilik sah dari barang yang ditransaksikan, atau bertindak selaku pemilik. Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Hakim bin Hizam radhiyallahu ‘anhu,

وَلَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ

Janganlah engkau menjual sesuatu yang tidak ada padamu.” (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa-i, dan Ibnu Majah. Disahihkan oleh Syekh al-Albani dalam Irwa’ al-Ghalil)

Maksudnya, janganlah engkau menjual barang yang tidak engkau miliki.

al-Wazir Ibnu Hubairah berkata, “Mereka (para ulama) bersepakat dengan tidak diperbolehkannya seseorang menjual sesuatu yang tidak ada padanya dan tidak dimilikinya, lalu orang lain membeli barang itu sebagai barangnya. Jual beli semacam ini adalah batil.”

Syarat yang Berkaitan dengan Barang yang Diperjualbelikan

Adapun syarat yang terkait dengan barang yang diperjualbelikan adalah:

1️⃣ Barang tersebut boleh dimanfaatkan secara mutlak. Atas dasar ini, tidak sah seseorang menjual barang yang haram dimanfaatkan, seperti khamar, babi, alat musik, dan bangkai. Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِيرِ وَالْأَصْنَامِ

Sesunggubnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual beli khamar, bangkai, babi, dan berhala.” (Muttafaq ‘alaih)

Dalam riwayat Abu Dawud disebutkan:

حَرَّمَ الْخَمْرَ وَثَمَنَهَا وَحَرَّمَ الْمَيْتَةَ وَثَمَنَهَا وَحَرَّمَ الْخِنْزِيرَ وَثَمَنَهُ

Allah mengharamkan khamar dan uang hasil penjualannya, mengharamkan bangkai dan uang hasil penjualannya, serta mengharamkan babi dan uang hasil penjualannya.” (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh Abu Dawud. Disahihkan oleh Syekh al-Albani dalam Shahih at-Targhib wa at-Tarhib)

Minyak dari benda najis atau terkena najis juga tidak sah diperjualbelikan. Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّ اللهَ إِذَا حَرَّمَ شَيْئًا حَرَّمَ ثَمَنَهُ

Sesungguhnya bila Allah telah mengharamkan sesuatu, maka Dia mengharamkan pula uang hasil penjualannya.” (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh Abu Dawud. Disahihkan oleh Syekh al-Albani dalam Shahih al-Jami’)

Dalam hadis yang muttafaq ‘alaih disebutkan, “Ya Rasulallah, bagaimana menurut engkau lemak yang diambil dari bangkai, lalu digunakan untuk mengecat perahu, meminyaki kulit, dan menyalakan lampu minyak?”

Beliau menjawab

لَا، هُوَ حَرَامٌ

Tidak boleh. Ia haram.” (Muttafaz ‘alaih)

2️⃣ Barang yang diperjualbelikan dan alat pembayarannya harus bisa diserahterimakan, sebab sesuatu yang tidak bisa diserahterimakan dihukumi seperti sesuatu yang tidak ada. Oleh karenanya, ia tidak sah untuk diperjualbelikan. Maka dari itu, menjual budak yang kabur, unta yang melarikan diri, atau burung yang terbang di angkasa tidaklah boleh. Begitu pula menjual barang yang dirampas kepada selain perampasnya, atau ke selain orang yang mampu mengambilnya dari perampas juga tidak boleh.

3️⃣ Barang yang diperjualbelikan dan alat pembayarannya diketahui oleh kedua belah pihak. Jika tidak diketahui, maka dapat menimbulkan penipuan, padahal penipuan adalah terlarang. Oleh karena itu, tidak sah membeli sesuatu yang belum terlihat, atau sudah terlihat tetapi belum diketahui subtansinya. Demikian pula, tidak sah membeli secara terpisah janin yang masih di dalam perut induknya atau air susu yang masih di dalam tubuh hewan.

Begitu pula, tidak sah jual beli secara mulamasah (sentuhan acak), seperti dengan berkata, “Kain apa saja yang engkau sentuh, engkau harus membelinya seharga sekian,” atau secara munabadzah (lemparan acak), seperti dengan berkata, “Kain apa saja yang engkau lemparkan kepadaku, maka harganya sekian.” Dalilnya adalah hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli secara mulamasah dan munabadzab. (Muttafaq ‘alaih)

Demikian juga, tidak sah jual beli dengan cara melempar batu, seperti si penjual berkata, “Lemparkanlah batu ini! Di atas kain apa pun batu ini jatuh, maka engkau membeli dengan harga sekian.”

Baca juga: SYARAT-SYARAT DALAM JUAL BELI

Baca juga: MENJUAL SESUATU YANG TIDAK DIMILIKI

Baca juga: JUAL BELI YANG DILARANG

Baca juga: HUKUM SALAM

(Syekh Dr Shalih bin Fauzan al-Fauzan)

Fikih