123. Dari Ali radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membacakan kepada kami al-Qur’an selama tidak dalam keadaan junub.” (Diriwayatkan oleh lima perawi, dan ini adalah lafaz at-Tirmidzi. Hadis ini dinilai sahih oleh at-Tirmidzi dan dinilai hasan oleh Ibnu Hibban)
PENJELASAN
Penulis rahimahullah menyebutkan dalam nukilannya dari hadis-hadis dalam Bab Mandi Besar dan Hukum Orang yang Junub, dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan kepada kami al-Qur’an selama tidak dalam keadaan junub,” maksudnya, beliau mengajarkan mereka al-Qur’an kecuali jika beliau dalam keadaan junub.
Dalam lafaz lain, “selama kami tidak junub,” maksudnya jika para pengajar dalam keadaan junub, maka mereka juga tidak membacakan al-Qur’an kepada para murid-muridnya.
Dalam hadis ini terdapat dalil bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan al-Qur’an kepada umatnya, dan menganjurkan Ali radhiyallahu ‘anhu untuk mengajarkan al-Qur’an. Beliau bersabda,
خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ
“Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya.” (Shahih Ibnu Hibban)
Ini mencakup pengajaran lafaz dan maknanya. Dengan demikian, orang yang mengajarkan tafsir adalah sebaik-baik manusia, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya.”
Orang yang mengajarkan dalam halaqah-halaqah penghafalan al-Qur’an di masjid-masjid juga termasuk sebaik-baik manusia, karena mereka mengajarkan lafaz-lafaz al-Qur’an yang mulia.
Dalam hadis ini terdapat dalil bahwa orang yang dalam keadaan junub tidak boleh membaca al-Qur’an, baik untuk mengajarkan maupun untuk mempelajari, berdasarkan sabdanya, “selama tidak junub,” dan juga sabdanya dalam lafaz kedua, “selama kami tidak junub.” Ini menunjukkan bahwa membaca al-Qur’an dalam keadaan junub tidak diperbolehkan, karena menyampaikan al-Qur’an adalah kewajiban, dan kewajiban tidak boleh ditinggalkan kecuali bagi orang yang memiliki uzur besar atau kewajiban yang sebanding.
Oleh karena itu, kami katakan: Haram bagi seseorang yang dalam keadaan junub untuk membaca sesuatu dari al-Qur’an. Adapun dzikir yang sesuai dengan al-Qur’an tidak mengapa, seperti mengucapkan,
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
“Ya Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari azab Neraka.” (QS al-Baqarah: 201)
dengan maksud berdoa, atau seperti mengucapkan,
لَا إِلٰهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنتُ مِنَ الظَّالِمِينَ
“Tidak ada ilah selain Engkau, Mahasuci Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang yang zalim.” (QS al-Anbiya: 87)
dengan maksud berdzikir, atau seperti mengucapkan,
إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ
“Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali.” (QS al-Baqarah: 156)
dengan maksud berdzikir, maka tidak mengapa, karena junub tidak menghalangi dzikir, sebagaimana yang dikatakan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingat Allah dalam setiap keadaannya.” (Diriwayatkan oleh Muslim)
Adapun perempuan haidh, para ulama rahimahumullah berselisih pendapat tentang apakah diharamkan baginya membaca al-Qur’an atau tidak. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa tidak diharamkan baginya membaca al-Qur’an, baik untuk belajar, mengajar, beribadah, atau menjaga diri, karena tidak ada dalam sunah teks yang tegas dan sahih yang melarang perempuan haidh dari membaca al-Qur’an.
Selain itu, perempuan haidh tidak bisa diqiyaskan (disamakan) dengan orang yang junub, karena orang yang junub dapat membersihkan dirinya dengan mandi besar, sedangkan perempuan haidh tidak bisa menghentikan darahnya dengan kehendaknya sendiri. Oleh karena itu, diberikan keringanan baginya apa yang tidak diberikan keringanan bagi orang yang junub.
Di antara para ulama ada yang berpendapat bahwa diharamkan baginya (perempuan haidh) membaca al-Qur’an seperti halnya orang yang junub.
Di antara mereka ada yang berpendapat dengan pendapat pertengahan, yaitu bahwa apa yang dibutuhkan oleh seseorang, maka tidak mengapa dengannya, tetapi jika sekadar untuk ibadah, maka tidak diperbolehkan.
Di antara yang dibutuhkan adalah mengajar atau belajar, mengulang hafalan al-Qur’an agar tidak lupa, atau menjaga diri dengan al-Qur’an seperti membaca Ayat Kursi dalam wirid, atau hal-hal yang serupa dengannya.
Pendapat ini dianggap sebagai pendapat pertengahan, yaitu bahwa apa yang dibutuhkan oleh seseorang karena suatu kebutuhan, maka tidak mengapa membaca al-Qur’an, meskipun dalam keadaan haidh. Adapun sekadar ibadah, maka tidak diperbolehkan.
Baca juga: SUNAH BERHENTI MEMBACA AL-QUR’AN KETIKA RASA KANTUK MENGUASAI
Baca juga: HAL-HAL YANG DIHARAMKAN BAGI YANG JUNUB
Baca juga: HUKUM PUASA ORANG YANG SUBUH HARINYA MASIH JUNUB
(Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)

