HUKUM BANGKAI

HUKUM BANGKAI

Bangkai adalah hewan yang mati tanpa disembelih yang dianggap kotor yang menghalangi keabsahan ibadah (najis). Dalil yang menunjukkan najisnya bangkai adalah hadis sahih yang tercantum dalam as-Shahihain (al-Bukhari dan Muslim).

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: Salah seorang maula (budak) Maimunah dihadiahi seekor kambing. Namun kambing itu kemudian mati. Kebetulan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lewat dekat bangkai kambing itu. Beliau berkata,

هلَّا أَخَذْتُمْ إِهَابَهَا فَدَبَغْتُمُوْهُ؟

Mengapa tidak kalian ambil kulitnya, lalu kalian samak dan manfaatkan?

Mereka menjawab, “Sesungguhnya ia telah menjadi bangkai.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّمَا حُرِّمَ أَكْلُهَا

Sesungguhnya yang diharamkan hanyalah memakannya saja.” (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan an-Nasa-i)

Dan juga dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَيُّمَا إِهَابٍ دُبِغَ فَقَدْ طَهُرَ

Kulit apapun yang disamak, maka ia menjadi suci.” (HR Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa-i, Ibnu Majah, Malik dan Ahmad)

Hal ini menunjukkan bahwa pada asalnya bangkai itu adalah najis, dan cara menyucikan kulitnya adalah dengan penyamakan.

Hal-hal yang masuk ke dalam hukum bangkai

🟢 Jika bagian badan manapun dari hewan yang belum disembelih dipotong, maka potongan tersebut adalah bangkai.

Dari Abu Waqid al-Laitsi radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا قُطِعَ مِنْ الْبَهِيمَةِ، وَهِيَ حَيَّةٌ فَهُوَ مَيْتَةٌ

Apa saja yang dipotong dari hewan ketika ia masih hidup, maka potongan itu adalah bangkai.” (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad)

Atas dasar ini, apa saja yang dipotong dari punuk unta, ekor biri-biri atau yang dilakukan oleh sebagian tukang jagal di tempat-tempat penyembelihan umum berupa memotong telinga, kaki atau semisalnya dari hewan yang masih hidup, maka potongan itu termasuk bangkai, tidak halal dimakan dan tetap kenajisannya.

🟢 Hewan ghair ma’kul al-lahmu (hewan yang tidak halal dimakan dagingnya)

Hukum hewan yang dagingnya tidak halal dimakan adalah sama seperti hukum bangkai, meskipun ia disembelih. Hal itu karena di antara syarat sahnya penyembelihan adalah halalnya hewan yang disembelih.

Dari Salmah bin Akwa’, ia berkata: Menjelang sore, di hari kemenangan kaum muslimin terhadap Yahudi Khaibar, banyak prajurit menyalakan api.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya,

مَا هَذِهِ النِّيرَانُ؟ عَلَى أَيِّ شَيْءٍ تُوقِدُونَ؟

Api apa itu? Untuk apa kalian menyalakannya?

Mereka menjawab, “Untuk memasak daging.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali bertanya,

عَلَى أَيِّ لَحْمٍ؟

Daging apa?

Mereka menjawab, “Daging keledai jinak.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَهْرِيقُوهَا وَاكْسِرُوهَا

Tumpahkan daging itu dan pecahkan periuknya.

Seseorang berkata, “Ataukah kami menumpahkan dagingnya, kemudian mencuci periuknya?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

أَوْ ذَاكَ

Atau seperti itu.” (HR al-Bukhari, Muslim dan Ibnu Majah)

Hadis ini dijadikan dalil atas najisnya daging hewan yang tidak dimakan dagingnya sekalipun sudah disembelih, karena perintah pertama dalam hadis tersebut adalah memecahkan bejana, dan perintah kedua adalah mencucinya. Kedua-duanya menunjukkan kenajisannya.

Sebagian riwayat menyebutkan secara jelas kenajisan keledai jinak, yaitu sabdanya,

فَإِنَّهَا رِجْسٌ

Sesungguhnya ia adalah najis.” (HR an-Nasa-i dan Ibnu Majah)

Hal-hal yang dikecualikan dalam perkara bangkai

🔴 Bangkai ikan dan belalang

Bangkai ikan dan belalang adalah suci karena keduanya adalah hewan yang halal. Di antara dalil yang menunjukkan kehalalan bangkai laut adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ

(Laut) itu airnya suci. Bangkainya halal.” (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa-i dan Ibnu Majah)

Atas dasar ini, maka dibolehkan mengomsumsi bangkai laut dalam bentuk apapun, baik terapung maupun tenggelam, bangkainya disebabkan ulah manusia atau dihempaskan oleh gelombang laut atau yang semisalnya.

Adapun dalil atas halalnya belalang adalah:

Dari Ibnu Abi Aufa radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Kami pernah ikut berperang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebanyak tujuh atau enam peperangan. Kami bersama-sama beliau memakan belalang.” (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan an-Nasa-i)

al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Ulama sepakat atas dibolehkannya memakan belalang tanpa menyembelihnya.

🔴 Tulang, bulu, tanduk, kuku dan lainnya selain kulit yang dimiliki bangkai adalah suci

Hal itu karena tidak ada dalil yang menyatakan kenajisannya. Dan inilah pendapat yang diunggulkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam kumpulan fatwanya. Ia berkata, “Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama salaf.”

az-Zuhri berkata tentang tulang binatang yang mati (bangkai) seperti gajah, “Aku sempat menemui beberapa ulama salaf yang menggunakan sisir dari tulang-belulang bangkai dan sebagai tempat minyak.”

🔴 Kulit bangkai adalah najis, namun dapat disucikan dengan penyamakan

Dari lbnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Salah seorang maula (budak) Maimunah dihadiahi seekor kambing. Namun kambing itu kemudian mati. Kebetulan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lewat dekat bangkai kambing itu. Beliau berkata,

هلَّا أَخَذْتُمْ إِهَابَهَا فَدَبَغْتُمُوْهُ؟

Mengapa tidak kalian ambil kulitnya, lalu kalian samak dan manfaatkan?” (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan an-Nasa-i)

Dan juga dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَيُّمَا إِهَابٍ دُبِغَ فَقَدْ طَهُرَ

Kulit apapun yang disamak, maka ia menjadi suci.” (HR Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan an-Nasa-i, Ibnu Majah, Malik dan Ahmad)

Pertanyaan: Apakah penyamakan dapat menyucikan kulit semua hewan?

Sebagian ulama berpendapat bahwa penyamakan dapat menyucikan kulit semua hewan, hingga kulit anjing dan babi sekalipun. Hal itu karena sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kulit apapun” menunjukkan keumuman. Pendapat ini diunggulkan oleh as-Syaukani dan as-Shan’ani. Dan ini adalah pendapat Abu Hanifah dan para sahabatnya, Malik dan asy-Syafi’i. al-Hanafiyah mengecualikan daging babi, sedang asy-Syafi’i mengecualikan anjing dan babi.

Sedangkan yang lainnya berpendapat bahwa sesuatu yang halal disembelih, maka kulit bangkainya dapat disucikan dengan penyamakan. Atas dasar ini, kulit bangkai tidak dapat menjadi suci dengan disamak kecuali kulit bangkai hewan yang halal dimakan dagingnya.

Dalil mereka adalah apa yang terdapat di sebagian lafaz hadis yang menyebutkan, “Zakatuha dibaghuha” (sembelihannya adalah dengan menyamaknya). (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh an-Nasa-i, ath-Thabrani dan Ahmad)

Dengan demikian penyamakan hanya berlaku untuk kulit bangkai yang kedudukannya serupa dengan penyembelihan untuk hewan. Pendapat inilah yang diunggulkan oleh asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin di dalam Syarhul Mumti’ dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di dalam Majmu’ Fatawanya. Dan pendapat ini pulalah yang dianut oleh al-Auza’i, Ibnu al-Mubarak, Ishaq bin Rahawaih dan Abu Tsaur.

🔴 Susu bangkai dan infahnya adalah suci

Ibnu Taimiyah berkata, “Yang unggul bahwa infah dan susu bangkai adalah suci. Hal itu karena ketika menaklukkan negeri Irak, para sahabat memakan keju milik orang-orang Majusi. Dan hal ini jelas tersebar di antara mereka.

🔴 Bangkai yang tidak memiliki darah yang mengalir

Maksudnya adalah hewan yang darahnya tidak mengalir ketika mati atau ketika terluka seperti lalat, belalang dan kalajengking. Semua bangkai hewan ini tidak najis. Ulama berdalil untuk ketetapan di atas dengan hadis sahih yang diriwayatkan oleh al-Bukhari.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِي شَرَابِ أَحَدِكُمْ، فَلْيَغْمِسْهُ ثُمَّ لِيَنْزِعْهُ. فَإِنَّ فِي إِحْدَى جَنَاحَيْهِ دَاءً، وَالْأُخْرَى شِفَاءً

Jika lalat jatuh ke dalam minuman seseorang di antara kalian, hendaklah lalat itu ditenggelamkan, kemudian dibuang. Hal itu karena pada salah satu sayapnya terdapat penyakit, sedang pada sayap yang lain terdapat penawar.” (HR al-Bukhari, Abu Dawud dan Ibnu Majah)

Dalam hadis ini beliau tidak memerintahkan untuk menumpahkan minuman tersebut. Seandainya bangkai itu najis, niscaya Rasulullah memerintahkan untuk menumpahkannya. Wallahu a’lam.

Baca juga: TATA CARA MENGHILANGKAN NAJIS

Baca juga: MENGATASI KELUARNYA TETESAN AIR KENCING SETELAH BUANG AIR KECIL

Baca juga: HUKUM BINATANG BUAS BERTARING DAN BURUNG BERCAKAR

(Syekh Abu Abdurrahman Adil bin Yusuf al-Azazy)

Fikih