HUKUM ADZAN PADA SHALAT YANG DIQADHA DAN DALAM KEADAAN SAFAR

HUKUM ADZAN PADA SHALAT YANG DIQADHA DAN DALAM KEADAAN SAFAR

200. Dari Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada dua hari raya (‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha) —bukan hanya sekali dan bukan hanya dua kali— tanpa adzan dan tanpa iqamah.” (Diriwayatkan oleh Muslim)

201. Hadis semisalnya terdapat dalam riwayat yang disepakati (Bukhari-Muslim) dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma dan selainnya.

202. Dari Abu Qatadah, dalam hadis yang panjang tentang mereka yang tertidur hingga terlewat waktu shalat: “Kemudian Bilal mengumandangkan adzan, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat sebagaimana beliau lakukan setiap hari.” (Diriwayatkan oleh Muslim)

203. Dalam riwayat Muslim dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi Muzdalifah, lalu beliau shalat Maghrib dan Isya di sana dengan satu adzan dan dua iqamah.

204. Dalam riwayat Muslim dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Beliau menggabungkan Maghrib dan Isya dengan satu iqamah.” Abu Dawud menambahkan: “Untuk setiap shalat.” Dalam riwayat lain darinya: “Tidak ada adzan pada salah satu dari keduanya.”

PENJELASAN

Hadis-hadis ini disebutkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Bulughul Maram berkaitan dengan adzan. Dan di antara faedah yang dapat diambil darinya adalah:

Bahwa seseorang yang luput dari shalat, misalnya tertidur dari shalat ketika berada di padang pasir, lalu ia bangun —meskipun setelah keluarnya waktu— maka hendaklah ia tetap mengumandangkan adzan. Hal ini berdasarkan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau suatu malam dalam perjalanan, lalu singgah pada akhir malam dan tidur, serta para sahabat radhiyallahu ‘anhum pun ikut tertidur. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Bilal radhiyallahu ‘anhu untuk memerhatikan waktu Subuh, tetapi Bilal juga tertidur sebagaimana yang lain. Tidak ada yang membangunkan mereka kecuali panas matahari. Akhirnya mereka pun terbangun. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk pindah dari tempat itu. Mereka maju sedikit dari tempat tersebut, kemudian beliau bersabda,

إِنَّهُ قَدْ حَضَرَنَا فِيهِ الشَّيْطَانُ

Sesungguhnya setan telah menghadiri kita di tempat itu.” (Diriwayatkan oleh Muslim) Setelah itu, mereka berhenti kembali setelah matahari meninggi.

Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Bilal untuk mengumandangkan adzan, lalu beliau shalat sunah Fajar (qabliyah Subuh), kemudian beliau shalat Subuh pada waktu dhuha, dan beliau melakukannya sebagaimana biasanya beliau lakukan setiap hari. Maksudnya, sebagaimana beliau shalat Subuh setiap harinya.

Berdasarkan hal ini, maka dapat diambil faedah dari hadis ini:

1️⃣ Shalat yang diqadha (shalat yang terlewat) tetap dikumandangkan adzan untuknya, dan tidak dikatakan bahwa waktunya telah habis. Sebab, adzan adalah bagian yang mengikuti (pelengkap) shalat.

2️⃣ Adzan disyariatkan bagi para musafir, dan memang demikian adanya. Bahkan adzan wajib bagi musafir sebagaimana wajib atas orang-orang yang mukim. Shalat berjamaah pun wajib bagi para musafir sebagaimana ia wajib atas orang yang mukim. Oleh karena itu, shalat dalam keadaan safar maupun mukim tetap harus diawali dengan adzan.

3️⃣ Shalat yang diqadha sama seperti shalat yang ditunaikan pada waktunya, yakni dikerjakan sesuai dengan ketentuan asalnya. Jika shalat malam diqadha pada siang hari, maka bacaan di dalamnya dijahrkan (dikeraskan). Jika shalat siang diqadha pada malam hari, maka bacaan di dalamnya disirrkan (dilirihkan).

Contohnya, apabila seseorang tertidur dan tidak bangun untuk shalat Ashar kecuali setelah matahari terbenam, maka ia tetap melaksanakan shalat Ashar, tetapi tidak menjahrkan bacaannya. Apabila seseorang tertidur dari shalat Subuh dan baru bangun setelah matahari terbit, lalu ia mengqadha shalat Subuh secara berjamaah, maka ia tetap menjahrkan bacaannya sebagaimana ia menjahrkannya bila shalat pada waktunya.

4️⃣ Shalat sunah rawatib diqadha sebagaimana shalat fardhu diqadha. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat sunah Fajar bersama para sahabatnya setelah mereka bangun dan sebelum shalat Subuh.

5️⃣ Apabila seseorang tidak bangun untuk shalat Subuh kecuali ketika matahari terbit, lalu ia berwudhu dan masih tersisa waktu dari terbit matahari sekadar cukup untuk shalat dua rakaat, maka ia terlebih dahulu melaksanakan shalat sunah Fajar, kemudian melaksanakan shalat fardhu Subuh meskipun setelah matahari terbit. Tidak dikatakan bahwa ia harus shalat fardhu dulu lalu shalat sunah rawatib. Hal ini karena orang yang tertidur, waktu shalat baginya dimulai sejak ia bangun; dan bagi orang yang lupa, waktu shalat baginya dimulai sejak ia ingat. Hal ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ نَامَ عَنْ صَلَاةٍ أَوْ نَسِيَهَا فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا، لَا كَفَّارَةَ لَهَا إِلَّا ذَلِكَ

Barang siapa tertidur dari shalat atau lupa, maka hendaklah ia shalat ketika ia ingat. Tidak ada kafarah baginya kecuali itu.”

Sabdanya “hendaklah ia shalat ketika ia ingat” adalah dalil bahwa waktu shalat bagi orang yang tidur dimulai sejak ia bangun, dan bagi orang yang lupa dimulai sejak ia ingat.

Kemudian penyusun kitab menyebutkan hadis Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhuma tentang haji Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau berangkat dari Arafah ketika matahari telah terbenam. Beliau tidak sampai ke Muzdalifah kecuali setelah masuk waktu Isya. Maka beliau memerintahkan Bilal untuk mengumandangkan adzan, lalu mengiqamahkan shalat Maghrib, kemudian mengiqamahkan shalat Isya.

Hal ini menunjukkan bahwa apabila seseorang dibolehkan menjamak shalat, baik antara Zhuhur dan Ashar, atau antara Maghrib dan Isya, maka ia cukup mengumandangkan adzan untuk shalat yang pertama, dan mengiqamahkan setiap shalat fardhu. Jadi, adzan cukup sekali, sedangkan iqamah dilakukan dua kali, yakni untuk masing-masing shalat. Hal ini sebagaimana yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menjamak di Arafah, di mana Bilal mengumandangkan satu kali adzan, lalu iqamah sekali untuk Zuhur dan sekali untuk Ashar. Demikian pula di Muzdalifah, beliau mengumandangkan satu kali adzan, kemudian iqamah sekali untuk Maghrib dan sekali untuk Isya.

Dalam hadis ini dan hadis sebelumnya terdapat dalil bahwa adzan hanya dilakukan ketika hendak melaksanakan shalat. Oleh karena itu, jika ada satu jamaah di suatu tempat yang ingin mengakhirkan shalat Isya —karena shalat Isya yang lebih utama adalah diakhirkan sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya— maka mereka tidak mengumandangkan adzan kecuali ketika hendak shalat. Demikian pula, apabila manusia menunda shalat Zhuhur pada hari yang sangat panas (melakukan ibrad), maka mereka tidak mengumandangkan adzan Zhuhur kecuali ketika sudah tiba saat akan melaksanakan shalat. Karena itu, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam safar, Bilal berdiri hendak mengumandangkan adzan, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya,

أَبْرِدْ

Tunggulah hingga agak sejuk.”

Kemudian Bilal berdiri lagi hendak adzan, maka beliau bersabda,

أَبْرِدْ

Tunggulah hingga agak sejuk.”

Hingga bayangan bukit sama (dengan tinggi bukitnya), barulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَذِّنْ

Adzanlah.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim)

Hal itu menunjukkan bahwa adzan disyariatkan hanya ketika hendak melaksanakan shalat. Oleh karena itu, apabila shalat tersebut dianjurkan untuk diakhirkan, maka adzannya juga diakhirkan. Apabila shalat tersebut disunahkan untuk disegerakan, maka adzannya pun dilakukan di awal waktunya.

Baca juga: ASAL-USUL DAN HUKUM ADZAN

Baca juga: ADZAN DIKUMANDANGKAN JIKA SUDAH MASUK WAKTUNYA

Baca juga: ANTARA SHALAT TAHIATUL MASJID DAN MENJAWAB ADZAN

(Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)

Bulughul Maram Fikih