HAKIKAT MENYAMBUNG SILATURAHMI

HAKIKAT MENYAMBUNG SILATURAHMI

Menyambung silaturahmi kembali kepada urf (kebiasaan) yang berlaku di tengah masyarakat. Hal itu karena jenis, bentuk, dan kadar silaturahmi tidak dijelaskan di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Juga karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membatasinya dengan cara (bentuk) tertentu. Jadi, silaturahmi bukan berarti mereka harus makan bersamamu, minum bersamamu, atau tinggal satu atap denganmu. Silaturahmi bersifat umum. Oleh karena itu, pelaksanaan silaturahmi dikembalikan kepada urf. Apabila suatu perkara dinyatakan oleh urf setempat sebagai bentuk silaturahmi, maka perkara itu dikategorikan silaturahmi. Apabila suatu perkara dinyatakan oleh urf setempat sebagai bentuk pemutusan silaturahmi, maka perkara itu dikategorikan pemutusan silaturahmi.

Para ulama telah membahas tentang silaturahmi dan hakikatnya. al-Qadhi Iyadh rahimahullah berkata, “Tidak ada perselisihan pendapat di antara ulama bahwa menyambung silaturahmi hukumnya wajib dan memutusnya merupakan dosa besar. Bentuk menyambung silaturahmi bertingkat-tingkat. Sebagiannya lebih tinggi dari sebagian yang lain. Tingkatan silaturahmi yang paling rendah adalah tidak mengabaikan kerabat dan tetap bersilaturahmi meski dengan ucapan salam. Silaturahmi ada yang diwajibkan dan ada juga yang dianjurkan. Orang yang tidak mampu melakukan silaturahmi secara maksimal tidak dikatakan pemutus silaturahmi. Orang yang tidak melakukan silaturahmi secara maksimal padahal ia mampu melakukannya tidak dikatakan penyambung silaturahmi.”

Ibnu Manzhur rahimahullah berkata, “Silaturahmi adalah kinayah tentang berbuat baik kepada kerabat, baik dari garis keturunan (nasab) maupun dari garis pernikahan. Termasuk di antaranya adalah berlemah lembut, berkasih sayang, dan peduli terhadap keadaan mereka, meskipun mereka berbuat zalim atau berbuat jahat.”

Ibnu Abi Jamrah rahimahullah berkata, “Silaturahmi bisa dilakukan dengan harta, dengan memberikan pertolongan ketika dibutuhkan, dengan menolak kemudaratan, dengan menunjukkan wajah yang berseri, dan dengan doa.”

Ulama yang lain berkata, “Yang dimaksud dengan silaturahmi adalah bersikap loyal terhadap kerabat, mencintai mereka lebih besar daripada selain mereka lantaran kekerabatan, bersegera melakukan perdamaian dengan mereka ketika terjadi permusuhan dengan mereka, bersungguh-sungguh memberi kecukupan kepada mereka dengan sukarela ketika mereka tertimpa kemiskinan, bersegera membantu dan menolong mereka ketika mereka membutuhkan, memerhatikan keadaan hati mereka dengan berlemah lembut dan berkasih sayang dengan mereka, mengutamakan undangan mereka, bersikap tawaduk kepada mereka ketika kita kaya sedangkan mereka miskin dan ketika kita kuat sedangkan mereka lemah, terus menerus mengasihi mereka dan memberikan arahan berkenaan dengan semua urusan mereka, mengutamakan mereka dalam undangan dan pertamuan sebelum kepada selain mereka, dan mendahulukan mereka dalam memberi kebaikan, sedekah, serta hadiah sebelum kepada selain mereka. Sebabnya adalah bersedekah kepada mereka bernilai pahala sedekah dan pahala silaturahmi. Begitu juga dengan memberikan hadiah dan yang sejenisnya. Hal itu sangat dianjurkan untuk dilakukan terhadap kerabat yang membenci kita. Semoga dengan cara itu, ia dapat mengubah sikap dari benci menjadi cinta. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَفْضَلُ الصَّدَقَةِ الصَّدَقَةُ عَلَى ذِي الرَّحِمِ الْكَاشِحْ

Sedekah yang paling utama adalah sedekah kepada karib kerabat yang menyembunyikan permusuhan.” (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh al-Hakim. Lihat Sahih at-Targhib wa at-Tarhib)

Makna al-kasyih adalah orang yang menyembunyikan permusuhan di dalam hatinya. Maksudnya, sedekah yang paling utama adalah sedekah kepada kerabat yang menyembunyikan permusuhan di dalam hatinya. Dan ini semakna dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

صِلْ مَنْ قَطَعَكَ

Sambunglah silaturahmi kepada kerabat yang memutus hubungan denganmu.” (Hadis shahih lighairih. Diriwayatkan oleh Ahmad, al-Hakim, dan ath-Thabrani. Lihat Sahih at-Targhib wa at-Tarhib)

Sebagian orang tidak mau menyambung silaturahmi kepada kerabat kecuali mereka bersilaturahmi kepadanya. Pada hakikatnya hal itu tidak pantas dinamakan silaturahmi, melainkan pembalasan, sebab etika dan fitrah yang sehat akan menuntun seseorang untuk membalas orang yang berbuat baik kepadanya, baik kerabatnya maupun orang lain. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ، وَلَكِنَّ الْوَاصِلَ مَنْ إِذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا

Orang yang menyambung silaturahmi bukanlah orang yang membalas (kebaikan atau silaturahmi), akan tetapi orang yang menyambung silaturahmi adalah orang yang menyambung silaturahmi ketika silaturahmi itu terputus.” (HR al-Bukhari, Abu Dawud, at-Tirmidzi)

Oleh karena itu, sambunglah silaturahmi kepada kerabat kalian meskipun mereka memutus kalian, dan berbuat baiklah kepada mereka meskipun mereka berbuat jahat kepada kalian. Hal itu karena Allah Ta’ala berfirman:

 اِدْفَعْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُ السَّيِّئَةَۗ نَحْنُ اَعْلَمُ بِمَا يَصِفُوْنَ

Tolaklah perbuatan buruk mereka dengan (cara) yang lebih baik. Kami lebih mengetahui apa yang mereka sifatkan (kepada Allah).” (QS al-Mu’minun: 96)

Allah Ta’ala berfirman:

وَلَا تَسْتَوِى الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ۗاِدْفَعْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُ فَاِذَا الَّذِيْ بَيْنَكَ وَبَيْنَهٗ عَدَاوَةٌ كَاَنَّهٗ وَلِيٌّ حَمِيْمٌ

Dan tidaklah sama kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, sehingga orang yang ada rasa permusuhan antara kamu dan dia akan seperti teman yang setia.”(QS Fushshilat: 34)

Allah Ta’ala menjanjikan Surga atas hal tersebut.

Allah Taala berfirman:

وَالَّذِيْنَ صَبَرُوا ابْتِغَاۤءَ وَجْهِ رَبِّهِمْ وَاَقَامُوا الصَّلٰوةَ وَاَنْفَقُوْا مِمَّا رَزَقْنٰهُمْ سِرًّا وَّعَلَانِيَةً وَّيَدْرَءُوْنَ بِالْحَسَنَةِ السَّيِّئَةَ اُولٰۤىِٕكَ لَهُمْ عُقْبَى الدَّارِ؛جَنّٰتُ عَدْنٍ يَّدْخُلُوْنَهَا وَمَنْ صَلَحَ مِنْ اٰبَاۤىِٕهِمْ وَاَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيّٰتِهِمْ وَالْمَلٰۤىِٕكَةُ يَدْخُلُوْنَ عَلَيْهِمْ مِّنْ كُلِّ بَابٍ؛ سَلٰمٌ عَلَيْكُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ

Dan orang yang sabar karena mengharap keridaan Rabbnya, melaksanakan salat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka secara sembunyi atau terang-terangan, serta menolak kejahatan dengan kebaikan, orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik), (yaitu) surga-surga ‘Adn. Mereka masuk ke dalamnya bersama dengan orang yang saleh dari nenek moyangnya, pasangan-pasangannya, dan anak cucunya, sedangkan para malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu (sambil mengucapkan), Selamat sejahtera atas kalian karena kesabaran kalian.Maka, alangkah nikmatnya tempat kesudahan itu.” (QS ar-Ra’d: 22-24)

Sambunglah silaturahmi kepada kerabat kalian, niscaya Rabb kalian akan selalu menyambung kalian. Janganlah kalian memutus silaturahmi sehingga Rabb kalian memutus kalian.

Allah Ta’ala berfirman kepada rahim:

أَمَا تَرْضَيْنَ أَنْ أَصِلَ مَنْ وَصَلَكِ، وَأَقْطَعَ مَنْ قَطَعَكِ؟ قَالَتْ: بَلَى، يَا رَبِّ. قَالَ: فَهُوَ لَكِ

Apakah kamu rida jika Aku menyambung orang yang menyambungmu dan memutus orang yang memutusmu? Rahim berkata, Tentu wahai Rabbku.’ Allah Ta’ala berfirman, Itu merupakan hakmu.” (Muttafaq ‘alaih)

Baca juga: PERINTAH BERBUAT BAIK KEPADA KERABAT

Baca juga: KEUTAMAAN MENYAMBUNG SILATURAHMI

Baca juga: ANCAMAN DAN HUKUMAN MEMUTUS SILATURAHMI

(Dr Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi)

Adab