DAHSYATNYA PENGARUH TEMAN

DAHSYATNYA PENGARUH TEMAN

Teman yang baik adalah seperti penjual minyak wangi. Meski hanya duduk di dekatnya, kamu tetap akan terkena harumannya. Sebaliknya, teman yang buruk seperti pandai besi. Jika duduk di dekatnya, kamu akan terkena bau tak sedap. Jadi, pilihlah dengan bijak.

Orang-orang yang bergaul dan berkumpul cenderung saling mempengaruhi, meniru, dan mencontoh perbuatan satu sama lain. Dalam banyak kasus, pengaruh ini semakin kuat ketika teman tersebut berasal dari kalangan yang memiliki status sosial lebih tinggi, lebih tua, atau memiliki keunggulan lainnya. Mengenai hal ini, sejumlah dalil menegaskan kuatnya pengaruh seseorang terhadap temannya.

Dari Abu Musa al-Asya’ri radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالسَّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيرِ. فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ، وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً. وَنَافِخُ الْكِيرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَة

Perumpamaan teman yang baik dan yang buruk adalah seperti penjual minyak wangi dan pandai besi. Penjual minyak wangi, mungkin dia akan memberimu minyak wangi, atau kamu membeli darinya, atau paling tidak kamu akan mencium aroma yang harum darinya. Sedangkan pandai besi, mungkin percikan apinya akan membakar pakaianmu, atau kamu akan mencium bau yang tidak sedap darinya.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Imam an-Nawawi rahimahullah menjelaskan hadis ini dalam kitabnya: “Hadis ini menunjukkan keutamaan berteman dengan orang saleh, orang yang baik, berakhlak terpuji, wara’, berilmu, dan beradab. Selain itu, hadis ini juga mengandung larangan untuk berteman atau bergaul dengan orang yang melakukan kejahatan, bid’ah, gibah, atau yang memiliki sifat-sifat buruk dan tercela lainnya.”

Ibnu Hajar rahimahullah menerangkan: “Hadis ini menjelaskan larangan berteman dan berkumpul dengan orang-orang yang dapat memengaruhi pola hidup dan agama seseorang secara negatif. Di sisi lain, hadis ini juga menganjurkan untuk berteman dan bergaul dengan orang-orang yang dapat memberikan pengaruh positif bagi orang lain.”

Pengaruh seseorang terhadap temannya juga ditegaskan dalam hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ. فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ

Seseorang akan mengikuti agama sahabat dekatnya. Maka hendaklah salah seorang dari kalian memperhatikan siapa yang dijadikan sahabat dekat.” (Hadis hasan. Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ahmad, dan at-Tirmidzi. Dihasankan oleh Syekh al-Albani dalam Silsilah ash-Shahihah)

Orang yang layak dijadikan teman adalah seseorang yang kamu ridhai agama dan akhlaknya. Jika tidak, sebaiknya kamu menghindarinya dan jangan menjadikannya teman, karena pada dasarnya manusia cenderung meniru dan mencontoh perilaku orang lain.

al-Ghazali rahimahullah berkata: “Berteman dan bergaul dengan orang yang memiliki semangat dan idealisme tinggi akan membangkitkan semangat dan keinginan seseorang. Berteman dengan orang yang zuhud akan mempengaruhi pandangan hidup seseorang terhadap dunia. Karena pada dasarnya, manusia cenderung meniru dan meneladani perilaku yang belum ia kenal sebelumnya.”

Contohnya adalah orang-orang Quraisy. Dahulu, mereka hidup dalam masyarakat yang didominasi oleh kaum laki-laki. Ketika mereka tiba di Madinah, mereka menemukan tradisi yang berbeda. Kaum laki-laki Anshar didominasi oleh kaum perempuan. Akibatnya, kaum perempuan Quraisy mulai mengadopsi tradisi tersebut, termasuk dalam hal berbicara dan berkomunikasi. Mereka mulai berani membalas pertanyaan atau menantang suami-suami mereka. Untuk lebih jelasnya, perhatikan petikan hadis dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang menceritakan kejadian ini.

Ibnu Abbas bertutur, “Aku biasanya sangat bersemangat bertanya kepada Umar tentang kedua istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang disebutkan dalam ayat, “Jika kalian berdua bertobat kepada Allah, maka Allah telah mendengar hati kalian berdua.”

Hadis ini selanjutnya menyebutkan penggalan ucapan Umar radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi: “Dahulu, kami orang-orang Quraisy mendominasi kaum perempuan kami. Ketika kami berhijrah dan bertemu dengan kaum Anshar di Madinah, kami mendapati bahwa kaum perempuan mereka lebih dominan. Para perempuan Quraisy pun meniru tradisi perempuan Anshar, yang membuatku marah ketika istriku balik bertanya kepadaku. Aku tidak suka dia bertanya kepadaku. Istriku pernah berkata, ‘Mengapa engkau tidak suka jika aku bertanya kepadamu? Demi Allah, sesungguhnya istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga sering bertanya kepada beliau.”‘ (HR al-Bukhari)

Budaya dan tradisi masyarakat ini jelas sangat berbeda karena dipengaruhi oleh budaya dan tokoh yang mereka teladani. Allah Ta’ala menjelaskan:

اَلْاَعْرَابُ اَشَدُّ كُفْرًا وَّنِفَاقًا وَّاَجْدَرُ اَلَّا يَعْلَمُوْا حُدُوْدَ مَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ عَلٰى رَسُوْلِهٖ

Orang-orang Arab badui lebih kuat kekufuran dan kemunafikannya, serta lebih wajar tidak mengetahui hukumhukum yang telah diturunkan Allah kepada RasulNya.” (QS at-Taubah: 97)

Oleh karena itu, tidak mengherankan jika tingkat kekufuran dan kemunafikan di kalangan orang Arab lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat lainnya. Para ulama berkata, “Orang-orang Arab pada dasarnya lebih kufur dan munafik dibandingkan orang-orang kafir dan munafik di Madinah.”

Orang-orang kafir di Makkah memiliki tingkat kekufuran yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang-orang kafir di Madinah. Demikian pula, orang-orang munafik di Makkah lebih besar kemunafikannya dibandingkan orang-orang munafik di Madinah. Hal ini disebabkan oleh watak kasar dan keras yang ada dalam diri orang-orang Arab Makkah, terutama karena sifat tersebut didukung oleh kebodohan yang menyertainya.

Sementara itu, orang-orang kafir dan munafik di Madinah, karena sering berinteraksi dan hidup bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat, cenderung meniru serta meneladani perilaku baik dan kebiasaan-kebiasaan Nabi dan para sahabat yang terlihat.

Fakta yang bisa kamu perhatikan adalah bahwa orang-orang Nasrani yang tinggal di negara-negara Arab memiliki watak yang berbeda dengan orang-orang Nasrani yang tinggal di Rusia, misalnya. Orang-orang Nasrani di negara Arab merasa malu ketika mendengar ucapan seperti, “Anakmu berzina.” Sebaliknya, orang-orang Nasrani yang tinggal di negara lain, di mana perbuatan zina sudah menjadi kebiasaan umum di masyarakat, tidak terlalu peduli apakah anak mereka berzina atau tidak. Mereka tidak merasa terganggu atau risih dengan pelanggaran kehormatan semacam itu.

Ternyata, pengaruh teman tidak hanya terjadi pada manusia. Hewan pun dapat memengaruhi seseorang yang selalu bersama dan hidup berdampingan dengannya. Mengenai hal ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan,

رَأْسُ الْكُفْرِ نَحْوَ الْمَشْرِقِ وَالْفَخْرُ وَالْخُيَلَاءُ فِي أَهْلِ الْخَيْلِ وَالْإِبِلِ الْفَدَّادِينَ أَهْلِ الْوَبَرِ وَالسَّكِينَةُ فِي أَهْلِ الْغَنَمِ

Puncak kekufuran berada di arah timur, kesombongan serta kebanggaan terdapat pada orang-orang yang memiliki kuda dan unta, orang yang berwatak kasar adalah penduduk lembah, ketenangan berada pada penggembala kambing.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Unta yang biasanya berjalan dengan kepala terangkat cenderung menularkan sifat sombong dan angkuh kepada orang yang sering bersamanya. Sedangkan kambing, yang selalu tenang, memengaruhi pemiliknya hingga bersikap tenang dan tawaduk. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 مَا بَعَثَ اللَّهُ نَبِيًّا إِلَّا رَعَى الْغَنَمَ

Tidaklah Allah mengutus seorang nabi melainkan ia pernah menggembala kambing.”

Para sahabat bertanya, “Dan engkau?”

Beliau menjawab,

نَعَمْ، كُنْتُ أَرْعَاهَا عَلَى قَرَارِيطَ لِأَهْلِ مَكَّةَ

Ya, dahulu aku menggembalakannya dengan upah beberapa qirath (keping dinar) untuk penduduk Makkah.” (HR al-Bukhari)

Kisah berikut pernah dialami oleh Umar radhiyallahu ‘anhu.

Ketika Umar radhiyallahu ‘anhu menunggangi seekor kuda pacu, ia merasa hal itu menimbulkan kesombongan dalam dirinya. Setiap kali ia memacu kudanya dengan cambuk, perasaan sombong itu semakin kuat. Karena itu, ia pun turun dari kudanya sambil berkata, “Apa yang kalian timbulkan dalam diriku hanyalah perilaku setan. Aku tidak akan naik kembali ke kuda ini sampai aku mengendalikan diriku sendiri.” (HR ath-Thabari dan Ibnu Syu’bah)

Menunggangi kuda pacu dapat mencerminkan sikap angkuh dan sombong, sehingga secara tidak langsung memengaruhi jiwa penunggangnya. Oleh karena itu, dalam kisah di atas, Amirul Mukminin Umar radhiyallahu ‘anhu memutuskan untuk meninggalkannya. Namun, sikap Umar tersebut tidak berarti bahwa mengendarai kuda pacu adalah haram. Tidak boleh mengharamkan sesuatu yang telah Allah Ta’ala halalkan.

Allah Ta’ala berfirman:

وَّالْخَيْلَ وَالْبِغَالَ وَالْحَمِيْرَ لِتَرْكَبُوْهَا وَزِيْنَةً

Kuda, bagal dan keledai (diciptakan) untuk kalian kendarai dan sebagai perhiasan.” (QS an-Nahl: 8)

Sikap angkuh yang ditunjukkan oleh kuda pacu memengaruhi batin Umar radhiyallahu ‘anhu, sehingga ia memutuskan untuk turun dari kuda tersebut.

Dalam menafsirkan ayat:

لَا يُحِبُّ اللّٰهُ الْجَهْرَ بِالسُّوْۤءِ مِنَ الْقَوْلِ اِلَّا مَنْ ظُلِمَ

Allah tidak menyukai perkataan buruk (yang diucapkan) secara terus terang, kecuali oleh orang yang teraniaya,” (QS an-Nisa’: 148), para ulama menyimpulkan bahwa terlalu sering mendengar ucapan keji dan buruk dapat membuat orang yang mendengarnya lebih mudah untuk melakukannya. Ketika kamu pertama kali mendengar seseorang berzina, misalnya, kamu mungkin merasa jijik dan mengutuknya. Namun, jika sering mendengar ucapan seperti itu, lama-kelamaan kamu akan terbiasa. Sikap penolakan dalam dirimu akan semakin berkurang, bahkan bisa sampai pada titik di mana hati tidak lagi menolak atau mengingkari ucapan keji dan buruk tersebut.

Pada tahap selanjutnya, akan muncul segelintir orang yang menggunakan istilah-istilah halus untuk menyebut orang-orang yang melakukan perbuatan keji dan mesum. Misalnya, mereka akan mengatakan bahwa si fulan atau fulanah telah berbuat “keliru” atau menggunakan ungkapan halus lainnya untuk menutupi keburukan dan kekejian perbuatan dosa dan mesum yang mereka lakukan.

Contoh lain, ketika kamu mendengar seseorang berzina dengan saudara kandungnya, pada awalnya sikap penolakan dan pengingkaran terhadap hal tersebut sangat kuat. Namun, jika sering mendengar kabar seperti itu setiap hari, sikap penolakan itu perlahan-lahan akan berkurang.

Contoh lainnya, ketika kamu mendengar tentang seorang pria yang berzina dengan seorang perempuan di pinggir jalan, awalnya mungkin sulit membayangkan hal itu bisa terjadi. Namun, jika hal semacam itu terus-menerus dibicarakan dan didengar, sikap penolakan dalam diri kita akan semakin melemah. Inilah yang sering terjadi di negara-negara Barat.

Fenomena seperti ini telah diperingatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan merupakan salah satu tanda-tanda akhir zaman.

Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 لَا تَقُوْمُ السَّاعَةَ حَتَّى يَتَسَافَدُوْا فِي الطَّرِيْقِ تَسَافُدَالْحَمِيْرِ

Hari Kiamat tidak akan terjadi sampai orang-orang saling berhubungan (saling bersetubuh) di jalan sebagaimana keledai berhubungan.”

Abdullah bin Amr bertanya, “Sungguhkah hal itu akan terjadi?”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

نَعَمْ، لِيَكُوْنَنْ

Ya, sungguh itu akan terjadi.” (HR Ibnu Hibban dengan sanad yang sahih)

Fenomena akhir zaman ini dijelaskan lebih lanjut dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Ya’la al-Mushili dengan sanad hasan, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَا تَفْنَى هَذِهِ الْأُمَّةُ حَتَّى يَقُومَ الرَّجُلُ إِلَى الْمَرْأَةِ فَيَفْتَرِشَهَا فِي الطَّرِيقِ، فَيَكُونَ خِيَارُهُمْ يَوْمَئِذٍ مَنْ يَقُولُ لَوْ وَارَيْتَهَا وَرَاءَ هَذَا الْحَائِطِ

Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, umat ini tidak akan binasa sampai seorang laki-laki mendatangi seorang perempuan lalu menidurinya di jalan, dan orang yang paling baik di antara mereka pada hari itu adalah yang berkata, ‘Alangkah baiknya jika engkau menutupinya di balik dinding ini.” (HR Abu Ya’la. al-Haitsami berkata, “Perawinya adalah perawi ash-Shahih)

Akar dari semua pelanggaran terhadap hukum dan aturan Allah Ta’ala adalah bergaul dan berteman dengan orang-orang yang gemar berbuat dosa serta mendengar hal-hal keji dan kotor. Sebab, orang yang gemar berbuat dosa biasanya berharap untuk membungkus dosanya dengan cara yang indah dan mengungkit-ungkit perbuatan tersebut kepada orang lain. Hal ini tidak hanya berlaku dalam kasus zina, tetapi juga dalam pelanggaran hukum agama lainnya.

Seseorang yang awalnya tidak suka meminum khamar mungkin memiliki penolakan yang sangat kuat terhadap perbuatan tersebut. Namun, seiring waktu, ketika ia semakin sering mendengar bahwa si A minum khamar, si B juga minum khamar, dan seterusnya, sikap penolakan dan kebenciannya terhadap perbuatan itu perlahan-lahan berkurang. Hanya orang-orang tertentu yang mendapat pemeliharaan dari Allah yang dapat terhindar dari pengaruh seperti itu.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 مَا بَعَثَ اللَّهُ مِنْ نَبِيٍّ وَلَا اسْتَخْلَفَ مِنْ خَلِيفَةٍ إِلَّا كَانَتْ لَهُ بِطَانَتَانِ، بِطَانَةٌ تَأْمُرُهُ بِالْمَعْرُوفِ وَتَحُضُّهُ عَلَيْهِ، وَبِطَانَةٌ تَأْمُرُهُ بِالشَّرِّ وَتَحُضُّهُ عَلَيْهِ، فَالْمَعْصُومُ مَنْ عَصَمَ اللَّهُ تَعَالَى

Tidaklah Allah mengutus seorang nabi dan tidak pula mengangkat seorang khalifah, melainkan dia mempunyai dua kelompok kepercayaan: satu kelompok  kepercayaan yang menyuruh dan mendorongnya kepada kebaikan, dan satu kelompok kepercayaan yang menyuruh dan mendorongnya kepada keburukan. Orang yang terjaga adalah orang yang dijaga oleh Allah Ta’ala.” (HR al-Bukhari)

Baca juga: ORANG YANG BERTAKWA

Baca juga: HUKUM BERTEPUK TANGAN DAN BERSIUL PADA PESTA, PERAYAAN ATAU PERTEMUAN

Baca juga: IKHLAS DALAM BERAMAL DAN MENAFKAHKAN HARTA

(Musthafa al-Adawi)

Adab