KISAH NABI NUH – PERSEKONGKOLAN ORANG-ORANG TERKEMUKA

KISAH NABI NUH – PERSEKONGKOLAN ORANG-ORANG TERKEMUKA

Akhirnya orang-orang terkemuka dari kaum Nuh bersekongkol. Mereka berbuat jahat terhadap Nuh dan pengikutnya dengan melancarkan berbagai tuduhan dari samudera kesyirikan. Berita-berita dusta disebarkan kepada generasi berikutnya.

Mereka berkata kepada Nuh, “Sesungguhnya kami memandang kamu benar-benar berada dalam kesesatan yang nyata.” (QS al-A’raf: 60)

Nuh berkata, “Wahai kaumku, aku tidak sesat, tetapi aku seorang rasul dari Rabb seluruh alam. Aku menyampaikan kepada kalian amanat Rabbku, memberi nasihat kepada kalian. Dan aku mengetahui dari Allah apa yang kalian tidak ketahui.” (QS al-A’raf 61-62)

Mereka berkata, “Kami tidak melihat kamu melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami.” (QS Hud: 27)

Mereka berkata kepada orang banyak, “Orang ini tidak lain hanyalah manusia seperti kalian, yang ingin menjadi orang yang lebih mulia daripada kalian. Dan seandainya Allah menghendaki, tentu Dia mengutus malaikat. Belum pernah kami mendengar (seruan yang seperti) ini pada (masa) nenek moyang kami dahulu.” (QS al-Mu’minun: 24)

Mereka mencibir Nuh karena Nuh manusia biasa, merendahkan Nuh karena Nuh berasal dari golongan mereka yang dimuliakan Allah.

Nuh memberikan tanggapan setelah Allah memberinya hujah, “Dan apakah kalian (tidak percaya) dan heran bahwa datang kepada kalian peringatan dari Rabb kalian melalui perantara seorang laki-laki dari kalangan kalian untuk memberi peringatan kepada kalian dan agar kalian bertakwa sehingga kalian mendapat rahmat?” (QS al-A’raf: 63)

Sesungguhnya aku ini seorang rasul kepercayaan (yang diutus) kepada kalian. Maka bertakwalah kalian kepada Allah dan taatlah kepadaku. Aku tidak meminta imbalan kepada kalian atas ajakanku ini. Imbalanku hanyalah dari Rabb seluruh alam.” (QS asy-Syu’ara: 107-109)

Setelah itu Nuh menjelaskan bahwa ia adalah seorang rasul dari sisi Allah yang tidak memiliki kemampuan apa pun selain yang Allah berikan kepadanya.

Aku tidak mengatakan kepadamu bahwa aku mempunyai gudang-gudang rezeki dan kekayaan dari Allah. Aku tidak mengetahui yang gaib, dan tidak (pula) mengatakan bahwa sesungguhnya aku adalah malaikat.” (QS Hud: 31)

Nuh seakan berkata, “Sesungguhnya aku ini seorang hamba yang diutus. Aku tidak mengetahui sedikit pun ilmu Allah selain yang Dia ajarkan kepadaku. Aku tidak memiliki kemampuan apa pun selain kemampuan yang Allah berikan kepadaku. Aku tidak memiliki kuasa untuk mendatangkan manfaat atau menolak bahaya dari diriku sendiri, kecuali yang dikehendaki Allah.”

Akhirnya alasan mereka gugur. Nuh menampakkan hakikat risalah di hadapan mereka tanpa berdusta. Mereka lantas mencemooh orang-orang yang beriman.

Mereka berkata kepada Nuh, “Kami tidak melihat orang-orang yang mengikutimu, melainkan orang yang hina dina di antara kami, dari kalangan orang-orang lemah dan fakir, yang lekas percaya, tidak memiliki pendapat yang terkemuka di antara kami, sehingga mereka tidak bisa memastikan kebenaran risalahmu. Kami tidak melihat kamu memiliki suatu kelebihan apa pun atas kami, bahkan kami menganggap kamu sebagai pendusta.” (Hud: 27)

Nuh mengubah metode dengan bersikap lemah lembut terhadap mereka, menyeru mereka menuju jalan Allah dengan hikmah dan tutur kata yang baik.

Nuh berkata, “Wahai kaumku, apa pendapat kalian jika aku mempunyai bukti nyata dari Rabbku, dan aku diberi rahmat nubuwah dari sisi-Nya, sedangkan rahmat itu disamarkan bagi kalian sehingga kalian tidak melihatnya, kalian mendustakan dan mengingkarinya. Apakah kami akan memaksa kalian untuk menerimanya, padahal kalian tidak menyukainya?” (QS Hud: 28)

Mereka mengulang ucapan mereka dengan sombong dan kasar, “Apakah kami harus beriman kepadamu padahal pengikut-pengikutmu orang-orang yang hina?” (QS asy-Syu’ara: 111)

Mereka memandang para pengikut Nuh yang beriman sebagai orang-orang yang rendah dan hina. Bahkan mereka meminta Nuh agar menjauhkan orang-orang yang beriman dari mereka. Namun Nuh menolaknya dengan berkata, “Aku sekali-kali tidak akan mengusir orang-orang yang telah beriman. Sungguh, mereka akan bertemu dengan Rabbnya, dan sebaliknya aku memandang kalian sebagai kaum yang bodoh.” (QS Hud: 29)

Bagaimana Nuh mengusir para pengikutnya, sedangkan Allah telah menerangi hati mereka dengan iman dan petunjuk? Nuh tidak kuasa untuk itu karena iman menyetarakan derajat siapa pun. Tapi apa boleh buat. Itulah hidayah yang Allah berikan kepada siapa saja yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya. Hidayah yang didapatkan Salman di Persia tapi tidak didapatkan kalangan ahli kitab di tengah-tengah mereka. Hidayah yang didapatkan an-Najasyi di Habasyah, tapi tidak didapatkan Abu Thalib. Hidayah yang Allah tunjukkan kepada orang-orang lemah, tetapi tidak diketahui Abu Jahal dan orang-orang sepertinya.

Saat itulah Nuh berkata, “Tidak ada pengetahuanku tentang apa yang mereka kerjakan. Perhitungan (amal perbuatan) mereka tidak lain hanyalah kepada Rabbku, jika kalian menyadari.” (QS asy-Syu’ara: 112-113)

Dan aku tidak (juga) mengatakan kepada orang yang dipandang hina dan rendah oleh penglihatan kalian bahwa Allah tidak akan memberikan kebaikan kepada mereka. Allah lebih mengetahui apa yang ada pada diri mereka. Sungguh, jika demikian aku benar-benar termasuk orang-orang yang zalim.” (QS Hud: 31)

Nuh tidak mau memberikan kesaksian apa pun terhadap orang-orang lemah selain kebaikan meskipun kaumnya menganggap mereka hina. Allah lebih mengetahui apa yang ada di dalam jiwa mereka, dan Allah akan membalas mereka. Jika yang ada di dalam jiwa mereka baik, mereka pasti mendapat balasan yang baik. Dan jika yang ada di dalam jiwa mereka buruk, mereka pasti mendapat balasan yang buruk pula.

Setelah seluruh hujah mereka runtuh, mereka pun berteriak lantang, “Dia hanyalah seorang laki-laki gila, maka tunggulah (sabarlah) terhadapnya sampai waktu yang ditentukan.” (QS al-Mu’minun: 25)

Seperti itulah pernyataan orang-orang zalim setelah semua hujah mereka runtuh, dan setelah melihat kebenaran tampak nyata. Mereka menyebut Nuh sebagai tukang sihir, orang gila, penyair dan dukun.

Meskipun berbagai rintangan, hadangan dan gangguan yang menakutkan datang silih berganti, Nuh menghadapinya tanpa jemu, lelah dan berkeluh-kesah. Nuh tidak mengeluhkan kekafiran mereka yang bertahan selama 950 tahun. Nuh menggunakan berbagai cara dakwah yang lazim dan yang tidak lazim disyariatkan Allah. Nuh menyampaikan dakwah sepanjang siang dan malam hari, secara sembunyi-sembunyi dan terang-terangan, di majelis-majelis, rumah-rumah dan jalanan, dengan menyatukan kesabaran, keberanian, ilmu, kerendahan hati, ramah dan mengkhawatirkan keselamatan kaumnya.

Nuh mengadu kepada Rabbnya dengan berkata, “Ya Rabbku, sesungguhnya aku telah menyeru kaumku siang dan malam, tetapi seruanku tidak menambah (iman) mereka. Mereka justru lari (dari kebenaran). Sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka (untuk beriman) agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan jari tangannya ke telinganya, dan menutupkan bajunya (ke wajahnya). Dan mereka tetap (mengingkari) dan sangat menyombongkan diri. Kemudian sesungguhnya aku menyeru mereka dengan cara terang-terangan. Lalu aku menyeru mereka secara terbuka dan diam-diam. Maka aku berkata (kepada mereka), ‘Mohonlah ampunan kepada Rabb kalian, sungguh Dia Mahapengampun, niscaya Dia akan menurunkan hujan yang lebat dari langit kepada kalian. Dan Dia memperbanyak harta dan anak-anak kalian, dan mengadakan kebun-kebun untuk kalian dan mengadakan sungai-sungai untuk kalian. Mengapa kalian tidak takut akan kebesaran Allah? Dan sungguh, Dia telah menciptakan kalian dalam beberapa tingkatan (kejadian).” (Nuh: 5-14)

Nuh melihat kaumnya tamak akan dunia dan harta. Dia seolah-olah berkata kepada mereka, “Marilah menuju ketaatan kepada Allah, karena melalui ketaatan kepada Allah, dunia dan akhirat akan dicapai. Dengan iman dan istigfar, langit akan menurunkan hujan, membasahi bumi, memberikan minuman kepada manusia dan hewan-hewan, kebaikan dan harta benda akan melimpah ruah. Dengan iman, harta benda dan anak keturunan pun akan bertambah. Iman adalah jalan dunia dan akhirat.”

Nuh menyampaikan hal seperti itu sepanjang siang dan malam, secara sembunyi-sembunyi dan terang-terangan. Tapi mereka mengingkari, hingga Nuh mengingatkan mereka bahwa Allah menciptakan mereka dari ketiadaan, lantas bagaimana mereka tidak mengagungkan dan memuliakan-Nya?

Nuh menempuh cara lain dalam berdakwah, yaitu dengan mengingatkan nikmat yang Allah berikan kepada mereka, “Tidakkah kalian memerhatikan bagaimana Allah telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis? Di sana Dia menciptakan bulan yang bercahaya dan menjadikan matahari sebagai pelita (yang cemerlang)? Dan Allah menumbuhkan kalian dari tanah, tumbuh (berangsur-angsur), kemudian Dia akan mengembalikan kalian ke dalamnya (tanah) dan mengeluarkan kalian (pada hari Kiamat) dengan pasti. Dan Allah menjadikan bumi untuk kalian sebagai hamparan, agar kalian dapat pergi kian ke mari di jalan-jalan yang luas.” (Nuh: 15-20)

Dakwah ini pun tidak mereka terima. Mereka menutupi mata mereka dengan pakaian yang mereka kenakan agar tidak melihat Nuh. Mereka menyumpal telinga mereka dengan jari-jari agar tidak satu kalimat iman pun masuk ke telinga mereka. Mereka tetap bersikeras memegang-teguh kekafiran, sombong terhadap iman dan orang-orang beriman.

Baca sebelumnya: ASAL-USUL KESYIRIKAN

Baca sesudahnya: WASIAT KEKAFIRAN DARI GENERASI KE GENERASI

(Dr Hamid Ahmad ath-Thahir)

Kisah