Petunjuk dan tanda kebinasaan kaum Nuh adalah ketika tanur (permukaan tanah) memancarkan air. Nuh dan orang-orang beriman segera menuju kapal atas perintah Allah, “Masukkanlah ke dalamnya (kapal itu) masing-masing (hewan) sepasang (jantan dan betina), dan (juga) keluargamu, kecuali orang-orang yang telah terkena ketetapan terdahulu yang akan ditimpa azab, dan (masukkan pula) orang-orang yang beriman.” Ternyata orang-orang beriman yang bersama dengan Nuh hanya sedikit. (QS Hud: 40)
Nuh memerintahkah pengkutnya, “Naiklah kalian semua ke dalamnya (kapal) dengan (menyebut) nama Allah pada waktu berlayar dan berlabuhnya. Sesungguhnya Rabb-ku Mahapengampun, Mahapenyayang.” (QS Nuh: 41)
Kapal itu mengangkut orang-orang yang beriman, serta semua hewan dan makhluk hidup lain berpasang-pasangan. Kapal itu juga mengangkut perbekalan untuk kelangsungan hidup mereka dan anak keturunannya. Nuh juga diperintahkan untuk mengajak keluarganya, kecuali yang sudah didakwahi namun tetap kafir yang di antaranya adalah Qan’an. Nuh juga diperintahkan agar tidak meminta penangguhan lagi bagi kaumnya jika mereka telah tertimpa azab.
Allah Ta’ala berfirman, “Lalu Kami membuka pintu-pintu langit dengan (menurunkan) air yang tercurah. Dan Kami menjadikan bumi menyemburkan mata-mata air. Maka bertemulah (air-air) itu sehingga (meluap dan menimbulkan) keadaan (bencana) yang telah ditetapkan.” (QS al-Qamar: 11-12) Semua itu terjadi dalam sekejap mata dengan firman-Nya, “Jadilah!”, maka jadilah. Bumi dan langit sepakat mematuhi perintah Allah. Bagaimana bumi dan langit tidak patuh, sementara Allah berfirman kepada keduanya, “Datanglah kalian berdua menurut perintah-Ku dengan patuh atau terpaksa.” Keduanya menjawab, “Kami datang dengan patuh.” (QS Fushshilat: 11)
Banjir besar pun terjadi. Langit dan bumi saat itu hanya berupa air di atas air; air yang membersihkan bumi dari kotoran syirik yang dibuat kaum musyrik. Petaka akhirnya menimpa dan azab pun merata, kecuali mereka yang dirahmati Allah. Nuh dan orang-orang yang beriman berada di atas kapal dalam keadaan selamat. Mereka selamat dari azab dan siksa terhadap orang-orang kafir. Mereka memuji Allah, “Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan kami dari orang-orang yang zalim.” (QS al-Mu’minun: 28)
Allah Ta’ala berfirman, “Dan Kami angkut dia (Nuh) ke atas (kapal) yang terbuat dari papan dan pasak.” (QS al-Qamar: 13) Dan kapal itu berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung-gunung. (QS Hud: 42) Meski terbuat dari papan dan pasak, namun kapal Nuh kokoh dalam menghadapi banjir besar. Itu karena kapal Nuh berlayar dengan pengawasan Allah. “Yang berlayar dengan pemeliharaan (pengawasan) Kami.” (QS al-Qamar: 14)
Nuh melihat anaknya yang kafir diombang-ambing gelombang besar. Dia berusaha menyelamatkan diri. Lalu kasih sayang seorang ayah muncul di hati Nuh, dan kewajiban nubuwah menarik-ulurnya. Nuh memanggil anaknya, sedangkan anak itu berada di tempat yang jauh terpencil, “Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami. Janganlah kamu bersama orang-orang kafir.” (QS Hud: 42)
Hanya saja keputusan telah ditetapkan. Anak itu termasuk orang yang binasa. Si anak berkata, “Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat menghindarkan aku dari air bah.” (QS Hud: 43)
Tapi bagaimana ia bisa menghindar, sementara gelombang setinggi gunung? Meski demikian, tali kasih sayang masih terjulur, ingin meraih tangan si anak yang membangkang.
Nuh berkata, “Tidak ada yang melindungi dari azab Allah hari ini selain Allah yang Mahapenyayang.” (QS Hud: 43)
Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya. Atas perintah Allah gelombang dengan cepat menenggelamkan si anak. Maka dia (anak itu) termasuk orang-orang yang ditenggelamkan. (QS Hud: 43)
Putra Nuh adalah orang yang kafir dan tidak pernah beramal saleh. Ia menentang agama dan pendapat ayahnya sehingga ia binasa bersama orang-orang yang binasa. Menyaksikan kematian anaknya, sang ayah meneteskan darah, bukan air mata. Andai saja kebinasaan ini hanya terjadi di dunia. Tapi apa boleh buat. Kebinasaan itu merembet hingga akhirat.
Banjir besar menenggelamkan orang-orang musyrik, sementara mereka dalam keadaan zalim. Kezaliman mereka tidak lain adalah kesyirikan. Sungguh, syirik adalah kezaliman yang sangat besar.
Setelah semua penghuni bumi binasa kecuali orang-orang yang beriman, Allah Ta’ala berseru, “Wahai bumi, telanlah airmu! Wahai langit (hujan), berhentilah!” (QS Hud: 44)
Bumi memenuhi perintah Allah, dan langit tunduk kepada titah-Nya. Air pun disurutkan. Perintah pun diselesaikan. Gunung Judi merendah kepada Allah hingga kapal Nuh berlabuh di atasnya. Allah berfirman, “Binasalah orang-orang yang zalim.” (QS Hud: 44)
Lalu Nuh berdoa, “Ya Rabbku, tempatkanlah aku di tempat yang diberkahi. Engkau adalah sebaik-baik pemberi tempat.” (QS al-Mu’minun: 29)
Allah memperkenankan permohonan Nuh, lalu berfirman, “Wahai Nuh, turunlah dengan selamat sejahtera dan penuh keberkahan dari Kami, bagimu dan bagi semua umat (mukmin) yang bersamamu. Dan ada umat-umat yang Kami beri kesenangan (dalam kehidupan dunia), kemudian mereka akan ditimpa azab Kami yang pedih.” (QS Hud: 48)
Baca sebelumnya: MEMBUAT KAPAL
Baca sesudahnya: KEIMANAN MENYATUKAN PARA PEMILIKNYA
(Dr Hamid Ahmad ath-Thahir)