BERIBADAH ADALAH TUGAS UTAMA HIDUP MANUSIA

BERIBADAH ADALAH TUGAS UTAMA HIDUP MANUSIA

Orang yang mendapatkan taufik menyadari betul tugas yang menjadi tujuan penciptaannya. Ia melaksanakan tugas tersebut sesuai dengan yang diinginkan dan diridai oleh Allah Azza wa Jalla.

Allah Azza wa Jalla telah menjelaskan tugas tersebut dengan sangat jelas dalam firman-Nya:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ مَآ اُرِيْدُ مِنْهُمْ مِّنْ رِّزْقٍ وَّمَآ اُرِيْدُ اَنْ يُّطْعِمُوْنِ اِنَّ اللّٰهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِيْنُ

Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki agar mereka memberi makan kepada-Ku. Sungguh Allah, Dialah Pemberi rezeki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.” (QS adz-Dzariyat: 56-58)

Tugas yang menjadi tujuan penciptaan manusia dan jin bukan bekerja mencari dunia, bukan pula mengumpulkan harta agar ada yang ditinggalkan untuk anak keturunannya, sebagaimana anggapan kebanyakan orang, sebab Allah Ta’ala sendiri yang menjamin rezeki hamba-hamba-Nya, sebagaiman firman-Nya, “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki agar mereka memberi makan kepada-Ku. Sungguh Allah, Dialah Pemberi rezeki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.” (QS adz-Dzariyat: 56-58) Tugas yang menjadi tujuan penciptaan manusia dan jin yang dituntut dari seorang hamba adalah menyibukkan diri dengan beribadah kepada Allah Azza wa Jalla. Selanjutnya Allah sendiri akan memberikan kepadanya kemudahan untuk mendapatkan rezeki, bahkan Allah akan memberikan rezeki dengan jalan yang tidak disangka-sangka. Jadi, Allah Ta’ala menciptakan manusia dan jin dalam rangka beribadah kepada-Nya, dan Allah Ta’ala mengutus para rasul yang mulia dalam rangka mengingatkan mereka tentang tugas mulia tersebut, sebagaimana firman-Nya:

وَمَآ اَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَّسُوْلٍ اِلَّا نُوْحِيْٓ اِلَيْهِ اَنَّهٗ لَآ اِلٰهَ اِلَّآ اَنَا۠ فَاعْبُدُوْنِ

Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Muhammad), melainkan Kami wahyukan kepadanya, ‘Bahwa tidak ada sembahan (yang berhak disembah) selain Aku, maka sembahlah Aku.’” (QS al-Anbiya’: 25)

Dan juga firman-Nya:

وَسْٔـَلْ مَنْ اَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رُّسُلِنَآ ۖ اَجَعَلْنَا مِنْ دُوْنِ الرَّحْمٰنِ اٰلِهَةً يُّعْبَدُوْنَ

Dan tanyakanlah (Muhammad) kepada rasul-rasul Kami yang telah Kami utus sebelum engkau, Apakah Kami menentukan tuhan-tuhan selain (Allah) yang Mahapengasih untuk disembah?” (QS az-Zukhruf: 45)

Oleh karena itu, tugas para rasul adalah menjauhkan manusia dari penyembahan kepada selain Allah menuju penyembahan kepada Allah semata. Itu juga merupakan tugas para dai, yaitu menyampaikan risalah para nabi, sebagaimana yang dikatakan olah Rab’i bin Amir radhiyallahu ‘anhu kepada Rustam, “Sesungguhnya Allah mengutus kita untuk mengeluarkan manusia dari pengabdian kepada makhluk menuju pengabdian kepada Allah Azza wa Jalla, dari kesusahan dunia menuju kebahagiaan akhirat, dan dari kesesatan agama-agama menuju kebenaran agama Islam.”

Kebanyakan manusia terjatuh kepada penyembahan pohon, batu, matahari, bulan, anak sapi, patung, dan hawa nafsu. Oleh karena itu, dai yang menyeru kepada jalan Allah berkewajiban menyelamatkan mereka dari penyembahan yang batil tersebut, serta menjadikan mereka mulia dengan menuntun mereka menjadi hamba Allah yang beribadah hanya kepada Allah. Hati tidak akan pernah bahagia, tenteram dan tenang sebelum penghambaan ditujukan hanya kepada Allah semata, dan sebelum hati dipenuhi oleh cinta, dzikir dan syukur kepada-Nya, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla:

الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَتَطْمَىِٕنُّ قُلُوْبُهُمْ بِذِكْرِ اللّٰهِ ۗ اَلَا بِذِكْرِ اللّٰهِ تَطْمَىِٕنُّ الْقُلُوْبُ

(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS ar-Ra’d: 28)

Hati tidak akan pernah sampai pada tujuan sebelum ia sampai kepada Rabbnya. Hati tidak akan sampai kepada Rabbnya melainkan jika ia sehat dan selamat. Jika penghambaan kepada Allah telah sempurna, otomatis hati akan selamat dari penghambaan kepada selain Allah. Apabila hati telah selamat dari penghambaan kepada selain Allah, maka akan sempurnalah kebahagiaannya di dunia dan di akhirat. Kebahagiaan seorang hamba yang paling besar adalah ketika hati dan anggota badannya tunduk mengabdi kepada Allah Azza wa Jalla dalam setiap waktu dan keadaan.

Allah Ta’ala berfirman:

 قُلْ اِنَّ صَلَاتِيْ وَنُسُكِيْ وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِيْ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَۙ لَا شَرِيْكَ لَهٗ ۚوَبِذٰلِكَ اُمِرْتُ وَاَنَا۠ اَوَّلُ الْمُسْلِمِيْنَ

Katakanlah (Muhammad), Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb seluruh alam, yang tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku, dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri (muslim).” (QS al-An’am: 162-163)

Kita adalah budak Allah Azza wa Jalla. Seorang budak tidak pantas bekerja dan mengabdi kepada selain majikannya. Oleh karena itu, kebahagiaan dunia dan akhirat sangat tergantung pada pelaksanaan hamba akan tugas penghambaannya kepada Allah Azza wa Jalla, sebagaimana juga kesengsaraan dan kesempitan sangat tergantung pada kelalaian seorang hamba akan tugas tersebut atau tergantung pada penghambaan diri kepada selain Allah Azza wa Jalla.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تَعِسَ عَبْدُ الدِّينَارِ تَعِسَ عَبْدُ الدِّرْهَمِ تَعِسَ عَبْدُ الْخَمِيصَةِ، تَعِسَ عَبْدُ الْخَمِيلَةِ، إن أُعْطِيَ رَضِيَ، وَإن لَمْ يُعْطَ سَخِطَ، تَعِسَ وَانْتَكَسَ، وَإِذَا شِيكَ فَلَا انْتَقَشَ

Celakalah hamba dinar, celakalah hamba dirham, celakalah hamba khamishah (kain dari sutra atau campuran sutra dan wol), celakalah hamba khamilah (kain beludru). Jika diberi, ia rida, dan jika tidak diberi, ia murka. Ia celaka dan (jatuh) terbalik. Jika tertusuk duri, ia tidak dapat mengeluarkannya.” (HR al-Bukhari)

Karena hati diciptakan untuk menyembah Sang yang Mahamengetahui yang gaib serta Mahapengampun dosa, maka resep hati ketika ditimpa kegundahan, kesedihan dan kesusahan ada pada tauhid (yaitu mengesakan Allah Azza wa Jalla) serta mengikhlaskan ibadah hanya kepada Rabb yang Mahaterpuji lagi Mahamulia.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا  أَصَابَ أَحَدًا قَطٌّ هَمٌّ وَلاَ حَزَنٌ فَقَالَ: اَللَّهُمَّ إِنِّيْ عَبْدُكَ، ابْنُ عَبْدِكَ، ابْنُ أَمَتِكَ، نَاصِيَتِيْ بِيَدِكَ، مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ، عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ، أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ، سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ، أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ، أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِيْ كِتَابِكَ، أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِيْ عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ، أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيْعَ قَلْبِيْ، وَنُوْرَ صَدْرِيْ، وَجَلاَءَ حُزْنِيْ، وَذَهَابَ هَمِّيْ إِلاَّ أَذْهَبَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ هَمَّهُ، وَأَبْدَلَهُ مَكَانَ حُزْنِهِ فَرَحاً

Tidaklah seorang hamba tertimpa suatu kegalauan dan kesedihan kemudian dia berdoa, ‘Ya Allah, sungguh aku adalah hamba-Mu, anak hamba (laki-laki)-Mu, anak hamba (perempuan)-Mu, ubun-ubunku di tangan-Mu, telah lewat bagiku hukum-Mu, keadilan takdir-Mu bagiku. Aku meminta kepada-Mu dengan semua nama yang Engkau miliki, yang Engkau namakan diri-Mu sendiri,  atau Engkau ajarkan kepada seorang dari hamba-Mu, atau Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau yang Engkau khususkan dalam ilmu gaib di sisi-Mu, agar Engkau jadikan al-Qur’an sebagai penyejuk hatiku, cahaya dadaku, pelapang kesedihanku, dan penghilang kegalauanku, melainkan Allah Azza Wa Jalla akan mengangkat kegalauannya dan Allah akan mengganti kesedihannya dengan kegembiraan.” (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh Ahmad. Disahihkan oleh Syekh al-Albani dalam as-Silsilah ash-Shahihah)

Baca juga: HIKMAH PENCIPTAAN JIN DAN MANUSIA

Baca juga: PENCIPTAAN MANUSIA DAN PENENTUAN NASIBNYA

Baca juga: HIDUP DI DUNIA HARUS BERORIENTASI KE AKHIRAT

(Syekh Dr Ahmad Farid)

Akidah