HAL-HAL YANG DIHARAMKAN BAGI YANG JUNUB

HAL-HAL YANG DIHARAMKAN BAGI YANG JUNUB

Untuk hal-hal yang diharamkan bagi orang yang junub, kita dapat membaginya menjadi dua pembahasan: hal-hal yang disepakati keharamannya bagi orang yang junub, dan hal-hal yang diperselisihkan keharamannya oleh ulama, beserta penjelasan yang unggul dari perbedaan tersebut. Berikut adalah penjelasannya:

1. Hal-hal yang Disepakati Keharamannya bagi yang Junub

(1) Shalat

Orang yang junub diharamkan melaksanakan shalat hingga ia suci, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَىٰ حَتَّىٰ تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّىٰ تَغْتَسِلُوا

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat dalam keadaan mabuk sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, dan jangan pula menghampiri masjid dalam keadaan junub, kecuali sekadar berlalu saja hingga kamu mandi.” (QS an-Nisa: 43)

(2) Thawaf di Baitullah

Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Thawaf di Baitullah tidak lain adalah shalat.” (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh an-Nasa-i dan Ahmad)

2. Hal-hal yang Diperselisihkan oleh Ulama tentang Perkara yang Diharamkan bagi yang Junub

(1) Membaca al-Qur’an

Sebagian ulama berpendapat bahwa orang yang junub tidak boleh membaca al-Qur’an. Mereka berdalil dengan apa yang diriwayatkan oleh Ashhabus Sunan dari Ali radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah buang hajat, kemudian keluar, membaca al-Qur’an, dan makan daging bersama kami. Tidak ada yang menutupinya—atau mungkin Ali berkata, Tidak ada sesuatu pun yang menghalanginya dari membaca al-Qur’an selain janabat.” (HR Abu Dawud, Ibnu Majah, at-Tirmidzi, dan an-Nasa-i)

Hadis ini dilemahkan oleh sebagian ahli ilmu dan dihasankan oleh sebagian yang lainnya. Meskipun hadis ini dianggap sahih, ia tetap tidak dapat dijadikan sebagai dalil untuk melarang orang junub membaca al-Qur’an.

asy-Syaukani rahimahullah berkata, “Tidak terdapat satu keterangan pun dalam hadis di atas yang menunjukkan haramnya orang junub membaca al-Qur’an, karena maksud utamanya adalah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membaca al-Qur’an dalam keadaan junub. Keterangan seperti ini tidak dapat dijadikan sebagai dalil untuk makruh membaca al-Qur’an, apalagi untuk haramnya. al-Bukhari meriwayatkan secara ta’liq dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhum bahwa ia berpendapat orang junub tidak mengapa membaca al-Qur’an, dan hal ini dikuatkan dengan berpegang pada keumuman hadis.”

Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut Allah dalam segala keadaannya.” (HR al-Bukhari dan Muslim) Juga dengan kaidah al-bara’ah al-asliyyah (asal sesuatu itu tidak ada larangan), sehingga sah hadis yang digunakan untuk mentakhshish keumuman ini dan sah pula hadis untuk memindahkan statusnya dari al-bara’ah al-asliyyah, yaitu hingga terdapat hadis yang valid yang melarang membaca al-Qur’an. Karena hukum asal adalah tidak ada larangan kecuali dengan dalil, dan dalil pelarangan tersebut tidak benar.

Hukum ini berlaku secara umum baik untuk orang junub maupun orang haidh. Namun, yang lebih utama bagi orang junub adalah bersegera mandi jika hendak membaca al-Qur’an, karena hal itu lebih sempurna dalam beribadah. Selain itu, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya aku tidak suka menyebut nama Allah kecuali dalam keadaan suci.” (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh Abu Daqud, an-Nasa-i, dan Ibnu Majah)

(2) Menyentuh Mushaf

Pembicaraan tentang ini serupa dengan hukum yang telah dibahas sebelumnya, yaitu bolehnya orang junub menyentuh mushaf al-Qur’an.

asy-Syaikh al-Albani rahimahullah berkata, “al-Bara’ah al-asliyyah (asal sesuatu itu tidak ada larangan) berlaku bagi orang-orang yang berpendapat bolehnya orang muslim yang junub menyentuh al-Qur’an, dan tidak ada dalam bab ini riwayat yang sahih yang membolehkan penyimpangan dari pendapat tersebut.”

Aku berkata, “Adapun dalil yang digunakan oleh mereka yang melarang orang junub menyentuh al-Qur’an dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Tidak boleh menyentuh al-Qur’an kecuali orang yang suci,’ maka lafaz ‘thahir’ (orang yang suci) termasuk dalam lafaz al-musyatarak (memiliki banyak makna). Orang mukmin adalah suci secara mutlak, baik dalam keadaan junub maupun tidak junub.

Adapun ayat, ‘Tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan’ (QS al-Waqi’ah: 79), yang dimaksud adalah Lauhul Mahfuzh menurut pendapat yang paling unggul dari berbagai pendapat ulama. Wallahu ‘alam.

(3) Berdiam Diri di Masjid

Ulama berbeda pendapat tentang boleh tidaknya orang junub berdiam diri di masjid. Sebagian ulama membolehkannya, sementara yang lainnya melarangnya.

Orang-orang yang melarang orang junub berdiam diri di masjid berdalil dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Dan jangan pula kamu shalat, sedangkan kamu dalam keadaan junub, kecuali sekadar berlalu saja (sehingga kamu mandi).” (QS an-Nisa’: 43). Mereka juga berdalil dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya aku tidak menghalalkan masjid bagi perempuan haidh dan orang junub.” (HR Abu Dawud. Sanadnya lemah. Penyebab kelemahannya adalah adanya rawi bernama Jasrah binti Dujajah. al-Bukhari berkata, “Pada dirinya terdapat beberapa keanehan.”) dan dalam riwayat lain, “Ketahuilah, sesungguhnya masjid ini tidak halal bagi orang yang junub dan perempuan haidh.” (HR Ibnu Majah. al-Bushairi melemahkannya karena dalam sanadnya terdapat rawi yang majhul, dan juga terdapat dalam Dhaiful Jami’)

Pendapat yang unggul dalam permasalahan ini adalah yang membolehkan orang junub berdiam diri di masjid berdasarkan al-bara’ah al-asliyyah, dan tidak adanya dalil yang mengharamkan. Adapun hadis-hadis yang dijadikan dalil oleh mereka yang melarang, yaitu:

Hadis pertama, terdapat kelemahan (idhthirab) dalam sanadnya, dan dalam sanadnya terdapat rawi bernama Jasrah binti Dujajah. al-Bukhari berkata, “Pada dirinya terdapat beberapa keanehan.”

Hadis kedua adalah mursal (terputus sanadnya).

al-Baghawi rahimahullah berkata, “Ahmad dan al-Muzani membolehkan orang junub berdiam diri di masjid. Ahmad melemahkan hadis tersebut karena rawinya, yaitu Aflat, adalah majhul (tidak dikenal identitasnya).” Adapun ayat dalam surat an-Nisa’ di atas, yang dimaksud dengan “abirus-sabil” adalah para musafir yang tertimpa janabat lalu mereka bertayamum dan shalat. Hal ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu.

Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, para ahlus suffah (orang-orang miskin di Madinah yang tidak memiliki keluarga dan harta) bermalam di dalam masjid, dan kelompok mereka cukup banyak. Tidak diragukan lagi, di antara mereka mungkin ada yang mengalami ihtilam (mimpi bersetubuh), namun beliau tidak melarang mereka tinggal di dalam masjid.”

Aku berkata, “Namun, berwudhu bagi yang hendak duduk di masjid sedangkan ia dalam keadaan junub adalah lebih dianjurkan. Hal ini berdasarkan ungkapan ‘Atha’ bin Yasar, ‘Aku pernah melihat beberapa sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk di dalam masjid sedangkan mereka dalam keadaan junub, namun mereka telah berwudhu seperti wudhu untuk shalat.’” (Hadis hasan. Diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur dalam tafsirnya)

Baca juga: HUKUM PUASA ORANG YANG SUBUH HARINYA MASIH JUNUB

Baca juga: RIDHA DAN MURKA ALLAH ADA PADA KERIDAAN DAN KEMURKAAN ORANG TUA

Baca juga: MEMBACA AL-QUR’AN TANPA MENGGERAKKAN BIBIR

(Syekh Abu Abdurrahman Adil bin Yusuf al-Azazy)

Fikih