HUKUM-HUKUM NAJIS

HUKUM-HUKUM NAJIS

Di dalamnya mengandung beberapa permasalahan:

1. Wajibnya Menghilangkan Najis

Allah Ta’ala berfirman:

وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ

Dan pakaianmu, maka sucikanlah.” (QS al-Muddatsir: 4)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَكْثَرُ عَذَابِ الْقَبْرِ مِنَ الْبَوْلِ

Kebanyakan azab kubur disebabkan dari air kencing.” (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Ahmad, al-Hakim, Ibnu Abi Syaibah, dan disahihkan oleh al-Hakim berdasarkan kriteria al-Bukhari dan Muslim, dan disepakati oleh adz-Dzahabi)

Dan dari Abi Sa’id al-Khudri tentang kisah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mencopot kedua terompahnya di dalam shalat, beliau bersabda,

إنَّ جِبْرِيلَ أَتَانِي فَأَخْبَرَنِي أَنَّ فِيهِمَا قَذَرًا

Sesungguhnya Jibril mendatangiku dan memberitahukanku bahwa pada dua terompahku terdapat kotoran.” (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Khuzaimah, dan di shahihkan oleh Syaikh al-Albani di dalam al-Irwa’)

Dan akan datang pemaparan hadis ini pada akhir bab-bab tentang najis, serta hadis-hadis lainnya yang tercantum di dalam bab tersebut yang menunjukkan wajibnya menghilangkan najis.

2. Macam-macam Najis

Najis adalah sesuatu yang dianggap kotor dan menghalangi keabsahan ibadah. Najis dapat dihilangkan dengan cara membersihkannya dari apa saja yang tertimpa olehnya.

Najis terdiri dari berbagai macam, yaitu:

🏀 Bangkai

Bangkai adalah hewan yang mati tanpa disembelih. Dalil yang menunjukkan najisnya bangkai adalah hadis sahih yang tercantum dalam as-Shahihain (al-Bukhari dan Muslim).

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: Salah seorang maula (budak) Maimunah dihadiahi seekor kambing. Namun kambing itu kemudian mati. Kebetulan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lewat dekat bangkai kambing itu. Beliau berkata,

هلَّا أَخَذْتُمْ إِهَابَهَا فَدَبَغْتُمُوْهُ؟

Mengapa tidak kalian ambil kulitnya, lalu kalian samak dan manfaatkan?

Mereka menjawab, “Sesungguhnya ia telah menjadi bangkai.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّمَا حُرِّمَ أَكْلُهَا

Sesungguhnya yang diharamkan hanyalah memakannya saja.” (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan an-Nasa-i)

Dan juga dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَيُّمَا إِهَابٍ دُبِغَ فَقَدْ طَهُرَ

Kulit apapun yang disamak, maka ia menjadi suci.” (HR Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa-i, Ibnu Majah, Malik dan Ahmad)

Hal ini menunjukkan bahwa pada asalnya bangkai adalah najis. Cara menyucikan kulitnya adalah dengan penyamakan.

Hal-hal yang masuk ke dalam hukum bangkai:

a) Jika bagian badan manapun dari hewan yang belum disembelih dipotong, maka potongan tersebut adalah bangkai.

Dari Abu Waqid al-Laitsi radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا قُطِعَ مِنْ الْبَهِيمَةِ، وَهِيَ حَيَّةٌ فَهُوَ مَيْتَةٌ

Apa saja yang dipotong dari hewan ketika ia masih hidup, maka potongan itu adalah bangkai.” (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad)

Atas dasar ini, apa saja yang dipotong dari punuk unta, ekor biri-biri, atau tindakan sebagian tukang jagal di tempat penyembelihan umum yang memotong telinga, kaki, atau bagian lain dari hewan yang masih hidup, maka potongan tersebut termasuk bangkai. Oleh karena itu, potongan tersebut tidak halal dimakan dan tetap kenajisannya.

b) Hewan ghair ma’kul al-lahmu (hewan yang tidak halal dimakan dagingnya)

Hukum hewan yang dagingnya tidak halal dimakan adalah sama seperti hukum bangkai, meskipun ia disembelih. Hal itu karena di antara syarat sahnya penyembelihan adalah halalnya hewan yang disembelih.

Dari Salmah bin Akwa’, ia berkata: Menjelang sore, di hari kemenangan kaum muslimin terhadap Yahudi Khaibar, banyak prajurit menyalakan api.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya,

مَا هَذِهِ النِّيرَانُ؟ عَلَى أَيِّ شَيْءٍ تُوقِدُونَ؟

Api apa itu? Untuk apa kalian menyalakannya?

Mereka menjawab, “Untuk memasak daging.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali bertanya,

عَلَى أَيِّ لَحْمٍ؟

Daging apa?

Mereka menjawab, “Daging keledai jinak.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَهْرِيقُوهَا وَاكْسِرُوهَا

Tumpahkan daging itu dan pecahkan periuknya.

Seseorang berkata, “Ataukah kami menumpahkan dagingnya, kemudian mencuci periuknya?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

أَوْ ذَاكَ

Atau seperti itu.” (HR al-Bukhari, Muslim, dan Ibnu Majah)

Hadis ini dijadikan dalil atas najisnya daging hewan yang tidak dimakan dagingnya, sekalipun sudah disembelih. Hal ini karena perintah pertama dalam hadis tersebut adalah memecahkan bejana, dan perintah kedua adalah mencucinya. Kedua perintah ini menunjukkan kenajisannya.

Sebagian riwayat menyebutkan secara jelas kenajisan keledai jinak, yaitu sabdanya,

فَإِنَّهَا رِجْسٌ

Sesungguhnya ia adalah najis.” (HR an-Nasa-i dan Ibnu Majah)

Hal-hal yang dikecualikan dalam perkara bangkai:

a) Bangkai ikan dan belalang

Bangkai ikan dan belalang adalah suci karena keduanya adalah hewan yang halal. Di antara dalil yang menunjukkan kehalalan bangkai laut adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ

(Laut) itu airnya suci. Bangkainya halal.” (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa-i, dan Ibnu Majah)

Atas dasar ini, maka diperbolehkan mengonsumsi bangkai laut dalam bentuk apa pun, baik yang terapung maupun yang tenggelam. Bangkai tersebut bisa disebabkan oleh ulah manusia, dihempaskan oleh gelombang laut, atau yang semisalnya.

Adapun dalil atas halalnya belalang adalah:

Dari Ibnu Abi Aufa radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Kami pernah ikut berperang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebanyak tujuh atau enam peperangan. Kami bersama-sama beliau memakan belalang.” (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan an-Nasa-i)

al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Para ulama sepakat bahwa diperbolehkan memakan belalang tanpa perlu menyembelihnya.”

b) Tulang, bulu, tanduk, kuku dan lainnya selain kulit yang dimiliki bangkai adalah suci

Hal itu karena tidak ada dalil yang menyatakan kenajisannya. Inilah pendapat yang diunggulkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam kumpulan fatwanya. Ia berkata, “Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama salaf.”

az-Zuhri berkata tentang tulang binatang yang mati (bangkai) seperti gajah, “Aku sempat menemui beberapa ulama salaf yang menggunakan sisir dari tulang-belulang bangkai dan sebagai tempat minyak.”

c) Kulit bangkai adalah najis, namun dapat disucikan dengan penyamakan

Dari lbnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Salah seorang maula (budak) Maimunah dihadiahi seekor kambing. Namun kambing itu kemudian mati. Kebetulan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lewat dekat bangkai kambing itu. Beliau berkata,

هلَّا أَخَذْتُمْ إِهَابَهَا فَدَبَغْتُمُوْهُ؟

Mengapa tidak kalian ambil kulitnya, lalu kalian samak dan manfaatkan?” (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan an-Nasa-i)

Dan juga dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَيُّمَا إِهَابٍ دُبِغَ فَقَدْ طَهُرَ

Kulit apapun yang disamak, maka ia menjadi suci.” (HR Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan an-Nasa-i, Ibnu Majah, Malik, dan Ahmad)

Pertanyaan: Apakah penyamakan dapat menyucikan kulit semua hewan?

Sebagian ulama berpendapat bahwa penyamakan dapat menyucikan kulit semua hewan, termasuk kulit anjing dan babi. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kulit apapun” yang menunjukkan keumuman. Pendapat ini diunggulkan oleh as-Syaukani dan as-Shan’ani. Pendapat ini juga dianut oleh Abu Hanifah dan para sahabatnya, serta oleh Malik dan asy-Syafi’i. Namun, al-Hanafiyah mengecualikan daging babi, sedangkan asy-Syafi’i mengecualikan anjing dan babi.

Sedangkan yang lainnya berpendapat bahwa kulit bangkai dapat disucikan dengan penyamakan hanya jika hewan tersebut halal disembelih. Atas dasar ini, kulit bangkai tidak dapat menjadi suci dengan disamak kecuali jika berasal dari hewan yang halal dimakan dagingnya.

Dalil mereka adalah apa yang terdapat di sebagian lafaz hadis yang menyebutkan, “Zakatuha dibaghuha” (sembelihannya adalah dengan menyamaknya). (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh an-Nasa-i, ath-Thabrani, dan Ahmad)

Dengan demikian, penyamakan hanya berlaku untuk kulit bangkai yang kedudukannya serupa dengan penyembelihan hewan. Pendapat inilah yang diunggulkan oleh asy-Syekh Ibnu ‘Utsaimin dalam Syarhul Mumti’ dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawanya. Pendapat ini juga dianut oleh al-Auza’i, Ibnu al-Mubarak, Ishaq bin Rahawaih, dan Abu Tsaur.

d) Susu bangkai dan infahnya adalah suci

Ibnu Taimiyah berkata, “Pendapat yang unggul adalah bahwa infah dan susu bangkai adalah suci. Hal ini karena ketika menaklukkan negeri Irak, para sahabat memakan keju milik orang-orang majusi. Dan hal ini jelas tersebar di antara mereka.”

e) Bangkai yang tidak memiliki darah yang mengalir

Maksudnya adalah hewan yang darahnya tidak mengalir ketika mati atau terluka, seperti lalat, belalang, dan kalajengking. Semua bangkai hewan ini tidak najis. Ulama berdalil untuk ketetapan ini dengan hadis sahih yang diriwayatkan oleh al-Bukhari.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِي شَرَابِ أَحَدِكُمْ، فَلْيَغْمِسْهُ ثُمَّ لِيَنْزِعْهُ. فَإِنَّ فِي إِحْدَى جَنَاحَيْهِ دَاءً، وَالْأُخْرَى شِفَاءً

Jika lalat jatuh ke dalam minuman seseorang di antara kalian, hendaklah lalat itu ditenggelamkan, kemudian dibuang. Hal itu karena pada salah satu sayapnya terdapat penyakit, sedang pada sayap yang lain terdapat penawar.” (HR al-Bukhari, Abu Dawud dan Ibnu Majah)

Dalam hadis ini beliau tidak memerintahkan untuk menumpahkan minuman tersebut. Seandainya bangkai itu najis, niscaya Rasulullah memerintahkan untuk menumpahkannya. Wallahu a’lam.

🏀 Daging Babi

Firman Allah Ta’ala:

قُل لَّآ أَجِدُ فِى مَآ أُوحِىَ إِلَىَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ يَطْعَمُهُۥٓ إِلَّآ أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَّسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُۥ رِجْسٌ

Katakanlah, ‘Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannnya, kecuali apabila makanan itu adalah bangkai atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya ia adalah kotor.’” (QS al-An’am: 145)

Dhamir yang terdapat pada firmannya, ‘fainnahu rijsun’ kembali pada sesuatu yang disebut terdekat, yaitu daging babi.

🏀 Kencing dan Kotoran Manusia

Shiddiq Hasan Khan rahimahullah berkata, “Bahkan kenajisannya adalah bagian yang aksiomatik (diterima sebagai kebenaran) dalam agama ini. Hal ini tidaklah samar bagi mereka yang mendalami nash-nash syariat.”

Dalil najisnya kotoran manusia adalah hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا وَطِئَ أَحَدُكُمْ بِنَعْلِهِ الْأَذَى، فَإِنَّ التُّرَابَ لَهُ طَهُورٌ

Apabila sandal salah seorang dari kalian menginjak kotoran, maka sesungguhnya tanah adalah sebagai penyucinya.” (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh Abu Dawud, al-Hakim, al-Baihaqi, dan Ibnu Khuzaimah)

Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, apabila buang hajat, aku membawakan air untuknya. Lalu beliau mencuci (duburnya) dengan air tersebut.” (HR al-Bukhari, Muslim, dan selainnya)

Dalil najisnya air kencing adalah hadis dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati dua kuburan, kemudian bersabda,

إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ. وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ، أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لَا يَسْتَتِرُ مِنَ البَوْلِ، وَأَمَّا الْآخَرُ فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ

Sesungguhnya keduanya sedang diazab. Tidaklah keduanya diazab karena perkara yang besar (menurut pandangan mereka). Yang satu tidak melindungi diri dari air kencing, yang lain suka berbuat namimah (adu domba).”

Dalil lain yang menunjukkan najisnya kencing dan kotoran manusia adalah hadis al-Arabi (Arab dusun) yang kencing di dalam masjid.

Dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat seorang arab dusun kencing di dalam masjid. Beliau bersabda,

لَا تُزْرِمُوهُ

Biarkan dia!

Setelah orang itu kencing, Nabi meminta seember air, lalu air itu dituangkan di atas letak orang itu kencing. (Muttafaq ‘alaihi)

Imam Muslim menambahkan: Kemudian Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggilnya dan berkata kepadanya,

إِنَّ هَذِهِ الْمَسَاجِدَ لَا تَصْلُحُ لِشَيْءٍ مِنْ هَذَا الْبَوْلِ وَلَا الْقَذَرِ. إِنَّمَا هِيَ لِذِكْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَالصَّلَاةِ، وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ

Sesungguhnya masjid tidak layak dari air kencing dan kotoran. Tempat ini tidak lain adalah untuk berdzikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla, shalat dan membaca al-Qur’an.”

Hukum Air Kencing Anak Kecil

Dari Ummu Qais radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya ia pernah mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa anak laki-lakinya yang masih kecil dan belum mengomsumsi makanan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendudukkan anak itu di atas pangkuannya. Namun, anak itu kencing dan mengenai pakaian beliau. Kemudian beliau meminta dibawakan air. Beliau memerciki pakaiannya dengan air dan tidak mencucinya. (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa-i dan Ibnu Majah)

Dan dari Abu as-Samh radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يُغْسَلُ مِنْ بَوْلِ الْجَارِيَةِ، وَيُرَشُّ مِنْ بَوْلِ الْغُلَامِ

Air kencing bayi perempuan dicuci (dengan air), dan air kencing bayi laki-laki diperciki (dengan air).” (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh Abu Dawud, an-Nasa-i, Ibnu Majah)

Dari hadis-hadis di atas dapat diambil beberapa faedah, yaitu:

1. Najisnya kencing bayi.

2. Membersihkan kencing bayi laki-laki cukup dengan memercikinya dengan air, sedangkan kencing bayi perempuan wajib dicuci.

3. Dalam hal pemercikan, disyaratkan bahwa bayi laki-laki itu belum mengomsumsi makanan. Maksudnya, ia belum merasa memperoleh makanan kecuali air susu berdasarkan jalan istiqlal, dengan makna ia sudah berselera terhadap makanan. Jika ia dilarang atau dicegah dari makanan tersebut, maka ia akan menangis.

🏀 Kencing dan Kotoran Hewan

Hewan terdiri dari dua macam: hewan yang ma’kul al-lahm (dagingnya halal dimakan) dan hewan ghairul ma’kul al-lahm (dagingnya tidak halal dimakan).

Kencing dan kotoran hewan yang ma’kul al-lahm adalah suci. Demikian pendapat yang benar menurut para ulama.

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Beberapa orang dari Ukal atau dari suku Urainah tiba di Madinah. Mereka merasa tidak cocok dengan udara Madinah (sakit). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan beberapa orang sahabat untuk mengantarkan kepada mereka beberapa ekor unta yang banyak air susunya, sekaligus menyuruh mereka keluar (meninggalkan Madinah). Mereka pun meminum kencing dan air susu unta itu. (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan an-Nasa-i)

Makna ijtawwu adalah tidak cocok dengan udara Madinah. Kata ini berasal dari al-jawa, yaitu penyakit yang ada di dalam perut (sakit pencernaan). Sedangkan makna al-liqah adalah unta yang melimpah air susunya.

Hadis ini dijadikan dalil bagi mereka yang berpendapat bahwa air kencing hewan yang ma’kul al-lahm adalah suci. Pendapat ini dianut oleh Malik, Ahmad, dan lainnya.

asy-Syaukani berkata, “Pendapat tersebut juga dikuatkan dengan prinsip bahwa setiap sesuatu itu suci hingga ada dalil yang menetapkan kenajisannya.”

Kencing dan kotoran hewan yang ghair ma’kul al-lahm, menurut sebagian ulama, adalah najis. Mereka berhujah dengan hadis Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, di mana ia berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendatangi jamban. Beliau menyuruhku untuk membawakan tiga batu untuknya. Dua batu telah kudapatkan, tetapi aku masih mencari batu yang ketiga dan tidak menemukannya. Sebagai gantinya, aku mengambil satu kotoran hewan (yang sudah mengering) dan menyerahkannya kepada beliau. Beliau mengambil dua batu dan membuang kotoran tersebut. Beliau bersabda,

هِيَ رِجْسٌ

Ini adalah najis (rijsun).” (HR al-Bukhari, an-Nasa-i, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ibnu Khuzaimah)

Dalam riwayat Ibnu Khuzaimah ada tambahan: Lalu aku mendapatkan dua batu untuk beliau dan kotoran keledai.

Beberapa ulama lainnya berpendapat bahwa kencing dan kotoran hewan ghair ma’kul al-lahm adalah suci, kecuali kotoran keledai, berdasarkan hadis di atas.

Shiddiq Hasan Khan rahimahullah berkata, “Kebenaran yang mesti diterima adalah menghukumi kenajisan sesuatu yang kenajisannya merupakan hal yang aksiomatik (dapat diterima sebagai kebenaran) dalam agama, yaitu kencing dan kotoran manusia. Adapun selain itu, jika terdapat dalil yang menunjukkan kenajisannya, seperti ar-rautsah (kotoran keledai) yang terdapat dalam hadis Ibnu Mas’ud, maka wajib dihukumi demikian (najis). Jika tidak terdapat dalil yang menunjukkan kenajisannya, maka al-baraatul ashliyyah (asal sesuatu itu tidak ada) cukup untuk meniadakan bentuk ta’abbud (peribadatan) bahwa sesuatu itu adalah najis tanpa dalil, karena asal pada tiap-tiap sesuatu itu adalah suci, dan menghukumi kenajisannya adalah hukum taklifi (pembebanan) yang merata kepada banyak orang, dan hal itu tidak halal kecuali setelah tegaknya hujah (bukti).”

🏀 Air Liur Anjing

Air liur anjing adalah najis, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

طَهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ، أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ

Sucinya bejana seseorang di antara kalian apabila dijilat oleh anjing adalah dengan dicuci sebanyak tujuh kali, yang pertama (dicampur) dengan tanah.” (HR Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan an-Nasa-i. al-Bukhari juga meriwayatkan yang semisal dengannya, Ibnu Majah dan an-Nasa-i)

Maka sabda beliau, “Sucinya,” adalah dalil bahwa bejana menjadi najis disebabkan oleh air liur anjing. Begitu juga dengan perintah beliau untuk mencuci bejana tersebut.

Dalam sebagian riwayat, terdapat perintah untuk menumpahkan airnya.

🏀 Darah

Darah haid berbeda dengan darah lainnya. Darah haid adalah najis.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Khaulah binti Yasar radhiyallahu ‘anha bertanya, “Wahai Rasulullah, aku tidak memiliki pakaian kecuali satu. Dan itupun aku kenakan saat haid?”

Beliau bersabda,

فَإِذَا طَهُرْتِ، فَاغْسِلِي مَوْضِعَ الدَّم. ثُمَّ صَلِّي فِيهِ

Jika engkau telah suci, cucilah bagian yang terkena darah. Kemudian shalatlah dengan menggunakan pakaian tersebut.”

Khaulah bertanya lagi, “Bagaimana jika bekas darah tidak hilang?”

Beliau bersabda,

يَكْفِيكِ الْمَاءُ. وَلَا أَثَرُهُ يَضُرُّكِ

Air sudah cukup bagimu. (Setelah itu) bekasnya tidak menjadi masalah.” (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan al-Baihaqi)

Selain darah haid, menurut pendapat yang unggul, adalah suci, baik mengalir maupun tidak mengalir.

Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, disebutkan bahwa seorang laki-laki dari kaum muslimin pernah berdiri melaksanakan shalat, padahal ketika itu ia sedang bertugas menjaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat. Lalu seorang laki-laki dari kaum musyrikin datang dan memanahnya hingga anak panah menancap di tubuh sahabat itu. Ia pun mencabutnya, namun laki-laki musyrik itu memanahnya lagi dengan tiga anak panah. (Hadis hasan. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Khuzaimah)

Hadis ini merupakan dalil yang menunjukkan bahwa darah tidak najis dan tidak membatalkan wudhu. Seandainya darah najis, niscaya sahabat itu tidak melanjutkan shalatnya. Sangat tidak mungkin Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengetahui kejadian itu, mengingat adanya faktor-faktor yang memungkinkan beliau mengetahui dan bertanya tentang kejadian tersebut.

Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Kaum muslimin kerap salat dalam keadaan terluka (salat dengan tubuh terluka).”

Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma pernah memencet bisulnya hingga mengeluarkan darah, dan beliau tidak berwudhu setelahnya.

Ibnu Abi Aufah tetap meneruskan shalatnya sementara darah mengucur dari tubuhnya.

Hukum asal pada segala sesuatu adalah suci. Tidak ada satu dalil pun yang secara sharih (jelas) menunjukkan najisnya darah.

Adapun firman Allah Ta’ala:

قُل لَّآ أَجِدُ فِى مَآ أُوحِىَ إِلَىَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ يَطْعَمُهُۥٓ إِلَّآ أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَّسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُۥ رِجْسٌ

Katakanlah, ‘Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi, karena sesungguhnya ia adalah kotor.” (QS al-An’am: 145) bahwa dhamir dalam ayat itu kembali kepada sesuatu yang disebutkan paling dekat. Maka ar-rijsu (kotor) pada ayat itu adalah kembali kepada daging babi.

Peringatan: an-Nawawi, al-Qurthubi, dan lainnya rahimahumullah menyebutkan dalam kitab-kitab mereka bahwa darah adalah najis berdasarkan konsensus (kesepakatan) para ulama. Namun, klaim ini dibantah oleh Syekh al-Albani rahimahullah. Beliau berkata, “Klaim adanya kesepakatan para ulama atas najisnya darah terhapus dengan dalil-dalil terdahulu dan dengan (ketetapan) bahwa hukum asal pada sesuatu adalah suci. Ketetapan ini tidak boleh ditinggalkan kecuali dengan dalil yang sahih yang bisa digunakan untuk meninggalkan hukum asal tersebut. Apabila tidak ada dalil, maka yang wajib adalah menetapkan hukum itu tetap pada ketetapan asalnya (yaitu suci).”

Di antara ulama yang mengunggulkan sucinya darah adalah Syekh al-‘Utsaimin, Shiddiq Hasan Khan dan asy-Syaukani rahimahumullah.

Aku berkata, “Imam an-Nawawi rahimahullah menjadikan hadis Jabir di atas sebagai dalil bahwa keluarnya darah dari tubuh tidak membatalkan wudhu. Maka dalil yang sama memungkinkan kita untuk menetapkan bahwa darah adalah tidak najis, karena sahabat pada hadis itu tetap menyempurnakan shalatnya walaupun darah keluar dari tubuhnya.”

🏀 Madzi

Madzi adalah cairan bening, encer, dan lengket yang keluar dari kemaluan tanpa memuncrat dan tidak berakhir dengan rasa lemas akibat syahwat, seperti saat bermain-main atau bercumbu dengan pasangan, membayangkan, atau menginginkan jimak. Cairan ini bisa keluar tanpa disadari sebelumnya. Madzi terdapat pada laki-laki dan perempuan.

Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Aku adalah laki-laki yang sering mengeluarkan madzi. Suatu hari, aku menyuruh seseorang untuk bertanya tentang madzi kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengingat posisiku sebagai suami putrinya (Fathimah). Utusanku pun menanyakannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تَوَضَأْ وَاغْسِلْ ذَكَرَكَ

Berwudhulah dan cucilah zakarmu.” (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa-i, dan Ibnu Majah)

Dalam riwayat lain disebutkan,

لِيَغْسِلْ ذَكَرَهُ وَأُنْثَيَيْهِ

Hendaklah ia mencuci kemaluan dan kedua testisnya (dua buah pelirnya).” (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ahmad, dan Ibnu Hibban)

Yang dimaksud dengan al-untsayain adalah dua testis kemaluan.

Dari Sahl bin Hanif radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Dahulu aku sering mengeluarkan madzi dan sering pula mandi. Lalu kutanyakan hal itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau menjawab,

إِنَّمَا يُجْزِيكَ مِنْ ذَلِكَ الْوُضُوءُ

Sesungguhnya cukup bagimu berwudu dari hal tersebut.”

Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana dengan kainku yang terkena air tersebut?”

Beliau menjawab,

يَكْفِيكَ بِأَنْ تَأْخُذَ كَفًّا مِنْ مَاءٍ، فَتَنْضَحَ بِهَا مِنْ ثَوْبِكَ حَيْثُ تَرَى أَنَّهُ أَصَابَهُ

Cukuplah engkau ambil air setelapak tanganmu, lalu percikkan pada bagian pakaian yang kamu ketahui terkena madzi.” (Hadis hasan. Diriwayatkan oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan ad-Darimi)

Kedua hadis di atas adalah dalil najisnya madzi. Penyuciannya dengan air dilakukan dengan cara berikut ini:

1. Bersuci dari madzi dilakukan dengan mencuci kemaluan dan mencuci kedua testis.

2. Menyucikan pakaian yang terkena madzi cukup dengan memercikkan satu telapak tangan air di atasnya, seperti yang terdapat dalam riwayat kedua.

🏀 Mani

Mani adalah cairan putih kental yang keluar memuncrat karena syahwat dan diakhiri dengan rasa lemas. Aromanya seperti aroma telur busuk. Sedangkan mani perempuan berupa cairan encer berwarna kuning.

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Aku pernah menggosok-gosok (mengerik) mani dari pakaian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau pergi (keluar meninggalkan rumah) untuk melaksanakan shalat dengan menggunakan pakaian tersebut.” (HR Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa-i dan Ibnu Majah)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menghilangkan mani dari pakaiannya dengan akar idzhir, lalu shalat dengan menggunakan pakaian tersebut. Beliau mengerik dari pakaiannya jika mani tersebut kering, lalu shalat dengan menggunakan pakaian tersebut. (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh Ahmad)

Idzkhir adalah tumbuhan sejenis rumput (yang memiliki aroma yang sedap).

Hadis di atas adalah dalil bahwa menghilangkan mani cukup dengan mencucinya jika mani masih basah, atau mengeriknya jika sudah kering. Cara ini berlaku baik untuk laki-laki maupun wanita.

Adapun mengenai hukum mani, pendapat yang unggul dari sekian pendapat adalah bahwa mani adalah suci. Dalil kesuciannya didasarkan pada hadis-hadis yang telah disebutkan di atas. Sekiranya air mani najis, niscaya Nabi memerintahkan untuk mencucinya. Salah satu bukti lain atas sucinya mani adalah bahwa mani adalah asal penciptaan manusia. Jika manusia berstatus suci, maka begitu pula dengan mani.

Sahabat yang menghukumi kesucian mani adalah Umar, Anas dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma.

Hadis-hadis di atas juga menunjukkan bahwa jika mani masih membekas pada pakaian setelah berupaya dihilangkan atau dicuci atau dikerik, bekas tersebut tidak memengaruhi keabsahan salat.

Dalam satu riwayat disebutkan bahwa ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Aku pernah mencuci mani dari pakaian Rasulullah, kemudian beliau keluar (rumah) untuk melaksanakan salat, padahal noda-noda mani masih terlihat. (HR al-Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud)

🏀 Wadi

Wadi adalah cairan putih kental dan keruh yang keluar setelah air kencing. Ia adalah najis dan wajib berwudhu karenanya.

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Mani, wadi, madzi. Adapun mani, padanya terdapat kewajiban mandi. Sedangkan wadi dan madzi, pada keduanya terdapat (kewajiban) berwudhu dan mencuci kemaluan.” (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan al-Baihaqi)

🏀 Khamar

Ulama berbeda pendapat tentang najis tidaknya khamar. Sebagian berpendapat bahwa khamar adalah najis, sedangkan sebagian lainnya berpendapat bahwa khamar adalah suci. Pendapat terakhir (yaitu bahwa khamar adalah suci) dianggap paling unggul dari sisi dalil, karena asal segala sesuatu itu adalah suci hingga ada dalil yang menunjukkan kenajisannya. Adapun pendapat yang menajiskan khamar karena ia jenis barang yang diharamkan, alasan tersebut tidak kuat. Hal itu karena tidak semua yang diharamkan adalah najis.

Dalil yang digunakan oleh mereka yang berpendapat bahwa khamar najis adalah firman Allah Ta’ala:

اِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْاَنْصَابُ وَالْاَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطٰنِ

Sesungguhnya khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan anak panah adalah kotor (rijsun) yang termasuk perbuatan setan.” (QS al-Maidah: 90)

Pada ayat ini tidak terdapat sedikit pun petunjuk yang menetapkan kenajisan khamar, karena maksud dari ar-rijsun (kotor) pada firman tersebut adalah ar-rijsu al-ma’nawi (kotor yang bersifat abstrak), bukan al-hissi (bersifat indrawi).

Di antara bukti yang menunjukkan hal itu adalah bahwa menyembah berhala, judi, dan mengundi nasib dengan anak panah seperti yang termaktub pada ayat tersebut tidak disifati dengan ar-rijs al-hissi (najis indrawi). Khamar diathafkan (disambungkan) dengan benda-benda yang tidak najis tersebut dalam hukum. Maka semua benda tersebut ditetapkan dalam satu hukum yang sama, yaitu bahwa najis yang dimaksud pada ayat itu adalah najis ma’nawiyah (najis abstrak) bukan najis hissiyah (najis indrawi). Pendapat ini dianut oleh al-Laits bin Sa’ad, Rabi’ah ar-Ra’yi, al-Muzni (sahabat Imam Syafi’i), didukung oleh Syekh al-Albani dalam Tamamul Minnah, dan diunggulkan juga oleh Ibnu ‘Utsaimin dalam asy-Syarhu al-Mumti’.

Sedangkan bejana khamar, jika khamar di dalamnya ditumpahkan dan dicuci dengan benda apa saja yang dapat membersihkannya hingga hilang bekas khamar tersebut, maka bejana tersebut boleh dimanfaatkan. Akan tetapi, jika botol tertentu diketahui sebagai botol khamar, maka yang lebih utama adalah tidak memakainya, sekalipun sebelumnya telah dicuci. Tujuannya adalah untuk menolak tuduhan dan buruk sangka terhadap yang menggunakannya.

Perhatian: Tidak terdapat satu pun dalil yang menunjukkan najisnya muntah, qalas (cairan kuning yang keluar dari mulut bila perut terisi penuh), ingus, dan ludah. Yang benar, keempatnya adalah suci. Demikian juga, mereka tidak membatalkan wudhu.

Baca juga: CARA MENGHILANGKAN NAJIS

Baca juga: HUKUM-HUKUM AIR

Baca juga: BEBERAPA CATATAN TENTANG NAJIS

(Syekh Abu Abdurrahman Adil bin Yusuf al-Azazy)

Fikih