JUAL BELI SECARA KREDIT

JUAL BELI SECARA KREDIT

Jual beli secara kredit (tempo) dibolehkan jika tujuannya adalah untuk mengambil manfaat dari barang yang dikredit atau untuk perniagaan. Namun, jual beli secara kredit tidak disukai apabila tujuannya adalah untuk mendapatkan uang tunai melalui al-waraq (perak atau uang), seperti seseorang yang membeli barang secara kredit, lalu menjualnya kembali dengan harga yang lebih rendah kepada orang lain demi memperoleh uang tunai. Tujuan dari transaksi tersebut bukanlah untuk memanfaatkan barang atau untuk perniagaan, melainkan untuk mendapatkan uang tunai. Inilah yang disebut dengan at-tawarruq.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Kami memisahkan hukum kemakruhannya. Umar bin Abdul Aziz dan Imam Ahmad bin Hanbal dalam salah satu riwayatnya memakruhkan at-tawarruq. Umar bin Abdul Aziz menyatakan, ‘at-Tawarruq adalah saudara riba, yaitu asal dari riba.’ Pendapat inilah yang paling kuat. Adapun tambahan harga yang terjadi dalam jual beli secara kredit sebagai imbalan dari penangguhan waktu adalah diperbolehkan.”

Telah disebutkan dalam Fatawa Dar al-Ifta’ al-Mishriyyah, halaman 337, dengan judul “Jual Beli Sistem as-Salam dan Kredit Dibolehkan secara Syar’i”:

“Jual beli hasil pertanian sebelum dipanen dengan harga yang telah disepakati diperbolehkan secara syar’i. Hal ini juga didukung oleh ijma’ para ulama, karena adanya kebutuhan dari kedua belah pihak, yaitu penjual dan pembeli. Demikian pula, menjual barang dengan harga tertentu yang dibayar secara kredit diperbolehkan secara syar’i. Baik pembayaran dilakukan secara tunai maupun kredit, keduanya diperbolehkan menurut syariat. Hal ini sudah kita ketahui bersama.”

Lajnah Daimah Saudi Arabia menjelaskan hukum tambahan harga dalam jual beli secara kredit sebagai berikut:

“Jual beli dengan pembayaran pada waktu yang ditentukan diperbolehkan, asalkan memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan. Demikian pula, jual beli secara kredit diperbolehkan apabila jangka waktu kreditnya telah jelas diketahui. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَىٰ أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ

Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan hendaklah kalian menuliskannya.” (QS al-Baqarah: 282)

Juga berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ أَسْلَفَ فِي شيءٍ، فَلْيُسْلِفْ فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ، إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ

Barang siapa menjual dengan cara as-salaf (salam), hendaklah dalam takaran yang tepat, timbangan yang benar, dan waktu yang diketahui.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Hal ini juga didasarkan pada kisah Barirah yang disebutkan dalam Shahihain, di mana ia pernah membeli kebebasannya dari tuannya seharga sembilan uqiyah, yang ia bayar setiap tahun sebesar satu uqiyah. Jual beli ini dikenal sebagai jual beli sistem kredit. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkari transaksi tersebut, bahkan beliau menyetujuinya dan tidak melarangnya. Tidak ada perbedaan antara harga barang yang sesuai dengan harga kontan atau yang memiliki tambahan karena faktor tempo. Wallahu waliyut taufiq.”

Pertanyaan: Apakah diperbolehkan menjual seekor domba dengan dua atau tiga domba sebagai pembayaran, yang dilakukan secara tempo selama, misalnya, 20 tahun atau lebih?

Jawaban: Jual beli ini diperbolehkan menurut pendapat ulama yang paling kuat. Sebab, diperbolehkan menjual hewan tertentu yang ada saat ini dengan satu atau lebih hewan yang dibayar dalam jangka waktu tertentu, baik dalam waktu dekat maupun lama, atau secara kredit, asalkan harganya telah ditetapkan dengan jelas sehingga membedakannya dari transaksi lainnya. Hal ini boleh dilakukan, baik antara hewan yang sejenis maupun yang berbeda jenis. Pendapat ini didasarkan pada riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, di mana beliau pernah membeli seekor unta dengan dua unta, yang dibayarkan sebagai unta sedekah dari unta milik bersama. (HR al-Hakim dan al-Baihaqi, para perawinya adalah tsiqah).

Peringatan Penting Terkait dengan Jual Beli Sistem Kredit

🏀 Jika kamu membeli barang secara kredit, maka harga barang tersebut menjadi utang bagimu. Penjual tidak boleh berkata, “Jika kamu tidak membayar cicilan tepat waktu, aku akan menambahkan sekian persen.” Hal ini merupakan bentuk riba jahiliyah, sebagaimana yang disebutkan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُّضَاعَفَةً ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ وَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِي أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan riba dengan berlipat ganda, dan bertakwalah kalian kepada Allah agar kalian mendapat keberuntungan. Dan peliharalah diri kalian dari api Neraka yang disediakan untuk orang-orang yang kafir. Dan taatilah Allah dan Rasul supaya kalian diberi rahmat.” (QS Ali ‘Imran: 130-132)

Jika kamu tidak mampu membayar cicilan, penjual seharusnya memberikan tenggang waktu hingga kamu memiliki kelapangan, tanpa memberikan beban tambahan. Di sisi lain, kita membedakan antara jual beli secara kredit yang diperbolehkan dan jual beli secara kredit yang disertai dengan tambahan biaya sebagai kompensasi atas penundaan pembayaran.

Contoh jual beli secara kredit yang diperbolehkan adalah ketika harga barang sebesar 10 riyal, lalu seseorang membelinya secara tempo seharga 12 riyal. Bentuk transaksi seperti ini diperbolehkan.

Contoh jual beli secara kredit yang disertai dengan tambahan adalah pembayaran cicilan yang ditambah 8% pada setiap cicilan. Persentase ini terus bertambah seiring dengan lamanya waktu cicilan. Bentuk ini dinamakan riba nasi’ah sekaligus riba fadhl. Oleh karena itu, jual beli dan akad seperti ini dihukumi batal.

Sebagian orang beralasan, “Tambahan ini dimaksudkan untuk memotivasi pembeli agar membayar cicilan tepat waktu.”

Kita katakan bahwa tidak mengapa pihak lain memberi jaminan. Dengan demikian kita punya dua pilihan, yaitu pembeli membayar angsuran atau pihak penjamin membayarkan apabila pembeli tidak sanggup membayar angsuran. Namun, sekiranya kamu memberikan tangguh jika ia belum mampu membayar, maka hal itu lebih baikmu. Bagaimana pun juga, kamu tidak boleh bertransaksi dengan riba dan berdalih dengan dalih yang batil ini.

🏀 Sebagian orang membuat tipu daya dan rekayasa dalam transaksi dengan menggunakan barang, padahal tujuan sebenarnya adalah memberikan 10 riyal untuk mendapatkan 20 riyal, misalnya. Contohnya, seseorang menjual barang secara kredit, padahal hakikatnya adalah memperdagangkan uang dengan uang.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah pernah ditanya tentang seseorang yang meminjam 1000 dirham dari orang lain dan akan mengembalikannya sebesar 1200 dirham dalam setahun. Caranya adalah A menjual kuda seharga 1000 dirham (secara kontan) kepada B, lalu A membelinya kembali dari B seharga 1200 dirham dengan pembayaran dalam jangka waktu tertentu. Apakah transaksi ini diperbolehkan?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menjawab bahwa jual beli semacam itu tidak diperbolehkan. Transaksi tersebut termasuk riba, berdasarkan kesepakatan para sahabat dan ulama. Sebagaimana disebutkan dalam sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma pernah ditanya tentang seseorang yang menjual kain sutra, lalu membelinya kembali dalam jangka waktu tertentu dengan tambahan satu dirham. Ibnu Abbas menjawab, “Itu adalah jual beli dirham dengan dirham, hanya saja engkau menyelipkan kain sutra di antara keduanya.”

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu juga pernah ditanya tentang hal serupa. Beliau menjawab, “Inilah yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.”

Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah berkata kepada Ummu Walad Zaid bin Arqam terkait hal yang serupa, “Sungguh buruk apa yang engkau jual, dan sungguh buruk apa yang engkau beli. Sampaikan kepada Zaid bahwa ia telah menghapus jihadnya bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali jika ia bertobat.”

Hal itu karena tujuan dari transaksi tersebut adalah memperjualbelikan dirham dengan dirham, dengan adanya jangka waktu tertentu.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

Sesungguhnya amal tergantung pada niatnya. Sesungguhnya setiap orang akan mendapat (balasan suatu amal) sesuai dengan apa yang ia niatkan.” (Muttafaq ‘alaih)

Dalam kitab-kitab sunan disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ بَاعَ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ فَلَهُ أَوْكَسُهُمَا، أَوِ الرِّبَا

Barangsiapa melakukan dua transaksi jual beli dalam satu barang, maka hendaklah ia mengambil harga yang paling sedikit. Kalau tidak, maka ia bisa masuk dalam riba.” (Hadis hasan. Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibnu Hibban, dan al-Hakim)

Juga, diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwasanya beliau bersabda,

 إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ، وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ، وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ، وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ، سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّا لَا يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ

Apabila kalian berjual beli dengan sistem ‘inah, dan kalian sibuk mengikuti ekor-ekor sapi, merasa puas dengan pertanian, serta meninggalkan jihad, maka Allah akan menimpakan kepada kalian kehinaan yang tidak akan dicabut-Nya sampai kalian kembali kepada agama kalian.” (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh Abu Dawud, al-Bazzar, dan ath-Thabarani)

Semuanya termasuk dalam kategori jual beli sistem ‘inah, yaitu dua transaksi jual beli dalam satu akad. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ، وَلَا شَرْطَانِ فِي بَيْعٍ، وَلَا رِبْحُ مَا لَمْ يُضْمَنْ، وَلَا بَيْعُ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ

Tidak halal menggabungkan transaksi pinjaman dengan jual beli, tidak boleh dua syarat dalam satu jual beli, tidak boleh mengambil keuntungan atas sesuatu yang belum menjadi tanggungan, dan tidak boleh menjual sesuatu yang belum ada padamu.” (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan an-Nasa-i. Lihat Shahih Abi Dawud)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengharamkan seseorang menjual sesuatu sekaligus meminjamkannya. Ia melakukan jual beli yang pada dasarnya hanya untuk memberikan utang, dengan tujuan mengambil keuntungan dari transaksi tersebut. Inilah yang disebut dengan riba. Hadis-hadis di atas dan yang lainnya menjelaskan bahwa ketika dua orang melakukan jual beli dengan tujuan utama memperdagangkan dirham dengan dirham yang lebih banyak dalam jangka waktu tertentu, hal itu termasuk riba. Baik seseorang menjual lalu membelinya kembali, menjual kemudian mengutangkannya, ataupun bentuk-bentuk lain yang serupa. Wallahu a’lam.

ar-Rafi’i menjelaskan tentang jual beli sistem ‘inah yang disebutkan dalam hadis di atas, “Yaitu, seseorang membeli sesuatu dari orang lain dengan pembayaran tempo, lalu barang tersebut diserahkan kepada pembeli. Kemudian, penjual membelinya kembali secara kontan sebelum ia menerima pembayarannya, dengan harga yang lebih rendah.”

Dalam al-Qamus disebutkan, “Seorang pedagang menjual barang untuk jangka waktu tertentu, lalu ia membelinya kembali dari pembeli dengan harga yang lebih rendah. Diriwayatkan dari Imam Ahmad bahwa beliau berkata, ‘Inah adalah ketika seseorang memiliki barang yang hanya dijual secara kredit. Jika ia menjualnya secara kontan dan kredit, maka tidak mengapa. Tujuan penjualan secara kredit adalah untuk mendapatkan tambahan harga sebagai kompensasi dari penundaan tersebut. Artinya, jika barang itu dijual secara kontan dan kredit, maka tidak ada masalah. Demikian pula sebaliknya, selama keduanya bukan sepenuhnya transaksi kredit, hal ini bisa masuk dalam kategori makruh.’ Pendapat Imam Ahmad menyatakan bahwa kemakruhan tersebut tidak meniadakan kebolehan transaksi. Sebab, jual beli secara kredit diperbolehkan dan tidak haram, berdasarkan kesepakatan para ulama.”

🏀 Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ بَاعَ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ فَلَهُ أَوْكَسُهُمَا، أَوِ الرِّبَا

Barangsiapa melakukan dua transaksi jual beli dalam satu barang, maka hendaklah ia mengambil harga yang paling sedikit. Kalau tidak, maka ia bisa masuk dalam riba.” (Hadis hasan. Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibnu Hibban, dan al-Hakim)

Menurut kalangan ulama, larangan ini memiliki dua tafsiran.

Pertama, seseorang berkata, “Aku jual baju ini kepadamu seharga 10 riyal secara tunai atau 20 riyal yang diangsur selama satu bulan.” Namun, dalam situasi tersebut, pembeli tidak menjelaskan apakah ia membeli secara tunai atau kredit. Maka, jual beli ini dianggap tidak sah menurut mayoritas ulama. Namun, jika keduanya sepakat di tempat transaksi untuk memilih salah satu opsi, maka tidak ada perselisihan bahwa jual beli tersebut sah.

Kedua, seseorang berkata, “Aku jual barang ini kepadamu dengan harga sekian, dengan syarat kamu juga menjual barang lain kepadaku, atau menyewakan rumahmu kepadaku, atau membeli barang lain dariku.” Jual beli semacam ini tidak sah, karena terdapat syarat yang tidak harus dilakukan. Contoh lainnya adalah penjual mensyaratkan bahwa ia hanya menjual suatu barang yang kamu sukai dengan syarat kamu membeli barang lain yang mungkin tidak kamu sukai. Namun, jika kedua barang tersebut dijual sebagai satu paket dengan satu harga, maka hal ini dibolehkan.

Baca juga: SYARAT-SYARAT DALAM JUAL BELI

Baca juga: JUAL BELI YANG DILARANG

Baca juga: PERBEDAAN JUAL BELI DENGAN ALLAH DAN DENGAN MANUSIA

(Dr Sa’id Abdul Azhim)

Fikih