HAKIKAT TAKWA

HAKIKAT TAKWA

Di antara perintah Allah Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya adalah agar mereka menjadi orang yang bertakwa dengan sebenar-benarnya takwa.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa kepada-Nya dan janganlah kalian mati kecuali beragama Islam.” (QS Ali Imran: 102)

Dalam tafsir al-Qurtubi disebutkan sebuah hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “حَقَّ تُقَاتِهِ” artinya hendaklah Allah ditaati dan tidak dimaksiati, hendaklah diingat dan tidak dilupakan, dan hendaklah disyukuri dan tidak dikufuri.

Takwa adalah derajat penghambaan yang sangat tinggi kepada Allah Ta’ala, karena dengannya kemuliaan manusia di sisi Allah Ta’ala diukur. Dengan takwa pula, manusia memperoleh jalan keluar dari segala masalah yang dihadapi.

Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ

Sesungguhnya yang termulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.” (QS al-Hujurat: 13)

Dalam ayat lain disebutkan:

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا

Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberi jalan keluar baginya.” (QS at-Thalaq: 2)

Sebagai seorang muslim, takwa hendaklah menjadi prioritas utama dalam kehidupan. Namun, sebelum itu, mari kita membahas pengertian takwa. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa takwa adalah

الخَوْفُ بِالجَليلِ وَالعَمَلُ بِالتَّنْزِيلِ وَالرِّضَى بِالقَلِيلِ وَالاستِعْدَادُ لِيَوْمِ الرَّحِيلِ

“(Takut kepada al-Jalil (Allah), beramal dengan wahyu (al-Qur’an dan as-Sunnah yang sahih), ridha dengan yang sedikit, dan mempersiapkan diri dalam menghadapi hari pembalasan).”

Suatu ketika Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu bertanya kepada Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu tentang pengertian takwa. Ubay menjawab, “Bagaimana pendapatmu jika engkau melewati jalan yang penuh dengan duri?” Umar menjawab, “Tentu aku akan berhati-hati agar tidak tertusuk duri.” Ubay berkata, “Itulah takwa.”

Dari dua pengertian takwa yang dijelaskan oleh para sahabat, dapat disimpulkan bahwa takwa adalah ketundukan dan kepatuhan total kepada Allah Ta’ala, yang diwujudkan dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.

Adapun ciri-ciri orang yang bertakwa menurut al-Qur’an sangatlah banyak. Di antaranya adalah firman Allah Ta’ala:

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ الَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَن يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَىٰ مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ

Dan bersegeralah kamu kepada ampunan Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, diperuntukkan bagi orang-orang yang bertakwa. Yaitu orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dalam keadaan lapang maupun sempit, dan menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) manusia dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan. Dan orang-orang yang apabila melakukan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri mereka segera ingat kepada Allah lalu memohon ampun atas dosa-dosa mereka dan siapakah yang mengampuni dosa selain Allah, dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu sedang mereka mengetahui.” (QS Ali Imran: 133-135)

Berdasarkan ayat tersebut, terdapat beberapa ciri orang yang bertakwa, yaitu:

Pertama, gemar menginfakkan hartanya, baik dalam keadaan lapang maupun sempit, serta bersedia mengeluarkan berbagai macam zakat yang diwajibkan atas diri mereka kepada orang-orang yang berhak menerimanya (mustahiq). Mereka tidak tergoda oleh keinginan nafsu untuk bersikap kikir atau tamak dalam mencari tambahan harta karena kecintaan yang berlebihan. Mereka juga tidak takut diuji oleh Allah Ta’ala dengan kemiskinan, sehingga tidak merasa perlu menahan harta yang ada pada mereka.

Kedua, menahan amarah. Mereka mampu mengendalikan amarahnya ketika perasaan marah itu muncul, serta menjauhkan diri dari perasaan dendam dan keinginan untuk membalas atas kesalahan orang lain terhadap mereka.

Ketiga, memaafkan kesalahan orang lain. Mereka memaafkan siapa saja yang telah berbuat zalim kepada mereka, dan tidak membalas dengan kezaliman, meskipun mereka memiliki kemampuan untuk melakukannya. Hal ini karena mereka sadar bahwa Allah Ta’ala mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan.

Keempat, mereka yang ketika melakukan perbuatan keji (al-fahisyah) atau menganiaya diri sendiri (adz-dzulmu), segera ingat kepada Allah Ta’ala dan beristighfar atas dosa-dosanya. al-Fahisyah adalah dosa-dosa besar, sedangkan adz-dzulmu mencakup dosa-dosa secara umum, baik kecil maupun besar. Orang yang bertakwa adalah mereka yang ketika melakukan kemaksiatan, segera ingat kepada siapa mereka berbuat dosa dan merasa takut terhadap azab Allah Ta’ala. Mereka segera teringat akan ampunan dan rahmat-Nya, lalu berusaha mencari cara agar dosa-dosanya diampuni. Setelah itu, mereka segera beristighfar (memohon ampun) dan memohon agar Allah Ta’ala menutupi aib mereka dan tidak mengazab mereka.

Kelima, tidak meneruskan perbuatan kejinya setelah menyadarinya. Mereka tidak membiarkan diri mereka terus tenggelam dalam dosa setelah sadar akan kesalahannya, melainkan segera bertobat dan menghentikan dosa tersebut. Orang yang terus melakukan suatu bentuk dosa padahal ia mengetahui bahwa itu adalah dosa, hal tersebut akan membuat dosa-dosa kecilnya membesar dan menyeret pelakunya kepada dosa yang jauh lebih besar.

Baca juga: SABAR DAN TENANG

Baca juga: BERTAKWA DENGAN SEBENAR-BENAR TAKWA

Baca juga: ORANG PALING MULIA, ORANG PALING BERTAKWA

(Abu Hudzaifah bin Abbas)

Kelembutan Hati