DERAJAT KESABARAN TERTINGGI MILIK RASULULLAH

DERAJAT KESABARAN TERTINGGI MILIK RASULULLAH

Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengalami sakit keras yang menyebabkan beliau tidak sadarkan diri, Fatimah radhiyallahu ‘anha mengeluh, “Betapa berat penderitaan ayahku.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ عَلَى أَبِيْكَ كَرْبٌ بَعْدَ الْيَوْمِ

Ayahmu tidak akan menderita lagi setelah hari ini.”

Ketika beliau wafat, Fatimah berkata, “Wahai ayahku, beliau telah memenuhi panggilan Rabb-nya. Wahai ayahku, tempat tinggalnya adalah Surga Firdaus. Wahai ayahku, kepada Jibril kami mengabarkan kematiannya.”

Ketika beliau telah dikubur, Fatimah berkata (kepada para sahabat), “Apakah kalian merasa puas menaburkan tanah di atas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?” (HR al-Bukhari)

PENJELASAN

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sakit keras yang menyebabkan wafatnya, Fatimah binti Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Beliau mengalami kesulitan yang luar biasa.” Maksudnya, karena beratnya penyakit yang dideritanya, Rasulullah sering pingsan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menderita sakit yang lebih berat dibandingkan orang pada umumnya. Beliau mengalami demam dua kali lebih berat dibandingkan orang lain.

Hikmah dalam hal ini adalah agar beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mencapai derajat kesabaran tertinggi. Kesabaran adalah kedudukan yang tinggi yang tidak dapat dicapai kecuali dengan ujian dan cobaan dari Allah Azza wa Jalla. Kesabaran hanya bisa terwujud pada sesuatu yang tidak disukai.

Jika seseorang belum pernah mengalami sesuatu yang tidak disukainya, bagaimana mungkin kesabarannya bisa diketahui? Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman:

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ حَتّٰى نَعْلَمَ الْمُجٰهِدِيْنَ مِنْكُمْ وَالصّٰبِرِيْنَ

Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kalian agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kalian.” (QS Muhammad: 31)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merasakan sakit seperti dua orang laki-laki yang merasakan sakit.

Beliau mengalami kesusahan yang luar biasa, sehingga Fatimah berkata, “Betapa berat penderitaan ayahku.” Fatimah merasakan kesedihan yang mendalam melihat penderitaan ayahnya. Dia seorang perempuan yang umumnya tidak mampu menahan kesabaran seperti itu.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Ayahmu tidak akan menderita lagi setelah hari ini,” karena ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal dunia, itu artinya beliau berpindah ke ar-Rafiq al-A’la (Teman Yang Maha Tinggi), sebagaimana ketika ajal mendatanginya, beliau berkata,

اللَّهُمَّ الرَّفِيقَ الأَعْلَى، اللَّهُمَّ الرَّفِيقَ الأَعْلَى

Ya Allah ar-Rafiqul ‘Ala, Ya Allah ar-Rafiqul ‘Ala,” sambil memandang ke atap rumah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat. Fatimah pun menangisnya. Tangisannya adalah tangisan ringan yang tidak menunjukkan ketidakridhaan terhadap takdir dan ketetapan Allah.

Perkataan Fatimah, “Wahai ayahku, beliau telah memenuhi panggilan Rabb-nya,” menunjukkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dia-lah yang di tangan-Nya kerajaan segala sesuatu. Ajal seluruh makhluk berada dalam genggaman-Nya, dan pengaturan seluruh makhluk berada di tangan-Nya. Segala sesuatu kembali kepada Allah. Allah-lah tempat kembali dan kepada-Nya segala urusan dikembalikan.

Beliau telah menjawab panggilan Allah. Ketika beliau wafat, roh beliau diangkat dan ditempatkan di hadapan Allah Azza wa Jalla di langit ke tujuh, sebagaimana orang-orang mukmin lainnya. Maka Fatimah berkata, “Wahai ayahku, beliau telah memenuhi panggilan Rabb-nya,”

Perkataan Fatimah, “Wahai ayahku, tempat tinggalnya adalah Surga Firdaus,” menunjukkan bahwa beliau adalah makhluk yang mempunyai derajat tertinggi di Surga, sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

سَلُوا اللَّهَ لِي الْوَسِيلَةَ، فَإِنَّهَا مَنْزِلَةٌ فِي الْجَنَّةِ. لَا تَنْبَغِي إِلَّا لِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ. وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَنَا هُوَ

Mintalah kepada Allah wasilah untukku, karena ia adalah derajat tertinggi di Surga yang tidak layak diberikan kecuali kepada seorang hamba dari hamba-hamba Allah. Dan aku berharap akulah hamba itu.” (HR Muslim, at-Tirmidzi, Abu Dawud dan an-Nasa-i)

Tidak diragukan lagi bahwa tempat kembali Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Surga Firdaus yang merupakan tempat tertinggi di Surga. Atapnya adalah Arsy Rabb Jalla Jalaaluhu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di posisi tertinggi di tempat itu.

Perkataan Fatimah, “Wahai ayahku, kepada Jibril kami mengabarkan wafatnya,” mengandung makna pemberitahuan tentang kematian seseorang. Fatimah berkata bahwa mereka mengabarkan wafat beliau kepada Jibril karena Jibril-lah yang biasa datang kepada beliau dengan wahyu pagi dan sore.

Dengan wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Jibril tidak lagi turun untuk membawa wahyu, karena wahyu terputus dengan kematian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ketika ayahnya dibawa dan dimakamkan, Fatimah bertanya kepada para sahabat, “Apakah kalian merasa puas menaburkan tanah di atas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Maksudnya, karena begitu besar rasa kehilangan dan kesedihannya, serta karena ia tahu bahwa hati para sahabat radhiyallahu ‘anhum telah dipenuhi dengan kecintaan kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, apakah mereka merasa puas?

Para sahabat menjawab bahwa mereka merasa puas, karena ini merupakan kehendak Allah Azza wa Jalla dan merupakan syariat-Nya. Seandainya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dapat ditebus dengan seluruh bumi, para sahabat akan melakukannya. Akan tetapi, Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berhak memutuskan, dan kepada-Nya lah segala urusan kembali, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman dalam Kitab-Nya:

اِنَّكَ مَيِّتٌ وَّاِنَّهُمْ مَّيِّتُوْنَ ۖ ثُمَّ اِنَّكُمْ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ عِنْدَ رَبِّكُمْ تَخْتَصِمُوْنَ

Sesungguhnya kamu akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati (pula). Kemudian sesungguhnya kalian pada Hari Kiamat akan saling berbantah di hadapan Rabb kalian.” (QS az-Zumar: 30-31)

Rasulullah adalah Manusia Biasa

Dalam hadis ini terdapat penjelasan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia seperti manusia lainnya. Beliau sakit, lapar, haus, kedinginan, dan kepanasan. Seluruh sifat manusia ada pada diri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana sabda beliau,

إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ، أَذْكُرُ كَمَا تَذْكُرُونَ، وَأَنْسَى كَمَا تَنْسَوْنَ

Aku hanyalah manusia biasa seperti kalian, bisa ingat sebagaimana kalian ingat, dan bisa pula lupa sebagaimana kalian lupa.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Rasulullah tidak Dapat Mendatangkan Mudarat dan Manfaat

Di dalam hadis ini terdapat bantahan terhadap orang-orang yang mempersekutukan Allah dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka berdoa kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beristighatsah dengan Rasul di kuburan beliau. Bahkan sebagian mereka —na’udzubillah— tidak memohon kepada Allah, tetapi memohon kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, seakan-akan yang mengabulkan doa adalah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka telah tersesat dari agama mereka dan kebodohan telah menguasai akal mereka. Sesungguhnya Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memiliki kuasa untuk memberikan mudarat atau manfaat kepada dirinya sendiri, apalagi kepada orang lain.

Allah Ta’ala berfirman seraya memerintahkah Nabi-Nya:

قُلْ لَّآ اَقُوْلُ لَكُمْ عِنْدِيْ خَزَاۤىِٕنُ اللّٰهِ وَلَآ اَعْلَمُ الْغَيْبَ وَلَآ اَقُوْلُ لَكُمْ اِنِّيْ مَلَكٌۚ

Katakanlah (Muhammad), ‘Aku tidak mengatakan kepadamu bahwa perbendaharaan Allah ada padaku. Dan aku tidak mengetahui yang gaib. Dan aku tidak (pula) mengatakan kepadamu bahwa aku malaikat.” Bahkan beliau adalah hamba di antara hamba-hamba Allah. Oleh karena itu, beliau berkata,

اِنْ اَتَّبِعُ اِلَّا مَا يُوْحٰٓى اِلَيَّ

Aku hanya mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku.” (QS al-An’am: 50)

Allah Ta’ala juga berfirman:

قُلْ إِنِّى لَآ أَمْلِكُ لَكُمْ ضَرًّا وَلَا رَشَدًا قُلْ إِنِّى لَن يُجِيرَنِى مِنَ ٱللَّهِ أَحَدٌ وَلَنْ أَجِدَ مِن دُونِهِۦ مُلْتَحَدًا إِلَّا بَلَٰغًا

Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku tidak kuasa mendatangkan suatu kemudaratan pun kepadamu dan tidak (pula) suatu kemanfaatan.’ Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku sekali-kali tiada seorang pun dapat melindungiku dari (azab) Allah dan sekali-kali aku tiada akan memperoleh tempat berlindung selain daripada-Nya. Akan tetapi (aku hanya) menyampaikan (peringatan)…” Artinya, inilah tugasku,

مِّنَ ٱللَّهِ وَرِسَٰلَٰتِهِ

“…dari Allah dan risalah-Nya.” (QS al-Jinn: 21-23)

Dan tatkala Allah Ta’ala menurunkan firman-Nya:

وَاَنْذِرْ عَشِيْرَتَكَ الْاَقْرَبِيْنَ

Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu (Muhammad) yang terdekat,” (QS asy-Syu’ara’: 214)

beliau memanggil seluruh keluarga beliau, berseru kepada mereka hingga berkata,

يَا فَاطِمَةُ بِنْتَ مُحَمَّدٍ، سَلِينِي مَا شِئْتِ، لَا أُغْنِي عَنْكِ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا

Wahai Fatimah binti Muhammad, mintalah dariku apa-apa yang engkau inginkan, tetapi aku tidak bisa menolongmu sedikit pun dari (siksa) Allah.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Putrinya yang merupakan belahan hatinya, yang ia didik sebagaimana ia dididik, beliau berkata kepadanya, “Aku tidak bisa menolongmu sedikitpun dari (siksa) Allah.” Maka ini adalah bukti bahwa selain dirinya, tentu mereka lebih tidak bisa ditolong.

Di sini juga terdapat penjelasan tentang sesatnya mereka yang berdoa kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kamu akan mendapati mereka berdoa di Masjid Nabawi dengan menghadap kuburan Rasulullah, bersimpuh di depan kubur seperti bersimpuh di hadapan Allah saat shalat, bahkan lebih dari itu.

Dalam hadis ini terdapat dalil bahwa tidak mengapa meratap ringan jika tidak menunjukkan ketidakpuasan terhadap takdir Allah Azza wa Jalla, karena Fatimah meratapi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi itu adalah ratapan ringan dan bukan merupakan tanda protes terhadap takdir Allah Azza wa Jalla.

Dalam hal ini terdapat bukti bahwa Fatimah binti Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan radhiyallahu ‘anha hidup setelah wafatnya beliau. Tidak ada yang tersisa dari anak-anak beliau setelah wafatnya beliau kecuali Fatimah. Semua anak-anaknya, baik laki-laki maupun perempuan, meninggal dunia semasa hidup beliau. Fatimah tetap hidup, tetapi dia tidak mendapatkan warisan, begitu pula istri-istri beliau, paman beliau Abbas, atau siapa pun dari kerabat beliau. Karena para nabi tidak mewariskan, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَا نُورَثُ مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ

Kami (para nabi) tidak mewariskan. Apa-apa yang kami tinggalkan adalah sedekah.” (HR al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, Abu Dawud, Ahmad, dan Malik)

Ini merupakan hikmah dari Allah Azza wa Jalla, karena jika mereka meninggalkan warisan, orang-orang akan mengatakan bahwa para nabi membawa risalah untuk mencari kekuasaan yang dapat diwariskan kepada keturunannya. Namun, Allah Azza wa Jalla mencegah hal tersebut.

Para Nabi tidak mewariskan. Apa-apa yang mereka tinggalkan adalah sedekah untuk disalurkan kepada yang berhak menerimanya.

Dan Allah-lah yang memberi taufik.

Baca juga: IKHLAS DALAM BERAMAL DAN MENAFKAHKAN HARTA

Baca juga: KESETIAAN DAN TOLERANSI DALAM PERGAULAN SUAMI ISTRI

Baca juga: KABAR GEMBIRA BAGI ORANG YANG SABAR

(Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)

Kelembutan Hati Riyadhush Shalihin